18. Tawa Kemenangan Sang Iblis

4.7K 684 243
                                    

"Bu-bukan anak kandung? Tapi waktu itu Bang Bagas cerita kalau dia anak kandung ..." Bagas bercerita ke Alam bahwa ia anak kandung Bu Nita, anak di luar nikah. Entah kenapa, Cana tak bisa mengontrol mulutnya, harusnya ia diam saja.

"Benarkah?" Bu Nita tertawa kecil. "Itu cuma ada di khayalannya. Dia berharap kalau dialah anak kandung saya."

Cana kehilangan kata-kata.

"Ah sebentar, saya lupa menyeduh teh. Tunggu sebentar, ya." Selama beberapa menit, Cana tenggelam dalam pikirannya. Apa benar Bagas adalah Mr. Nut? Kenapa semua fakta mengarah kepada Bagas? Cana benar-benar tak tahu. Rasanya ia tak percaya kalau ia benar-benar sudah menemukan Mr. Nut. Tapi, ia butuh bukti yang lebih konkrit dan tak bisa dipatahkan. Meskipun Bagas ketahuan berbohong, belum tentu ia benar-benar Mr. Nut. Apa lagi yang harus Cana cari untuk memperkuat fakta?

"Saya memang hamil di luar nikah, tapi keguguran dan sejak itu, saya nggak bisa hamil lagi. Saya memutuskan mengadopsi anak supaya suami saya nggak meninggalkan saya." Bu Nita kembali, lalu meletakkan secangkir teh di depan Cana. Ia meminta Cana meminumnya. Cana mengangguk dan meminum teh itu dengan sopan. "Yah, tapi ternyata hidup saya tetap menyedihkan. Saya lebih sering murung, dari suami saya masih hidup sampai sudah meninggal. Lalu, Arunika datang mengubah segalanya." Bu Nita tersenyum. "Dan jujur saja, kamu mengingatkan saya dengan Arunika. Meskipun, kamu terlihat lebih dingin. Saya selalu merasakan kehadiran Arunika ketika berada di dekatmu. Saya bingung menjelaskannya bagaimana, tapi itulah yang saya rasakan."

Dan memang benar, Arunika selalu hadir dalam wujudnya yang lebih manusiawi ketika Cana bertemu Bu Nita, meskipun rasanya baru dua kali. Arunika bukannya membuntuti Cana, justru ia membuntuti Bu Nita dan muncul ketika Cana berada di dekat Bu Nita. Saat ini, Arunika tengah berdiri di belakang Bu Nita, cantik, namun pucat dan sedih. Cana merasa bersalah ketika melihat roh itu, sebab sampai sekarang, ia masih belum bisa memecahkan masalah ini. Tapi, ia pikir, ia hanya butuh satu langkah terakhir saja untuk membuktikan bahwa memang Bagaslah yang menjadi identitas asli Mr. Nut. Meskipun, masih ada sedikit keraguan di dada Cana.

"Mungkin, Arunika memang hadir di sini," kata Cana lembut.

Bu Nita terisak. "Maaf, saya merindukannya."

"Tidak apa-apa, Bu. Oh, iya. Saya ingin bertanya-"

"Ternyata Ibu di sini?" Cana tersentak mendengar suara yang terasa tidak asing itu. Suara berat yang dulu terasa nyaman didengar, namun sekarang entah kenapa terdengar seperti suara burung gagak yang memanggil kematian, menyeramkan.

Bu Nita menoleh, "Bukannya kamu mengajar?"

"Sudah selesai, aku langsung izin pulang soalnya Ibu sakit." Bagas menoleh ke arah Cana, lalu tersenyum. "Eh, ada Cana, ya?"

"I-iya, Bang-maksud saya, Pak."

"Nggak apa-apa, panggil Bang saja kalau di luar sekolah. Baru sampai di sini?"

"Baru saja," Bu Nita yang menjawab. "Ibu nggak apa-apa. Kamu bisa balik kerja aja."

Bagas tidak mendengarkan, ia menepuk-nepuk pundak Bu Nita. "Ibu istirahat sekarang, ya? Besok, kan, bisa bertemu Cana lagi. Ibu kelelahan." Bagas terdengar sangat perhatian, namun di waktu bersamaan juga terdengar dingin dan datar. Wajahnya tersenyum, namun matanya tidak terlihat bahagia. Ada kehampaan di mata itu. Di antara mereka berdua, terasa ada jurang yang luas sekali yang memisahkan mereka. Mereka terlihat akrab, namun juga terlihat asing. Cana tidak mengerti kenapa ada hubungan ibu dan anak yang terasa secanggung ini. Padahal, awalnya ia tidak merasakan itu ketika melihat mereka. Ia hanya merasakan keakraban saja, namun ternyata jika lebih dalam diselisik, keakraban itu semu.

"Oh, iya. Benar kata Bang Bagas, Ibu istirahat aja dulu. Saya juga sudah mau pulang. Nanti dicari abang saya," Cana segera menanggapi.

"Oh begitu, ya?" Bu Nita membuang napas.

Alexandra's MemoriesWhere stories live. Discover now