CHAPTER 1 - JASAD PERTAMA

72.9K 4.3K 274
                                    

DESA LEDUK, KECAMATAN BANYUSIRIH, JAWA TIMUR 1975

Pesisir punya cerita. Malam hari di Desa Leduk, kecamatan Banyusirih. Pintu rumah Bahrudin diketuk dua pria berbaju lusuh. Bahrudin tahu ini belum tengah malam, tapi cukup larut untuk menerima kunjungan. Anak dan Istrinya sudah tidur, sudah pulas sejak pukul sembilan tadi. Hanya dirinya yang masih terjaga, sendiri merapikan jala. 

"Assalamualaikum, Man Udin." Desak kedua tamunya yang masih berdiri di balik pintu. "Temui saja Pak! Sepertinya penting sekali," Ujar Nyai Isah yang mulai terganggu dengan suara mereka. Tidak ada pilihan lain. Kesal tapi Bahrudin beranjak jua. Ditinggalkan tumpukan jala itu dan segera menuju pintu.

Yang terdengar ketika pintu dibuka adalah suara angin pantai memasuki rumah. Terdengar lengkap dengan suara deburan ombak. Bahrudin sudah terbiasa, yang tidak biasa adalah wajah kedua tamunya itu. Ia tidak kenal, Ia tahu mereka bukan dari Desa Leduk.

"Man Udin," ujar pemuda bermata sipit. Usianya sekitar dua puluh tahun. Dia Mencari nada yang tepat untuk bicara pada orang yang lebih tua. Terutama saat dirinya ada di posisi sebagai penganggu. "Maaf Kami menganggu. Kami mau memberitahukan kalau ada Jenazah yang akan dikubur di sini." Tutur Si mata sipit. Di sampingnya berdiri anak laki-laki berusia sekitar sebelas tahun. Bocah itu mengangguk membenarkan perkataan Si mata sipit.

Bahrudin memalingkan wajah, melihat ke dalam rumahnya. Jam di atas lemari menunjukkan pukul sepuluh tiga puluh malam, waktu yang tidak wajar untuk datang ke pemakaman. Nyai Isah tahu suaminya lelah, tapi sudah jadi tugasnya sebagai seorang penggali kubur. Nyai memberi semangat. Sebuah senyuman kecil pertanda restu untuk pergi bertugas.

Bahrudin mengangguk mantap dan kembali menghadap tamunya. "Siapa yang meninggal?" Tanya Bahrudin. Baginya ini pertanyaan yang wajar. Bahrudin harus tahu kuburan siapa yang akan Ia gali. Anehnya kedua pemuda itu tampak gelisah. Wajah mereka saat itu adalah wajah yang kalaupun menjawab, mereka akan menjawabnya dengan dusta.

"Kakek kami Man," Jawab Tamunya yang paling kecil sembari memberikan secarik kertas. Bahrudin membacanya kemudian menatap wajah itu. Usia anak itu tidak jauh beda dengan anak laki-lakinya, dan sebagai Ayah Ia selalu tahu jika anaknya berbohong. "Kalian mau bawa Kerandanya sekarang atau bagaimana?" Tanya Bahrudin. Sejenak berpikir, kemudian Si mata sipit menjawab, "Kami sudah dapat pinjaman Keranda. Jenazah sedang dalam perjalanan".

Sedikit bingung dengan jawaban tamunya. "Kenapa tidak dikubur di pemakaman tempat mereka meminjam keranda saja?" Gumam Bahrudin dalam hati. Saat ini Ia sedang tidak ingin berdebat. Bahrudin ingin segera menyelesaikan tugasnya dan kembali beristirahat. 

Tidak butuh waktu lama bagi Si tukang gali kubur untuk bersiap-siap. Hanya butuh sebuah sekop dan cangkul tua lalu ketiganya pun berangkat ke pemakaman. 

