17. Domba Ketiga

31.4K 3.9K 355
                                    

Cana menghela nafasnya, ia duduk di pojok kasur sambil menekuk kedua lututnya, kemudian menopang kepalanya di atas lutut. Matanya tak pernah bisa berhenti menatap ke arah lemari. Tak lama kemudian, pintu kamarnya diketuk. "Can, Abang boleh masuk?"

"Iya, Bang." Tapi ia urung memperhatikan Abangnya. Bahkan ketika Abangnya duduk di samping Cana.

Nata memperhatikan Cana yang terus menatap lemari. Ia menghela nafas gusar. Melihat adiknya begini tambah membuatnya ingin mati. Lucu, ia menyembuhkan psikis orang, tapi dia sendiri tak bisa menyembuhkan psikis adiknya. Ia jelas tahu apa yang adiknya pikirkan, tapi, adiknya sendiri yang menolak untuk sembuh dan ia tidak pernah bisa memaksa.

"Ada apa di dalam lemari?" Katanya.

"Bukan apa-apa." Cana masih tak menoleh ke arah Nata. "Abang kenapa gak percaya hantu?"

"Abang gak suka membahasnya."

Cana mengangguk pelan. Lucu, bagaimana bisa ia sangat berbeda dengan Abangnya?

"Abang belum pernah lihat aja."

"Can."

"Hmm?"

"Lihat, Abang."

Cana enggan, tapi ia tetap menurutinya. Ia menatap mata Abangnya. Abangnya terlihat sedih dan begitu stress, Cana jadi merasa bersalah. Pasti Abangnya jadi tak fokus bekerja.

"Abang harus apa buat kamu? Abang harus ngelakuin apa supaya... Abang gak ngelihat kamu begini lagi? Kamu semakin sering menghilang, Can. Abang takut banget..."

Cana tersenyum tipis berusaha menenangkan, ia kemudian memegangi kedua tangan Abangnya, "Abang gak usah khawatir, Cana gak ngilang lama kok. Cana cuma sering... bermimpi."

"Mimpi... mimpi... mimpi." Nata menutup matanya sebentar, suaranya bergetar, ia jelas menahan tangis. "Iya, itu hanya mimpi. Tapi ini gak ada hubungannya sama hilangnya kamu secara tiba-tiba. Ada apa sih Cana? Kenapa kamu sering sembunyi? Abang gak ngerti."

"Cana gak sembunyi." Cana melepaskan tangannya yang menggenggam Nata sebentar, "Abang gak pernah percaya. Mimpi itu nyata. Mimpi itu benar-benar ada." Cana kembali menatap lemarinya. "Abang... ini gak akan masuk di logika Abang. Abang gak pernah percaya Cana, itu sebabnya Cana gak mau cerita."

Abang bukan gak percaya, Abang hanya menolak percaya, Can.

"Mimpi-mimpi yang Cana alami adalah kenangan para roh yang terbunuh oleh seorang psikopat yang menamai dirinya Mr. Nut. Mereka butuh bantuan Cana, Bang. Terserah Abang mau percaya atau enggak, tapi Cana bicara jujur. Cana udah capek berlari dari masalah ini, pada akhirnya mereka terus datang, gak berhenti. Jadi, Cana memilih membantu mereka. Kenangan-kenangan yang mereka perlihatkan ke Cana lewat mimpi adalah jalan menemukan Mr. Nut."

"Kamu ngomong apa... Abang gak ngerti..." Nata terlihat syok bukan main.

"Abang gak harus mengerti, Abang hanya harus percaya. Mata ini... membuat Cana bisa menjelajahi kenangan orang mati, setelah Cana melihat bagaimana kondisi korban yang mati itu."

Nata kehilangan kata-kata.

"Apa Cana terlihat gila?" Cana menatap Nata lagi. Di saat itu, Nata tahu, Cana berbicara jujur.

"Tapi... i-ini... berbahaya."

"Cana tahu," Cana kembali menatap lurus ke depan, ke arah lemarinya, "tapi, Cana--"

"Enggak. Cana harus berhenti sampai di sini. Cana gak perlu menghirukan mereka. Abang--"

"Gak bisa. Cana gak bisa. Kalau Abang ada di posisi Cana, Abang juga akan membantu mereka." Cana menundukkan kepalanya, kemudian memeluk erat lututnya. "Mereka gak pantas mati, mereka gak salah apa-apa."

Alexandra's MemoriesWhere stories live. Discover now