19. Ursa Minor

31.5K 3.8K 609
                                    

"Javas Mahija, Om." Alam menelepon di taman belakang sekolah yang cukup sepi. Hanya ada mereka berempat di sana, karena siswa-siswi lain lebih suka bercengkrama di taman depan. Cana, Sam, dan Lisa mendengarkan dengan seksama.

Setelah mereka pergi dari rumah sakit jiwa, mereka kembali ke sekolah tepat pada jam istirahat pertama. Cana langsung menceritakan mimpinya pada Sam dan Lisa. Dan kotak musik yang tadi malam ia temukan itu, tidak benar-benar nyata.

"Om Yovi kenal?"

"Javis? Iya. Ada apa? Kok kamu bertanya tentang dia?"

"Siapa dia, Om?"

"Dia... hanya salah satu orang gila yang kasusnya ditangani oleh Ayahmu belasan tahun yang lalu. Kamu masih kecil, mungkin berumur 10 tahun. Ada apa? Kok kamu tahu tentang dia?"

"Dimana dia sekarang?"

"Kenapa kamu menanyakan hal ini? Alam, ada yang lebih penting yang harus Om beritahu tentang kasus Ayahmu--"

"Dia dimana, Om?" Alam bertanya sekali lagi dengan nada tegas.

Cana menatap Alam. Raut wajahnya berubah dingin. Cana seperti tak mengenalinya. Dia selalu seperti itu bila marah.

"Alam... we need to talk. Kasus Ayah kamu ditutup. Murni kecelakaan."

Alam menutup matanya sebentar, kemudian membukanya lagi. Wajahnya merah padam. Sorot mata birunya penuh amarah dan kesedihan. Jantung Cana berdebar, takut. Dia seperti monster yang kesepian. Tapi, Cana mengerti kenapa ia seperti itu. Bila Cana berada di posisinya, Cana juga akan bertindak seperti itu.

"Om janji sama Alam." Suaranya mulai bergetar. "Om tahu kalau ini perbuatan Mr. Nut."

"Tapi kita gak punya bukti, Alam. Mungkin memang benar ini kecelakaan murni. Mungkin dia belum menemui--"

"Alam bertanya soal Javis Mahija, Om. Alam gak mau dengar apapun soal kasus Ayah." Alam sendiri yang akan menemukan dan membuktikan si gila itu yang membunuh Ayah, Om.

"Oke, oke. Dia udah mati. Dia divonis mati setelah Ayah kamu berhasil membuktikan dia bersalah."

"Anaknya... dimana anaknya?" Tanya Alam yang berusaha mengendalikan perasaannya yang bercampur aduk dan berusaha tetap menggunakan otaknya. Ia benci, kenapa Yovi harus membahas Ayahnya di sela-sela hal sepenting ini.

"Panti asuhan... ehm aku lupa namanya. Kamu harus kasih tahu, kenapa kamu tertarik pada mereka?"

"Anaknya mungkin salah satu korban Mr. Nut."

"Hah? Tidak mungkin. Bagaimana bisa?"

Alam malas menjelaskannya.

"Kalau Om sudah bisa mengingat nama panti asuhannya, tolong kabari Alam. Alam pamit, Om."

"Alam tunggu! Kita belum--"

Alam mematikan ponselnya. Mereka bungkam selama beberapa menit. Suasana menjadi canggung, tak ada yang membuka mulut.

"Gue pikir... kita harus fokus sama sisa list tersangka kemarin." Akhirnya, Lisa berani memecah keheningan. Ia membuka laptopnya. "Gue gak sempat nyari karena semalam gue ngantuk banget. Mungkin kita bisa cari sekarang. Tapi, menurut gue, kita persempit lagi orang-orangnya karena terlalu--"

"Cari mereka semua, Lis. Gak ada yang boleh ketinggalan. Gue yang akan membaca semuanya," sergah Alam.

"Lam, gue rasa, kita butuh temen Ayah lo itu, Detektif Yovi. Biar gimanapun, akses kita sempit banget. Setidaknya, dia menemani Ayah lo buat membongkar kasus Mr. Nut. Dia pasti tahu sesuatu. Sesuatu yang mungkin gak tertulis di data manapun," jelas Sam.

Alexandra's MemoriesWhere stories live. Discover now