22. Di Salah Satu Tempat

28.1K 3.8K 259
                                    

"Satu domba... dua domba, tiga domba. Satu kumbang... dua kumbang, tiga kumbang, Mr. Nut telah datang."

Cana membuka matanya dengan nafas tersengal-sengal setelah ketakutan melihat darah. Keringat mengucur deras. Saat ini ia berada di ruangan dengan penerangan minim. Terdengar suara tangisan dari sudut ruangan gelap yang tak terjangkau cahaya orange lampu berdaya 5 watt. Cana menatap sekelilingnya, ia tahu bahwa dirinya berada di ruangan nomor 2, tempat Mr. Nut menyekap tawanannya.

"Ratih?" Suara tangisan itu terhenti. Terdengar bunyi gesekan sesuatu di lantai, juga logam bertemu dengan logam lain, suara nafas yang tersengal-sengal setelah menangis, juga suara seseorang yang mengerang kesakitan.

"Alexa... to-tolong aku..."

Cana berdiri dari tempatnya terduduk dengan susah payah. Sekujur tubuhnya terasa sakit seperti dipukuli berkali-kali. Kakinya terasa kram. Ia mendekat perlahan ke sudut gelap. Meskipun gelap, ia masih bisa melihat samar-samar tubuh Ratih yang dirantai.

Ratih bergerak mendekat sementara kedua tangannya tergantung. Wajahnya sedikit terpapar sinar orange. Matanya bengkak dan merah. Warna biru dan merah menguasai hampir seluruh wajah hingga tak ada yang bisa menyadari betapa cantik dirinya sebelum berada di sini. Bentuk wajahnya tak karuan akibat tonjolan-tonjolan penghilang kesimetrisan wajah. Ia menangis, memohon, "lepaskan rantai ini... tolong..."

Cana ikut menangis. Ia tidak bisa melakukan apapun. "A-aku gak tahu caranya..."

"Kamu bisa keluar dari tempat ini. Kamu tahu caranya. Kamu satu-satunya yang bisa mengambil hatinya. Tapi, tolong, saat dia membiarkan kamu keluar dari ruang ini, tolong cari kuncinya. Tolong... cari kunci itu." Bibirnya yang bengkak bergetar hebat, ia berbisik. "Berjanjilah. Cari kuncinya dan keluarkan aku dari sini. Dia mengawasi kita sekarang. Jangan terlalu nyaring."

Cana mengangguk cepat.

Tak lama, pintu terbuka tiba-tiba. Ratih mundur tergesa-gesa menempelkan tubuhnya pada dinding dan kembali ke sudut tergelap ruangan.

Cana menoleh ke arah Mr. Nut, menatapnya penuh kebencian. Mr. Nut membawa nampan besi berisi sebotol kecil air mineral dan dua bungkus roti. "Alexa, suapi dia ya." Ia menyipitkan mata birunya, tanda bahwa ia tengah tersenyum.

Mr. Nut meletakkan nampan itu di samping tubuh Cana yang tengah duduk. "Aku mau keluar dari sini."

Mr. Nut berjongkok, ia membelai lembut rambut Cana. Cana menepis tangannya. "Kamu harus jadi gadis baik dulu, sayang."

Cana muak mendengarnya, rasanya ia hendak meludahkan salivanya ke wajah laki-laki bertopeng putih itu. Tapi, ia ingat bagaimana janjinya pada Ratih. "Apa yang kamu inginkan?" Tanya Cana.

"Mudah saja." Ia menarik tangan Cana, menggenggamnya erat. Kemudian, ia mendekatkan wajahnya pada Cana dan berbisik, "satu kali pukulan keras pada Ratih, sama dengan satu hari bebas keluar dari ruangan ini, kamu juga bisa menjelajahi labirinku selama satu hari. Pintu itu akan terbuka otomatis kalau kamu berhasil melakukannya. Bagaimana?"

"Sinting!"

Mr. Nut tertawa, "aku sedang lelah, jadi kamu yang harus melakukannya."

"Kenapa? Kenapa kamu melakukan hal ini pada kami?" Cana mulai menangis.

"Jangan terlalu banyak bertanya, sayang. Aku bisa melakukan apa saja padamu." Dia tertawa kecil, kemudian berdiri. "Tunggu sebentar." Ia keluar dari ruangan beberapa saat. Tak butuh waktu lama untuknya kembali masuk dan membawa sebuah tongkat baseball besi, kemudian meletakkannya di samping tubuh Cana. "Pilihan ada di tanganmu, sayang." Dia tertawa untuk yang terakhir kali dan pergi keluar ruangan.

Alexandra's MemoriesWhere stories live. Discover now