4. Satelit Merkurius

14.3K 2.2K 1.1K
                                    

Cana terbangun dalam keadaan duduk di samping Nata yang tertidur dengan balutan perban di hidung dan gips berbalut perban di kakinya. Mata kanan Nata bengkak dan sudut bibirnya yang sobek juga tertutup kasa. Dia tampak begitu kelelahan.

Otak Cana yang tadinya mau memikirkan mimpi jadi teralih memikirkan Nata. Cana menyalahkan dirinya sendiri karena melibatkan Nata. Seharusnya, dia pergi diam-diam saja. Nata baru sekali ikut dalam petualangan mengerikannya dan langsung terluka. Cana mengusap air matanya yang berjatuhan. Ia begitu ketakutan. Nata satu-satunya yang dia miliki sekarang dan dia tak mau kehilangan Nata.

Setelah puas merenungi penyesalannya karena keadaan Nata, Cana menoleh ke arah sofa rumah sakit. Ada Sam, Lisa, dan Alam yang tidur di sofa. Sam dan Alam tidur dalam keadaan duduk di satu sofa, sementara Lisa dalam keadaan telentang di satu sofa yang lain. Wajah mereka juga tampak letih. Cana mendekat ke arah mereka. Ada begitu banyak kertas yang berhamburan di meja, lalu sebuah buku catatan yang terbuka begitu saja.

Itu buku catatan Dana. Ibunya.

Jantung Cana berdebar. Dia mengambil buku catatan bersampul kain berwarna coklat lusuh yang dihiasi motif bunga-bunga kecil. Menyentuh buku itu membuatnya ingin menangis. Ada perasaan aneh yang menjejali dadanya. Perasaan yang sangat familiar. Rindu, sedih, tapi ada sedikit rasa senang. Senang karena bisa memegang satu-satunya barang yang tersisa dari ibunya.

Cana membalik kertas kembali ke halaman pertama. Tulisan ibunya indah, tegak bersambung dan rapi sekali. Halaman pertama adalah tahun 1999.

Cana mulai membacanya.

Hari pertama, 1999

Aku tidak pernah menulis buku catatan. Sama sekali tidak pernah. Tapi, kuputuskan menuliskan buku ini sebagai catatan untuk menumpahkan setiap mimpi buruk dan kenangan yang sudah lama aku kubur dalam-dalam. Semua tentang panti asuhan sialan itu.

Aku sudah beberapa tahun ini tidak melukai diriku sendiri. Aku juga sudah tidak bermimpi buruk lagi. Kupikir aku sembuh, sembuh begitu saja. Terutama ketika aku menyibukkan diriku dengan piano dan bekerja. Musik membuatku melupakan kenangan buruk itu. Melupakan kebiasaan burukku menyayat-nyayat tangan sebagai bentuk pelarian. Kupikir aku tidak akan pernah menusukkan benda tajam lagi ke tubuhku, nyatanya kebiasaan itu kembali.

Kemarin Ara meninggal dan baru tadi aku bermimpi buruk. Bukan mimpi, itu sebentuk kenangan yang sudah lama sekali kukubur jauh di sudut otakku. Kenangan itu terbongkar begitu saja ketika kudengar Rona menyebut kata 'Saudari Selamanya', kata-kata yang tersayat jelas pada pergelangan tangan kiri Ara yang terpotong setelah dia menggantung diri. Tulisan itu tepatnya berada di samping bekas sayatan simbol Sanskerta yang menggambarkan angka satu. Angka yang kami buat sebagai tanda perjanjian darah tujuh bersaudara. Sehidup semati.

Rona bilang, ini hukuman yang kita dapatkan akibat berbuat jahat pada Disa. Aku runtuh dan mengunci diri di dalam rumah. Aku tidak melakukan apa pun. Aku hanya menangis dan aku tidak tahan ketika kenangan-kenangan buruk itu kembali berdatangan menghantam kepalaku. Aku kembali menggoreskan pisau ke tanganku. Rasa perih adalah satu-satunya yang membuatku terdistraksi dan melupakan sebentar kenangan itu. Aku lebih memilih rasa sakit daripada harus mengingat kenangan sialan itu.

Sayang, rasa sakit cuma bisa membuatku teralih sebentar. Jadi, kuputuskan menulis ini. Aku tidak tahu apakah aku akan merasa lega atau tidak, tapi aku harus mencobanya. Mungkin dengan menumpahkan seluruh kenangan di buku, beban dan rasa bersalahku terangkat sedikit.

Kuceritakan sedikit tentangnya. Disa. Gadisa Gauri Senja. Satu-satunya anak yang paling disayang oleh ayahku, pemilik panti asuhan yang gila. Disa tidak pernah disentuh Ayah. Dia tidak pernah dipukul, apalagi ditiduri. Seluruh anak panti terluka baik psikis maupun fisik kecuali dia. Ada aku dan enam saudari seumuranku--selisih umur kami tak jauh dan kami yang tertua di panti asuhan, yang membuat perjanjian persaudaraan tanpa Disa, meskipun umur Disa tak jauh dari kami. Ara, Bina, Ceria, Gita, tentu saja tak terlalu suka padanya. Hanya aku, Rona, dan Tala yang sama sekali biasa saja padanya. Maksudnya, kami tidak membenci dia.

Alexandra's MemoriesWhere stories live. Discover now