8. Cahaya Venus

41.9K 4.9K 806
                                    

"Apa yang dia katakan? Menurut gue, lo harus catat semuanya yang ada di kenangan itu. Apa lo melakukan itu?"

Cana menggeleng patah-patah. "Tapi gue ingat setiap kata yang ada di mimpi gue."

"Gak ada salahnya untuk mencatat apapun. Selagi lo masih ingat." Alam melipat kedua tangannya di depan dada. Wajahnya serius, setelah bangun dari mimpi, ia tak pernah sedetik pun mengeluarkan wajah konyolnya seperti biasa.

Cana berdiri dari tempatnya duduk. "Ya, gue akan mulai mencatatnya. Lo bisa baca kalau lo mau." Wajahnya pucat, meski ia berusaha sekuat tenaga menutupinya, berusaha tangguh.

Alam juga berdiri dari tempatnya duduk. "Lo ke kelas duluan." Ia melirik jam tangannya yang melingkar di pergelangan tangan kiri. "Ada sesuatu yang harus gue lakukan. Ini udah jam istirahat. Lo pasti dicari Lisa."

Cana mengangguk.

"Untuk sementara, lo jangan cerita apa pun soal alat itu. Lo simpan baik-baik ya."

Cana mengangguk lagi sambil menatap alat kecil yang ada di telapak tangannya, kemudian memasukkan ke saku rok.

Alam ingin sekali menghibur Cana, tapi saat ini ia tak bisa melakukannya. Ia terguncang. Bukan karena melihat kegilaan Mr. Nut, tapi karena melihat Cana yang disakiti di depan matanya sendiri. Itu mengingatkannya akan sesuatu. Suatu kegilaan yang paling benci ia ingat.

Sayangnya, Alam tak bisa lupa, meskipun sekuat tenaga berusaha melupakan. Otaknya menolak melupakan setiap kejadian dalam hidupnya. Jujur, ia benci menjadi orang jenius yang mengingat apa pun tanpa bisa melupakan.

Cana melangkah lebih dulu meninggalkan Alam, sementara Alam berbalik arah menuju ke kantin.

~~~

Cana mencatat apa pun yang ia ingat. Kata-kata mereka, kata-kata Mr. Nut, deskripsi setiap detail kejadian, deskripsi ruangan itu. Ia mencatat satu per satu secara runut. Cana termasuk orang yang mudah mengingat kejadian, bahkan kata-kata. Tapi, ia tak sejenius itu. Ia hanya mudah mengingat. Mungkin dapat dikategorikan cerdas saja.

"Lo ngapain aja sama Alam?" bisik Lisa. "Ngilang berdua. Itu mencurigakan. Bolos bareng. Alam tuh pasti ada maunya. Dia kan modus terus."

Cana masih terpaku dengan apa yang dia tulis, tapi ia tetap berusaha menghiraukan Lisa. "Alam itu gimana sih orangnya?" tanya Cana mengalihkan topik, yang tentu saja membuat Lisa terkejut.

"Lo suka sama dia? Baru beberapa hari loh. Lo terlalu mudah jatuh hati sama dia. Jual mahal dikit dong." Lisa menggelengkan kepalanya.

"Engga. Gue biasa aja sama dia. Cuma... penasaran."

"Lo penasaran? Sama Alam? Hahahha baru gue temuin nih yang penasaran sama Alam. Selama gue satu tahun sekelas sama dia, dan itu termasuk waktu yang sangat cukup untuk bisa mengenali seorang Alam. Dia itu cowok yang beneran seperti buku yang terbuka. Orang bisa dengan mudah menebak dia. Dia rese, nyebelin, banyak tingkah, gue rasa dia gak punya kelebihan apa pun selain tampangnya. Gak pernah dengerin guru, bolos mulu, hampir gak naik kelas. Kalau bukan karena Pak Nico, gue yakin dia pasti masih kelas 1 sekarang," jelas Lisa panjang lebar. "Dia gampang berteman, sih. Temannya di kelas mana aja. Tapi, dia gak terpisahkan sama Sam dan untungnya mereka berdua memang sekelas terus. Dari SMP malah."

"Pak Nico?"

Lisa mengangguk. "Ya dia sedikit gak masuk akal orangnya. Guru Kimia kelas 1. Padahal Alam gak pernah mencolok di kelas. Tapi, untuk satu pelajaran itu, dia rajin masuk. Kata Alam, dia suka cara pikir Pak Nico yang menurut kebanyakan orang sedikit... di luar nalar. Tahun ini, dia gak ngajar kelas 2. Tapi dia ngajar kelas 1, 3, sama ngelatih anak-anak olimpiade Kimia." Lisa terus bercerita, sementara Cana terus mendengarkan, masih sambil menulis. Bagi kebanyakan orang, menulis sesuatu yang perlu diingat, sambil bercerita termasuk hal yang sulit dilakukan, tapi tidak bagi Cana.

Alexandra's MemoriesWhere stories live. Discover now