5. Liontin

28.6K 4.1K 1K
                                    

Duh plissss jangan terror kolom komen dengan mengingatkan gue tentang update. Gue gak akan lupa sama apa yang pernah gue ucapkan. Masalahnya, waktu itu gue bilang InsyaAllah, gak janji. Berarti kalau gue belum update-update, bukan berarti gue PHP, tapi emang keadaan yang bikin gue gak bisa update. Kesel tahu bacanya apalagi kalau diterror maksa update -_- gue lagi pusing sama Seven Sisters yang mampet di chapter 24 dari 30. Jadi please jangan tambahin lagi.

Kalian gak perlu nyuruh update, gue pasti update. Coba tuh komennya ngasih semangat kek apa kek. Ini engga, minta update semua. Tambah bikin stress aing aja.

Hidup aing bukang cuma wp plis pahami juga.

Kalau di chap ini banyak yang minta up, maka w up nya tahun depan. Jangan ada yang nanya kapan update, harusnya doain Seven Sisters selesai biar enak up yang ini, gitu dong. Saling ngerti gitu. Ada yang bilang kelamaan nunggu, hilih w nunggu jodoh aja ga ngomel-ngomel kok. Kalau lupa ya tinggal baca aja maemunah. Jangan maksa gitu dong. Belum lagi ada yang minta up langsung 5 chap. Ya Rabb dikira nulis seenak kentut?

Maap ni yaa. W dari September udah ga jelas ni jadwal tidurnya, jadi tolong dipahami. Kerjaan kalian cuma nunggu aja kok, bukan nulis. Ini masih dimaapin nih.

Sabodo ada yang marah bilang "sok banget sih, orang minta update tuh berarti ditungguin" w ga peduli dah. Serah mo ngomong apa.

Marah beneran nih.

Maafannya lebaran aja.

Sengaja taroh di atas biar gak ada alasan gak baca author's note.

Bhay.

~~~

"Ini temanya ruang eksekusi dan gue merasa bahwa gue ikutan dieksekusi," celoteh Sam yang masih terperengah antara takjub dan syok melihat apa pun yang ia soroti dengan lampu senternya. "Dan lo tahu apa yang gue takutkan? Kita terkunci di sini," tambahnya.

Sam dan Lisa sama sekali belum berani melangkah maju untuk masuk ke dalam ruangan. Keduanya masih berdiri di ambang pintu.

"Jadi, apakah lo yakin kalau kita harus ngecek satu per satu di dalam situ?" bisik Sam.

Lisa beberapa kali menarik dan menghela napasnya. Ia kesulitan berpikir. Otaknya terasa buntu, seakan-akan seseorang sengaja menyumpal otaknya dengan batu. "Kita gak punya cara lain."

Sam saat ini sedang menyorot boneka yang telungkup di atas lantai dengan tangan dan kaki yang terikat dan potongan kepala seperti bola di depan tubuhnya dengan wajah yang mengarah ke langit-langit ruangan. Dua boneka yang wajahnya tertutup topeng kain, berdiri di samping kiri dan kanan tubuh boneka yang telungkup. Salah satunya memegangi samurai seperti baru saja mengayunkan samurai untuk menebas kepala orang yang dieksekusi itu. Ketiganya adalah pria. Tubuh mereka dilapisi debu dengan warna baju kain yang pudar. Cat merah gelap membanjiri lantai di tempat sang 'tersangka' atau mungkin 'korban' dieksekusi.

"Tapi, dia cowok dan tubuhnya lebih tinggi dari Ana," bisik Sam dengan suara gemetar.

"Ada banyak boneka di sini. Kita harus periksa boneka anak kecil di sana," tunjuk Lisa sambil menyoroti senter ke arah anak kecil yang terduduk menyandarkan punggung di dinding dengan kedua tangan dirantai. Kepalanya menunduk, ditutupi rambut hitam legam yang panjang seperti tirai yang menutupi jendela rumah. Tirai gelap dan jendela di malam hari, selalu mengundang misteri. Seperti itulah wajah sang gadis kecil ditutupi rambutnya. Misteri wajahnya yang sengaja ditutupi.

Gadis kecil itu mengenakan gaun pink selutut yang warnanya memudar atau mungkin karena tertutupi debu yang begitu tebal. Sam meneguk salivanya karena kerongkongannya terasa begitu kering. Tangannya semakin dingin sedingin es. Ada banyak boneka lain di sini. Semuanya berperan menjadi korban penyiksaan dan orang yang memberi penyiksaan atau hukuman.

Alexandra's MemoriesWhere stories live. Discover now