5. Caduceus

16.3K 2.2K 1.4K
                                    

Rintik hujan mendera tanah begitu kuat tanpa ampun. Namun, bagi gadis itu, hunjaman tetesan hujan sama sekali tak ada rasanya bila dibandingkan dengan rasa perih di kaki kanannya yang ia tahan sekuat tenaga. Ia meringis sambil menyeret kakinya menuju gedung kosong di depan sana. Punggung kaki kanannya melepuh hingga ke betis. Minyak panas yang disiramkan oleh lelaki itu berhasil menyulap kakinya yang mulus menjadi lebih mengerikan daripada sisik buaya. Kemerahan, menggelembung, terkoyak, berkerut-kerut.

Ia menggosok-gosok matanya beberapa kali, sebab hujan mengaburkan pengelihatannya. Sebelah tangannya memegangi senter. Ia menengok ke belakang sambil terus menyeret kaki. Lelaki itu belum terlihat. Semuanya tampak gelap.

Ia tidak benar-benar tahu gedung apa yang menyambutnya di depan sana dan dia tidak peduli. Tak ada siapa-siapa di sini yang bisa ia mintai pertolongan. Tadi, ia tiba-tiba terbangun di hutan bersama sebuah senter setelah tak sadarkan diri. Hari begitu gelap, tak ada matahari. Gadis itu hanya mendengar suara tawa sang lelaki dan senandung yang keluar dari mulutnya.

Ia harus melarikan diri, tapi ia berada di tempat tanpa manusia. Di sebuah gedung yang dikelilingi pohon-pohon besar dan semak belukar. Ia butuh tempat bersembunyi sejenak sampai lelaki itu menjauh dan ia bisa meminta pertolongan. Entah bagaimana pun caranya.

Lelaki itu nampaknya suka bermain petak umpet. Sebelum si gadis tak sadarkan diri, lelaki itu bilang kalau dalam waktu dua jam gadis itu berhasil bersembunyi tanpa ditemukan, lelaki itu akan membiarkannya pergi. Gadis itu tidak tahu kenapa dia harus percaya, mungkin karena dia tak punya pilihan lain selain mengikuti permainannya.

Gedung ini besar dan berlantai dua. Tempat persembunyian yang sempurna. Cuma dua jam, nggak masalah, pasti bisa, pikir gadis itu menahan tangis. Ia tahu ini bukan waktu yang tepat untuk menangis, jadi ia menguatkan dirinya sendiri.

Satu-satunya rasa takut yang menguasai dirinya ketika memasuki gedung tua ini hanyalah rasa takut terbunuh manusia. Dia tak memikirkan hal apa-apa lagi. Sambil menyeret kakinya, ia masuk lebih dalam, ia ingin mencari tangga menuju ke lantai dua, namun ia terpaksa mengurungkan niat ketika didengarnya suara langkah kaki dan senandung lagu Twinkle-Twinkle Little Stars.

Cepat-cepat ia masuk ke salah satu ruangan terdekat. Ia menyeret kakinya menuju sebuah lemari di ujung ruangan, di samping meja dan kursi kayu. Ia mematikan senter dan menutup mulutnya. Air mata berjatuhan sederas hujan di luar. Tubuhnya gemetaran dan ia bahkan menahan napasnya karena takut hembusan napasnya terdengar lelaki gila itu.

"Kaia, apa kamu benar-benar sudah bersembunyi? Bersembunyi dengan baik, ya. Jangan sampai kutemukan."

Kaia bisa membayangkan bagaimana mata biru di balik topeng putih itu menyipit karena tersenyum puas. Seketika bulu romanya meremang. Beberapa kali ia meneguk liurnya sendiri karena takut jika beberapa menit lagi, ia tak bisa melakukan itu.

Suara sepatu itu mendekat, gemanya lebih menguasai telinga Kaia dibanding suara hujan. Suara senandungnya, suara tawanya, semuanya seperti simfoni gelap yang bersenandung pada upacara kematian. Suara pintu terbuka, tapi bukan pintu ruangan ini, sebab terdengar sedikit jauh. Hujan di luar sana sedikit mereda dan entah kenapa itu membuat Kaia semakin ketakutan. Berhentinya hujan akan membuat suara lelaki bertopeng putih itu semakin nyaring menggigit telinga Kaia.

Perih di kaki Kaia tidak terasa, kebas. Justru dada Kaia yang sekarang terasa amat sakit. Keringat meleleh hingga lehernya, padahal ruangan ini sama sekali dingin, tidak panas. Suara cicak dan tikus bersahut-sahutan menyoraki pertempuran antara rasa takut yang dimiliki gadis kecil dan rasa amat bahagia yang dimiliki si lelaki gila.

Kaia berharap ini cepat berlalu, tapi heningnya suara lelaki itu membuatnya semakin cemas. Ke mana dia? Apa dia sudah pergi? Kaia menggelengkan kepalanya. Enggak, aku harus menunggu sampai dua jam. Namun, ia mengutuk dirinya sendiri sebab ia bahkan tak tahu dua jam itu seberapa lama? Sekarang saja rasanya sudah berjam-jam, padahal mungkin baru berjalan beberapa menit.

Alexandra's MemoriesWhere stories live. Discover now