10. Awal Kehancuran

36K 4.3K 822
                                    

Alam sibuk membuka tumpukan berkas di lemari milik ayahnya. Berkas-berkas itu tersusun rapi sesuai tahun dan bulan. Ia segera menarik berkas-berkas yang berhubungan dengan Mr. Nut, mengumpulkannya menjadi satu tumpukan, kemudian membacanya dengan seksama di meja kerja milik ayahnya. Baru pertama kali Alam melakukan ini selama 17 tahun hidupnya. Ia tak pernah sekalipun merasa penasaran dengan tumpukan berkas kasus milik ayahnya.

Apa yang gue lewatkan dari lo, Mr. Nut? Petunjuk apa? Apa maksud lagu itu? Kenapa lo terobsesi dengan mereka? Apa yang lo inginkan dari mereka?

Alam baru saja hendak membaca hasil forensik korban-korban, namun suara klakson mobil berbunyi. Ia meletakkan berkas-berkas itu di atas meja, kemudian bergegas melangkah cepat keluar rumah untuk membuka pagar rumah. Sebuah mobil hitam menunggu Alam membuka pagar. Setelah Alam membuka pagar, mobil itu masuk ke garasi dan terlihat seorang pria gagah berkemeja abu-abu ke luar dari mobil. Wajahnya tampak begitu lelah.

"Ayah udah makan malam?" Tanya Alam.

"Belum. Ncak udah makan?" Damar masih berusaha tersenyum pada Alam.

"Udah sih, makan mie tadi di rumah Cana." Alam mengambil alih tas yang Damar bawa. "Yah, gimana kelanjutan kasus Mr. Nut?"

Damar menghela napas, "Mendingan kamu makan lagi aja sama Ayah. Ayah bawa ayam loh."

"Duh, Ncak gak suka makan ayam."

"Berasa makan diri sendiri?" Damar menahan tawanya.

"Apaan sih Ayah, garing." Alam memutar kedua bola matanya.

"Lah kamu kan juga garing, ngikutin Ayah." Damar melepas sepatu, kemudian masuk ke dalam rumah bersama Alam setelah mengunci pintu.

"Ayah belum jawab pertanyaan Ncak." Alam kembali ke topik semula.

"Ayah gak mau bahas ini. Ayah butuh refreshing deh, besok zumba yuk."

"Idih gak banget lah. Kalau zumbalitan mau sih, keren."

"Tuhkan, kamu tuh yang receh." Damar tertawa.

"Ya lagian juga gak keren banget sih zumba. Fitness kek, lari kek, sepedaan kek. Emangnya besok Ayah gak ke mana-mana? Gak nyari sesuatu?"

"Ayah butuh refreshing buat otak Ayah, jadi besok Ayah di rumah aja sambil mikir. Zumba tuh asyik tahu. Joget-joget. Kamu bolos aja besok."

"Ayah satu-satunya orangtua yang nyuruh anaknya bolos." Alam menggelengkan kepala. "Bagus, Yah. Bangga Ncak punya Ayah kayak Ayah. Tapi, Ncak gak mau bolos. Sore aja abis pulang sekolah."

"Wididiii tumben. Biasanya rajin bolos. Langka banget ini anak Ayah gak mau bolos. Kerasukan apa kamu? Jin mana? Kerasukan aja ya terus, biar anak Ayah rajin, gak tergoda ajakan bolos dari Ayah hahaha."

"Ayah, plis deh. Ayah kan tahu kalau sekarang Ncak gak mau bolos-bolos, soalnya ada Cana." Alam tersenyum bangga, "Oh iya, Yah. Ayah pasti mau denger cerita Ncak. Mantap ini ceritanya. Kalah sama cerita mayat-mayat di kasus Ayah itu."

Damar duduk di kursi meja makan, menunggu Alam menyeduh teh untuknya serta menyiapkan makan malam. Salah satu kebiasaan Alam ketika ayahnya pulang adalah menemani ayahnya makan malam meskipun ia sudah makan.

Setelah semuanya siap, barulah Alam mulai kembali bercerita. "Alam berhasil masuk ke dalam kenangan roh-roh itu bersama Cana."

Damar yang baru saja hendak menyeruput teh hangatnya, lantas mengurungkan niat. Wajahnya berubah drastis. Walaupun tadi ia terlihat lelah--namun, masih bisa bercanda--kini, wajahnya justru berubah dingin. Alam menangkap sinyal yang buruk, ia langsung tahu bahwa wajah ayahnya berubah sebagai tanda bahwa ayahnya tak suka akan sesuatu.

Alexandra's MemoriesWhere stories live. Discover now