4. Jangan Bersembunyi

40.1K 5.1K 648
                                    

"Sebenarnya... gue udah tahu kalau lo adalah penerus A sebelum lo bilang. Gue udah tahu, kalau lo adalah sang penjelajah kenangan para roh." Dia tersenyum penuh arti.

Cana melebarkan matanya tak percaya.

"Hah? Maksud lo? Ta-tahu gimana?"

"Gue percaya kalau A itu belum mati. Dia hanya menghilang untuk menghindari buruan pembunuh. Cuma gue sendiri yang percaya seperti itu. Gue sendiri selalu mencari tahu tentang A." Alam mengetuk-ngetuk meja makan dengan jari telunjuknya. Kemudian, ia menyeringai tiba-tiba selama beberapa detik. Di saat itu, Cana merasa Alam sungguh berbeda, jauh dari tingkahnya yang konyol.

"A belum mati. Lo adalah A. Lo A yang hilang. Lo bukan penerus A, melainkan A sendiri. Cana Berly Alexandra. Alexandra. Iya, kan? Lo gak perlu lagi menutupi identitas lo. Lo sendiri yang membuka identitas lo ke gue."

Cana menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Bu-bukan. Bukan gue!"

"Lo mau beralibi apa?"

Cana memperbaiki posisi duduknya. "Oke, gue ceritain ke lo. Gue bukan A yang lo bilang itu. Sumpah! Gue justru menduga bahwa gue dapat mata A setelah gue buta. Gue buta selama beberapa bulan dan akhirnya kakak gue memutuskan agar gue bisa menjalani operasi transplantasi mata. Setelah gue menjalani transplantasi mata, gue lebih banyak diam di rumah dan selama gue berada di rumah, gue selalu memimpikan kenangan-kenangan yang gue yakini adalah kenangan A karena gue bermimpi hal yang sama setiap malam.

"A, gue yakini, telah memberikan matanya ke bank mata. Itu artinya A sudah meninggal. Karena, salah satu syarat untuk bisa mendonorkan mata adalah harus meninggal. Kalau lo mencari A, maka seharusnya lo mencari tahu, siapa yang mendonorkan mata ini ke gue. Intinya, gue bukan A. Secara logika ajalah. Kalau gue A, gue gak akan ketakutan saat bangun dan gak akan panik. Justru gue akan berusaha menutupi apa yang gue mimpikan. Dia gak akan seteledor itu. Tapi, justru gue panik dan malah cerita ke lo, kan? Gue bukan A."

Alam diam. Bukan melongo seperti tadi, tapi ia terlihat berpikir.

"Terus lo tahu dari mana kalau gue bisa menjelajahi kenangan para roh bahkan sebelum gue cerita? Gak mungkin lo asal nebak kan?"

"Dokter Riza," jawab Alam cepat. "Dia teman bokap gue. Tapi... dia gak bilang kalau lo penerima donor mata. Dia cuma bilang kalau setiap lo datang dan periksa mata, lo selalu cerita kalau lo sering mimpi. Sebenarnya, setiap lo periksa rutin, gue selalu datang ke ruangan Dokter Riza. Yah, gue sedang mencari A. Tapi... gak gue sangka kalau ternyata... prediksi gue yang gak pernah meleset, malah meleset. Ini aneh." Dia masih mengetuk-ngetuk jari telunjuknya ke meja.

"Prediksi?"

"Hmm. Mungkin gue terlalu gegabah dan bersemangat sampai-sampai lupa menanyakan detail itu." Alam masih terlihat berpikir keras, kemudian ia bangkit. "Yaudah lah, yuk ke kelas. Intinya, gue udah nemuin penerus A." Alam terlihat tidak terima, namun seperti memaksa untuk menerima.

"Lo udah bayar?" tanya Cana.

"Oh iyaa. Hampir lupa. Bentar ya, Can." Alam terlihat mencari-cari seseorang, hingga akhirnya ia menemukan Samuel. "Sam!" panggilnya.

Sam melangkah mendekati Alam, kemudian Alam menariknya menjauhi Cana. Cana hanya menaikkan sebelah alisnya.

Terlihat Sam yang mukanya masam, kemudian Alam yang cengar-cengir sambil merangkulnya, ia memajukan bibirnya seperti hendak mencium Sam. Sam merasa geli dan berusaha menjauh. Cana, tentu saja semakin illfeel melihat Alam. Tak lama kemudian, Alam berlari menghampiri Cana, meninggalkan Sam yang cemberut. Alam lagi-lagi menarik lengan Cana menjauhi kantin.

"Sialan lo, Lam!" umpat Samuel.

Alam hanya melemparkan kiss bye pada Samuel.

"Lo apain si Samuel?" tanya Cana sembari melepaskan pegangan tangan Alam darinya.

Alexandra's MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang