9. Ursa Mayor

25.6K 3.3K 448
                                    

"Alam..." Cana akhirnya membuka mulut setalah beberapa lama mereka berada di jalan dan tak ada satupun yang angkat bicara. "Maaf..."

Alam menoleh sebentar. "Buat apa?" Ia tersenyum kaku. "Lo gak perlu minta maaf atau gimana pun. Jangan takut ngasih tahu gue apapun soal mimpi lo, apalagi kalau menyangkut Ibu gue dan Ravi. Gue gak masalah. Meskipun rasanya masih sakit, gue tetap harus tahu fakta ini."

Cana mengangguk. Ia mulai memutar otak untuk membuat topik pembicaraan. "Apa sampel rambut yang kita temuin di rumah hantu itu udah lo kasih ke Om Yovi?"

"Udah. Mungkin gak bakal lama kok nunggu hasilnya, karena sebenarnya gue cuma mau memastikan aja kalau rambut itu beneran rambut manusia. Gak bisa tes analisis DNA mitokondria juga karena kita gak punya sampel pembanding. Kita gak punya sampel DNA keluarga Ana atau sampel Ana sendiri, jadi ya susah. Gue sempet berpikiran buat analisa sendiri, tapi gak jadi, karena gue pikir ini salah satu bukti yang bisa gue tunjukkin ke Om Yovi dan harus dianalisa oleh ahli, supaya Om Yovi percaya. Kalau gue sendiri yang analisa, Om Yovi pasti gak percaya. Setelah Om Yovi percaya, dia bisa bawa personel kepolisian dan tim forensik buat menganalisa lebih lanjut."

"Akhirnya ngomong panjang."

"Kenapa? Lo kangen denger gue ngomong panjang ya?" Alam terkekeh.

"Gue lebih suka lo usilin atau lo ngomong banyak daripada lo diem aja." Cana menatap ke arah depan.

"Gue diem tuh bukannya marah atau gimana, lagi banyak pikiran aja. Belum lagi deket UTS dan Ujian Semester. Seenggaknya, nilai gue mencukupi buat naik kelas."

"Kalau lo menggunakan tujuh puluh persen otak lo, gue pikir lo bisa juara umum kok."

Alam tertawa. "Lebay. Ya gak juga lah. Jawab seadanya aja, gak usah terlalu tinggi yang penting gue naik kelas."

Cana lega, Alam kembali seperti biasa.

Alam memarkir mobilnya di bawah pohon, sedikit jauh dari rumah tujuan mereka. Dari sini, mereka masih bisa melihat nomor rumah Ratih yang cukup besar dan ditempel di depan pintu. "Udah sampai. Can, lo tunggu di sini, biar gue aja yang antar suratnya. Gue gak masuk kok, cuma naruh di depan pintu aja. Tunggu ya."

Cana mengangguk. Ia memperhatikan rumah sederhana bercat abu-abu dan putih di depan sana. Komplek perumahan ini terlihat sepi, masih dikelilingi tanah-tanah kosong, tak terlalu banyak kendaraan yang lalu-lalang. Di samping kiri rumah Ratih adalah tanah kosong dengan rumput-rumput tinggi, tak ada rumah lagi, seakan-akan rumah Ratih adalah rumah paling terakhir yang baru dibuat di sini, dan di belakang rumah Ratih adalah hutan. Cana dengar, kira-kira seratus meter dari rumah Ratih ada sebuah danau kecil yang dikelilingi hutan dan tanah kosong, tempat ditemukannya mayat tubuh Ratih. Cana mungkin harus mengajak Alam pergi ke sana, siapa tahu ia akan mendapatkan sebuah petunjuk.

Alam baru keluar dari mobil dan melangkah menuju ke rumah Ratih. Cana bukannya memperhatikan Alam--meskipun awalnya ia memperhatikan Alam--ia justru memperhatikan sosok gadis bergaun biru dengan rambut panjang yang berdiri di samping rumah Ratih. Ia berdiri menyamping, sehingga wajahnya tak begitu terlihat, seakan-akan ia tengah bersembunyi di samping rumah. Cana mengerutkan kening. Tak lama kemudian, Alam masuk ke dalam mobil setelah bersusah payah membuka pagar yang tak terkunci perlahan-lahan, lalu memasukkan surat melalui sela bawah pintu rumah Ratih.

"Rumahnya kayak gak ada orang," ujar Alam. "Sepi banget, asli."

Cana akhirnya menoleh ke arah Alam. "Gimana kalau ternyata mereka pindah dan gak tinggal di rumah itu?"

"Enggak deh kayaknya. Tadi, gue sempat ngelihat gagang pintunya gak berdebu, meskipun kursi dan meja di depan rumahnya berdebu seperti gak pernah digunakan. Tapi, gagang pintu itu membuktikan kalau pintunya masih sering dibuka. Jadi, pasti masih ada penghuninya."

Alexandra's MemoriesWhere stories live. Discover now