13. Kebingungan

8.3K 1.5K 517
                                    

Setelah Alam dan Bagas puas memotret, mereka berdua duduk di kursi taman kota sambil memakan roti bakar. Sore itu taman kota cukup ramai, beberapa pasangan sedang sibuk mengobrol dan bercanda sambil menjilat es krim, sebagian orang sedang jogging atau berjalan santai saja, remaja-remaja lain sedang sibuk mencari sudut-sudut cantik taman kota yang bisa dijadikan latar belakang foto untuk diunggah di media sosial.

"Roti bakar terbaik di kota ini," kata Alam membuka suara. "Dulu, aku sering ke sini bareng keluarga, Bang. Piknik gitu kalau Ayah lagi nggak sibuk."

"Dulu, waktu aku kecil, taman kota belum ada, masih banyak hutan," jawab Bagas, lalu menggigit roti bakar selai kacangnya.

"Jadi, Abang menghabiskan waktu di mana biasanya kalau sama keluarga?"

"Hmm jarang. Saya lebih sering ditinggal bersama pengasuh saya dulu." Bagas menatap langit yang bermandikan cahaya keemasan matahari sore. "Dulu, saya jarang menghabiskan waktu sama keluarga. Ibu menikah di umur yang cukup muda, seingat saya masih tujuh belasan tahun, sambil bekerja dan kuliah setelah lulus SMA. Entah karena dia merasa terbebani dengan urusan rumah tangga dan lelah dengan sekolah dan pekerjaannya, dia jadi lebih banyak berada di luar bersama teman-temannya dan membiarkan saya di rumah dengan pengasuh. Sepertinya Ibu juga stres karena sering ditinggal Ayah pergi. Kalau Ayah ada di rumah, mereka seringnya berantem. Ibu itu sayang sama Ayah, tapi sepertinya Ayah nggak benar-benar sayang padanya. Kata Ibu, Ayah terpaksa menikahinya karena saya ada di dalam perut Ibu sebelum Ayah menikahi Ibu. Ibu jatuh cinta pada Ayah yang usianya lebih tua. Jarak usia mereka cukup jauh, sekitar sepuluh tahun. Saat Ayah mabuk, Ibu menggodanya. Ibu melakukan berbagai cara supaya bisa menikah dengan Ayah. Tapi setelah menikah dengan Ayah, bukannya mendapat kasih sayang, Ayah tetap saja dingin pada Ibu dan Ayah hanya memperhatikan saya, bukan Ibu. Jadi, ya, saya hampir nggak pernah ngerasain piknik bareng orang tua."

"Really sorry to hear that, Bang." Alam menghela napas. Saat bersama Bagas, ia bisa benar-benar lupa bahwa lelaki di sampingnya kemungkinan adalah musuhnya dan di lain sisi, ia agak bersyukur. Karena dengan begitu, dia bisa lebih mengontrol emosinya dan memancing Bagas dengan baik. "Tapi, Abang jadinya nggak marah sama Ibu?"

Bagas tersenyum, "Nggak. Ibu sudah cukup menderita. Jadi, kesalahan dia di masa lalu kayaknya sudah terbayarkan. Ibu nggak sempurna, banyak kurangnya, tapi dia tetap ibu saya. Setelah Ayah meninggal, Ibu berubah total jadi lebih memperhatikan saya."

Alam berpikir keras tentang bagaimana cara memancing Bagas agar bisa menguak hubungan Bagas dengan panti asuhan milik Bu Mega. Terutama tentang wanita itu. Wanita yang diduga sebagai Callisto.

"Ehm... Abang pernah bilang kalau Abang hampir punya saudara tiri?"

"Iya, Ayah menemukan wanita yang betul-betul dia cintai. Pengasuh saya." Bagas tertawa getir. "Kayaknya nggak cuma Ayah, saya juga sayang banget sama pengasuh saya itu. Jadi, seandainya dulu nggak terjadi insiden apa pun, mungkin Ayah akan menikah dengannya dan saya sama sekali nggak keberatan. Waktu itu saya nggak mikirin perasaan Ibu karena saya belum sayang sama Ibu."

"Insiden?"

"Dia bunuh diri." Bagas diam sebentar. Roti bakarnya sudah habis. "Saya ingat masih kelas 1 SD, waktu dia diusir dari rumah karena ibu saya marah besar waktu tahu Ayah jatuh cinta padanya, bahkan pengasuh saya hamil karena Ayah. Saya mendengar ini dari pertengkaran Ayah dan Ibu. Sangat memorable sampai-sampai saya mengingat detailnya dan menuliskannya di buku untuk diingat. Pengasuh saya juga jatuh cinta pada Ayah. Meskipun Ayah waktu itu sudah berumur tiga puluhan lebih, Ayah tetap tampan dan sebenarnya dia lelaki yang hangat dan kharismatik.

"Waktu itu, Ayah keluar kota dan itu kesempatan Ibu buat mengusir dia dan Ibu juga mengancam dia. Saya lupa apa ancamannya, yang jelas cukup membuatnya takut dan akhirnya angkat kaki dari rumah tanpa diketahui Ayah. Waktu tahu, Ayah marah sama Ibu dan mereka perang dingin. Ayah nyari dia di mana-mana dan nggak ketemu, sampai suatu hari, dia diam-diam datang menemui saya di sekolah. Saya diajak ke tempat tinggalnya yang baru, sebuah panti asuhan gitu. Saya selalu jalan kaki kalau pulang sekolah, biasanya pulang malam karena bermain dulu sama teman-teman dan Ibu nggak terlalu peduli. Jadi, setelah sepulang sekolah, saya jadi sering pergi ke panti asuhan itu, tapi kayaknya rentang waktunya nggak lama sampai akhirnya diketahui Ayah. Ayah mau membawa pengasuh saya pergi, tapi setelah Ayah kembali, pengasuh saya sudah membunuh diri. Tidak tahu alasannya apa."

Alexandra's MemoriesWhere stories live. Discover now