9. Terasa Benar

46K 4.8K 1.1K
                                    

Cana membuka matanya perlahan. Suara petir menggelegar, rintik hujan deras membasahi wajahnya. Matanya kabur sebentar, Cana pun menggosok-gosok matanya dengan tangan yang basah. Ia berusaha melihat di tempat gelap ini dalam posisi yang masih terbaring. Cana susah payah bangkit dari tempatnya terbaring, bertarung dengan angin yang begitu kencang menghantam tubuhnya. Ia berdiri mendekati pagar besi. Cana berada di atas menara, tepatnya di teras lantai atas menara. Ketika ia mendekati pagar besi dan melihat ke bawah, semuanya gelap. Beberapa kali cahaya petir menerangi hingga ia bisa melihat hutan, sementara di seberang sana hanya ada lautan.

Angin menampar-nampar wajahnya. Suara angin ikut bertarung dengan suara ombak laut, petir, serta hujan. Ia menyipit, mengangkat wajahnya, menatap lurus ke depan, tak ada bulan ataupun bintang di langit seberang sana, hanya ada cumulonimbus dan garis zig zag tak beraturan yang vertikal dan bercahaya terang seperti menusuk-nusuk air laut yang gelombangnya terus berlarian.

Cana seketika menggigil, kakinya yang telanjang bersentuhan dengan lantai besi yang begitu dingin. Badai di tempat ini membuat daun pada pohon-pohon melambai tak keruan. Deburan ombak berlomba menjilat-jilat bibir pantai, dengan begitu ganas suara ombak memekakan telinga, bersahut-sahutan dengan suara petir dan hujan.

Tak ada siapa-siapa, hanya ada Cana seorang. Cana mencari Alam, tapi ia tak bisa melihat Alam dimana pun. Ia memeluk tubuhnya sendiri yang kedinginan. Giginya menggeretak hebat.

Cana segera masuk ke dalam ruangan menara. Ada sebuah lampu besar di tengah ruangan sempit, ada besi yang menyangga lampu di atas lantai besi. Lampu itu tak sedikitpun mengeluarkan cahaya. Di sekeliling ruangan itu dilindungi kaca yang membatasi antara ruangan dalam dan teras. Cana melangkah ke arah tangga menurun yang gelap sambil meraba-raba pegangan tangga. Perlahan-lahan Cana menuruni tangga. Di setiap kilat cahaya petir yang menyambar, Cana menoleh ke arah jendela menara. Ia bisa melihat laut yang tak tenang. Cana terus menuruni tangga pelan-pelan. Beberapa kali, ia hampir melewati beberapa anak tangga yang membuatnya hampir terjatuh, namun pegangan tangannya yang erat pada pegangan tangga, membuatnya tetap bisa berdiri meskipun gemetar dan kedinginan.

Cana akhirnya berada di lantai satu. Pintu menara terbuka. Baru saja ia hendak melangkah ke luar, seseorang bertubuh jangkung terlihat melangkah mendekati menara. Sosok bertopeng putih tertangkap mata Cana ketika cahaya petir menerangi tubuhnya yang sekilas hanya seperti bayangan hitam. Ia sedikit membungkuk, membawa sesuatu di punggungnya. Cana melangkah mundur pelan-pelan hingga sosok itu benar-benar masuk ke dalam ruangan. Sosok itu sepertinya tak menyadari kehadiran Cana. Cana sedikit lega, itu artinya, ia bertindak sebagai pengamat di mimpi ini.

Ia menurunkan sesuatu dari punggungnya ke lantai, kemudian ia melangkah ke luar lagi. Cana melangkah mendekati benda di dalam karung yang ia jatuhkan ke lantai. Benda itu bergerak, di saat itu, Cana menyadari kalau itu bukanlah sebuah benda. Cana menyentuhnya tapi tangannya menembus karung. Tak berapa lama kemudian, gerakan dari dalam karung disertai suara erangan kesakitan tertahan terdengar. Seseorang berusaha keluar dari karung itu dan terus bergerak, namun ujung karung berlobang itu terikat, jadi ia tak bisa keluar.

Sang lelaki bertopeng putih kembali lagi, kali ini ia membawa senter. Ia yang melihat karung itu terus bergerak akhirnya membuka pengikat karung. Ia menyenteri wajah gadis berambut hitam yang memar dan mulutnya tertutup kain, kemudian ia pun membiarkan sang gadis menggeliat keluar sendiri dari karung. Tangan dan kaki gadis itu terikat. Lelaki itu pun menertawakan sang gadis, ia berjongkok, "Kamu ingin bermain? Tapi kamu tahu, kamu pasti kalah. Baiklah, mari kita main petak umpet. Tempat ini luas, kamu bisa bersembunyi di mana pun dan aku yang akan mencarimu. Tapi, tak ada siapa-siapa di sini. Bersembunyilah ke hutan. Kalau kamu bersembunyi di gedung kosong tak terpakai di luar, aku akan semakin mudah mendapatkanmu. Bagaimana?" Ia mengelus pelan rambut gadis itu.

Alexandra's MemoriesWhere stories live. Discover now