18. Takdir yang Lucu

17.8K 2.9K 1.4K
                                    

Cana berjongkok dan menangis sendirian di sana. Dia tidak benar-benar tahu apakah ini memang dia yang menangis, atau Alexa. Dia ingin bangun, tapi tidak bisa. Cairan merah itu... Cana muak melihatnya.

Seseorang memegang bahunya. Cana menoleh. Ada lelaki bermata biru itu di sana. Alam. Cana langsung berdiri, tanpa kata dan memeluk Alam erat-erat sambil menangis.

"Gue selalu terlambat, ya? Maaf... maaf...," bisik Alam, membalas pelukan Cana.

"Enggak. Itu bukan salah lo. Ayo pulang. Gue capek banget."

Alam mengangguk.

~~~

"Dia membunuh Sarisha? Enggak mungkin." Alam terdengar begitu yakin. "Gue rasa dia bukan pembunuh. Mungkin ada ketidaksengajaan atau gimana gitu."

"Kenapa lo keliatan yakin?" Cana menyelidik.

Lisa dan Sam menunggu.

Kelas semakin sepi, tersisa beberapa orang yang membersihkan kelas karena jadwal piket. Mereka berempat duduk melingkar di pinggir lapangan, di bawah pohon besar, di atas rerumputan. Pertemuan antara guru BK dan wali atau orang tua ditunda sebentar, sebab guru BK masih menghadiri rapat di ruang guru. Jadi, mereka memilih berkumpul di sini. Mbok Inu, orang tua Sam, dan Nata belum datang. Mungkin sebentar lagi.

Alam terlihat kesulitan menjawab sebentar. Lalu, ia mengedikkan bahu. "Insting. Analisa."

Cana tahu Alam berbohong, tapi dia diam. Dia menunggu Alam berbicara tanpa dipaksa. Dia tidak mau memaksa. Dia yakin, Alam pasti akan menjelaskan sesuatu.

"Analisa gimana? Jelas-jelas, rohnya dia itu yang paling nyakitin Cana!" seru Lisa.

"Paling TERLIHAT menyakiti." Alam menekan kata 'terlihat'. "Bukannya gue membela dia, tapi mata Cana kemungkinan besar adalah mata Alexa. Dan Alexa kemungkinan besar adalah A yang banyak membantu polisi mencari tersangka. Dia bukan pembunuh."

"Masuk akal." Sam mengangguk-angguk. "Gue gak tahu kenapa Alexa begitu bernafsu sama Cana. Maksud gue, dia begitu pengin terlihat oleh Cana dan seakan-akan menyakiti. Padahal, dia berusaha ngasih lihat apa yang dia lihat dulu. Tentang korban, sampai ke masa lalunya. Tapi, gue gak tahu kenapa masa lalunya juga diperlihatkan."

"Gue pernah membahas ini sama Cana. Kenapa Alexa memperlihatkan masa lalunya? Bukan cuma iseng atau ketidaksengajaan. Menurut gue, masa lalu dia ada hubungannya dengan Mr. Nut. Enggak tahu kenapa. Dia bahkan dari kecil sudah terhubung dengan bokap gue," jelas Alam.

"Wanita berambut putih itu... gue gak tahu dia siapa," kata Cana.

"Bu Ajeng kenal Javis." Lisa terlihat berpikir. "Ana adalah keponakan Bu Mega, pemilik panti asuhan gue dulu. Ketika gue nanya soal Javis, Bu Ajeng bilang Javis adalah keluarga Bu Mega. Arawinda Biru, saudara mamanya Alam dibunuh oleh Javis. Dan--"

"Javis adalah ayahnya Alexa." Cana melebarkan mata. "Tiga anak yang lo bilang keponakan Bu Mega apakah jangan-jangan... Alexa dan Sarisha? Sarisha... Sarisha adalah adek Alexa..." Cana terlihat begitu syok, "Mereka semua... mereka semua terhubung dengan Mr. Nut." Cana menatap Lisa lurus. "Lo satu panti asuhan dengan Alexa dan Sarisha. Lo sama sekali gak ingat apa pun?"

Lisa menggeleng. "Gue... panti asuhan itu terlalu mengerikan untuk diingat. Mungkin... cuma otak gue yang enggak mau mengingat apa pun yang ada di sana."

"Tapi... kenapa gue gak pernah melihat Ana dan Sarisha ketika gue menyelami kenangan kecil Alexa di rumah Javis?" Cana bertanya-tanya.

Alam sama sekali bungkam. Dia tak mengatakan apa pun. Lisa dan Sam menggeleng.

Alexandra's MemoriesWhere stories live. Discover now