19. Senyuman Iblis yang Sesungguhnya

5.3K 701 509
                                    

1 Hari Sebelum Penculikan

Cana membuka mata. Ia sudah berada di dalam sebuah gedung dengan lampu terang. Seorang gadis yang mengenakan baju balet berwarna merah muda keluar dari sebuah ruangan. Mata kecilnya terlihat sedih. Dengan lesu ia melangkah menuju ke pintu lain di ujung lorong.

Cana menyadari bahwa ia berada di dalam kenangan Parwani. Pasti ia langsung tertidur ketika melihat foto mayat Parwani.

Cana memperhatikan tangan Parwani. Ada sebatang rokok.

Parwani sudah berada di belakang gedung. Ternyata meskipun tampaknya tempat ini seperti tempat terbuang dengan banyak barang tak terpakai, tempat ini tetap dihiasi oleh bunga-bunga yang mengelilingi pagar.

Ada orang lain selain Parwani di sana. Seorang pria yang sedang menyirami bunga. Cana meneliti pria itu dengan saksama. Pasti itu Mr. Nut. Tangannya dilapisi sarung tangan karet, bukan sarung tangan hitam seperti yang terlihat di CCTV. Ia mengenakan seragam biru gelap cleaning service. Punggung tegapnya membelakangi Parwani.

"Mas, punya pemantik, nggak?" tanya Parwani. "Punya saya ketinggalan di dalam," tambah Parwani.

"Ada."

Suara itu tidak asing. Namun, Cana selalu saja kesulitan mengingat detail-detail tertentu di dalam mimpi, contohnya suara seseorang. Suara siapa? Bang Bagas? Cana bertanya-tanya di dalam hati.

Pria itu berbalik menghadap Parwani. Ia mendekat, kemudian memberikan pemantik rokok yang sangat mencolok dan khas. Pemantik yang mungkin tidak akan pernah ditemukan di toko mana pun saking uniknya.

Pemantik itu berwarna perak berukiran khas yang begitu Cana hafal. Ursa Mayor dan Ursa Minor. Cana langsung refleks melihat sepatu pria itu. Sepatu kets berwarna abu-abu dengan tanda kecil yang dijahit di sisi luar sepatu menggunakan benang putih. Tanda kecil itu sebenarnya adalah simbol Ursa Mayor dan Ursa Minor yang berdampingan. Cana ingat sepatu ini. Sepatu yang sama dengan yang Mr. Nut gunakan ketika menculik Ratih. Kenapa bukan sepatu mewah itu? Apa ia tidak ingin terlihat mencolok? Pikir Cana. Tapi, Bang Bagas pakai waktu mengajar di kelas. Pasti ada alasan tertentu.

Parwani mendekatkan ujung rokoknya pada pemantik yang menjulurkan api. Setelah itu, ia menghisap lamat-lamat rokok itu, seperti sedang meminum anggur mahal. Ia memandangi pria di depannya yang matanya menyipit. Ia tersenyum di balik maskernya.

"Saya belum pernah lihat Mas di sini. Cleaning service baru?" tanyanya sambil mengembalikan pemantik.

"Iya." Pria itu mengambil pemantik tapi ia juga memegang tangan Parwani. Jadi, tangan Parwani yang memegangi pemantik itu tertahan di udara. Cana bisa melihat pria itu memegangi Parwani begitu erat, masih sambil tersenyum.

Matanya ... hitam ...

Cana syok ketika menatap mata itu. Bukan biru, tapi hitam. Coklat yang gelap sekali hingga terlihat seperti warna hitam.

Parwani mulai merasa aneh. Ia berusaha melepaskan tangannya. "Hey, maksudnya apa-" Belum sempat Parwani berkata-kata lebih banyak, pria itu sudah menariknya dan secepat kilat menutup mulut dan hidung Parwani dengan sapu tangan yang entah sejak kapan sudah ada di tangannya.

Parwani memberontak. Namun, tubuhnya tak lebih kuat dari pria itu. Bahkan Parwani sudah jatuh telentang dan tubuhnya ditindih oleh pria itu. Posisinya semakin tidak baik. Lama-lama ia lemas dan matanya perlahan menutup.

Pria itu memukul-mukul pipi Parwani. Parwani sudah tak sadar seutuhnya. Ia mengikat tangan dan kaki Parwani dengan tali. Tak lupa ia tutup mulut Parwani dengan selotip hitam. Ia kemudian menggendong Parwani di bahunya dan membawa Parwani keluar menggunakan pintu yang menuju ke gang yang tak terlalu besar di belakang gedung sekolah balet. Gang itu benar-benar sangat sepi, tidak ada yang lewat sama sekali.

Alexandra's MemoriesWhere stories live. Discover now