6. Sasaran atau Hera?

7.8K 1.6K 667
                                    

Alam yang syok langsung menyikut keras perut seseorang di belakangnya. Cana juga langsung menginjak kaki seseorang yang menutup mulutnya. Refleks mereka sama baiknya, meskipun Cana sempat tidak fokus setelah melihat kepergian Ana.

Alam menoleh, sementara pria yang tadi menutup mulutnya sudah menodongkan pistol yang diberi senter. Sinar lampu senter langsung menyorot mata dan membuat perih matanya. Ia refleks mengangkat tangan.

"Alam?!" Pria yang tadi menutup mulut Cana terkejut.

"Lah? Om Yovi?"

"Kalian sedang apa di sini?" Yovi melihat mereka begitu bingung.

"Siapa mereka?" tanya pria asing yang masih mengarahkan pistol ke arah Alam dengan was-was.

"Tenang, tenang, Mas Tomo. Turunin dulu itu mah pistolnya," kata Yovi. "Dia anak partner saya dulu."

"Kenapa ada di sini?" Tomo bertanya curiga.

Cana sama sekali bungkam, tak tahu harus menjawab apa. Di pikirannya saat ini adalah kenapa Ana mengantarkannya bertemu dengan para detektif ini? Ana pasti punya alasan.

"Sori para om-om." Alam menunduk dan mengambil senternya yang tadi terjatuh. "Om Tomo, mohon maaf nih, itu pistolnya udah bisa diturunin, nggak? Serem banget, saya bukan penjahat, Om. Salam kenal, Om. Nama saya Cakrawala Alam, dan itu cewek namanya Cana Berly Alexandra, calon pacar saya."

"Ncak ini! Kamu ngapain di sini?! Ini bukan waktu yang tepat buat kenalan. Ya Tuhan!" Yovi tak bisa berhenti menggeleng.

Tomo melipat kedua tangannya di depan dada, "Kamu belum menjawab pertanyaan saya. Saya nggak butuh mendengar nama kamu dan temanmu itu."

Alam mengarahkan senternya ke arah Tomo, ia tersenyum canggung sambil menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. "Nanti saya jelasin, deh, Om. Om nggak butuh bantuan buat menyisir tempat luas ini? Kami bantuin. Kita nggak punya banyak waktu, Om. Kita punya tujuan yang sama."

"Kalian jangan main-main!" Yovi meninggikan suaranya. "Aduhh! Sudah kalian pulang saja!"

Tomo menghela napas, wajahnya dingin, ia melihat jam tangannya. "Kita hanya akan membuang waktu kalau berdebat dengan mereka. Sudah pukul setengah tujuh. Kalau mereka keluar sekarang, akan terlihat dan berbahaya. Kalian tunggu dan diam di sini bersama kami. Jangan ada yang membuka suara."

"Tapi, Mas-"

Tomo menoleh ke arah Yovi, dia diam saja, tapi tatapannya membuat Yovi mau tak mau menurutinya. Tatapannya seperti tatapan ikan hiu terhadap mangsanya.

"Matikan semua senter," titah Tomo. Tapi, Alam belum mematikan senternya. Dia keberatan.

"Kenapa menunggu? Bukan mencari?" Cana angkat suara, sesuai pemikiran Alam. "Mr. Nut itu tipikal pembunuh yang menunggu, kalau kita juga menunggu dan nggak mencari, kita nggak akan bertemu dengannya. Dia sedang menyekap korbannya entah di mana. Seharusnya, kita mencari korbannya dan menyelamatkan dia."

"Cana benar, kita membuang-buang waktu kalau cuma menunggu aja," Alam melanjutkan.

"Kamu tahu dari mana kalau ada korban?" tanya Tomo.

"Ceritanya panjang, Om, nanti saya jelaskan. Sekarang, kita cari saja dulu," kata Alam tidak sabar.

"Tidak, kita menunggu." Tomo berkeras hati.

"Tapi-"

"Kalian cuma ABG, apa yang kalian ketahui?"

Yovi menghela napas. "Dengarkan saja itu Mas Tomo. Dengarkan yang lebih tua."

Alam memegangi Cana. "Buang waktu," katanya. "Kalau kalian terlalu takut membahayakan diri dan cuma mau menunggu, sementara korban sedang sekarat, silakan. Kita nggak akan menunggu." Alam berdiri menarik Cana dan berlari meninggalkan ruangan.

Alexandra's MemoriesWhere stories live. Discover now