Desa Leduk terletak di pesisir utara. Sepuluh Kilometer dari desa terdekat. Akses ke Desa tersebut bisa dibilang mudah dengan dibangunnya jalan beraspal. Tapi lima tahun belakangan jalanan yang dimaksud rusak dan semakin tahun semakin parah. Namun demikian setiap hari masih bisa ditemukan pengunjung yang datang hanya sekedar menikmati pemandangan pantai.

Bahrudin dan dua orang tamunya berjalan menyusuri pasir dingin. Mereka menuju ke barat dimana pemandangan semakin gelap. Tentu saja karena mereka berjalan ke arah yang berlawanan dari pemukiman penduduk. Angin pantai malam tampak menyiksa dua pemuda itu. Sesekali mereka menggigil bahkan bersin karena menahan dingin.

Tiba di muara. Jalan yang mereka lalui terhalang arus. Tidak deras pun tidak terlalu dalam, tapi mereka bertiga tidak ingin sarungnya basah. Bahrudin dan kedua tamunya menyebrangi muara kecil yang mempertemukan sungai dan pantai. Kakinya terasa dingin dan semakin menyengat saat tertiup angin.

Sesampainya di seberang mereka melanjutkan lagi perjalanan. Kali ini kedua pemuda itu melepas alas kaki, karena sensasi berjalan di atas pasir dengan kaki basah, terasa sayang untuk dilewatkan. Hingga akhirnya mereka bertiga tiba di pemakaman umum Astah Dejeh. 

Memasuki pintu pemakaman, kedua tamu Bahrudin tidak mampu menahan takjub. "Luas sekali." Gumam Si mata sipit sebelum akhirnya mereka ingat di mana sebenarnya mereka berada. Rasa takut menguasai. Kedua pemuda itu hanya berdiri mematung menyaksikan Bahrudin menuju pondok kecil tempat menyimpan Keranda Mayat.

Bahrudin kembali membawa lampu petromaks yang disimpannya di pondok kecil itu. Diikuti oleh kedua tamunya, Ia mencari lokasi yang pas untuk menggali liang lahad. 

Berjalan di pemakaman bukan hanya tentang menahan takut, terlebih pada malam hari. Tapi juga berusaha agar tidak ada kuburan yang dilangkahi. Bagaimanapun masyarakat percaya bahwa melangkahi kuburan akan mendatangkan malapetaka. Tapi tidak bagi Bahrudin. Kedua tamunya tampak risih dan ketakutan melihat Bahrudin berjalan melangkahi bahkan menginjak kuburuan satu demi satu.

"Tidak usah takut. Asal tidak menginjak yang berlubang, aman kok." Ujar Bahrudin dengan sedikit canda dan itu berhasil melipat gandakan rasa takut kedua tamunya.

Akhirnya diputuskan. Di sebuah area kosong, tepat di samping kuburan kecil dan di samping pohon cempaka putih, Bahrudin memulai tugasnya. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan, semacam doa atau ritual khusus yang sudah jadi adat di daerah tersebut. Usai dengan semuanya, Bahrudin mulai menggali.

"Kalian boleh pulang duluan kalau mau." Bahrudin menghentikan sejenak pekerjaannya karena kasihan melihat kedua pemuda tersebut. Mereka tampak kedinginan dan yang terpenting sangat ketakutan. "Tidak apa-apa Man, kami menunggu di sini saja," jawab si mata sipit.

"Kalian datang berdua? Naik apa?" Tanya Bahrudin. "Naik sepeda Man, Boncengan." Jawab si mata sipit. Bahrudin memandangi kedua pemuda itu, muncul rasa iba membayangkan mereka harus mengayuh sepeda malam hari untuk sampai di desa ini. 

Sebenarnya ini bukan pertama kalinya Bahrudin menggali kubur di malam hari. Pernah suatu ketika ia harus pergi ke pemakaman pada pukul satu dini hari, karena ada jenazah yang harus dikebumikan. Ia hanya tidak menyangka seseorang mengutus dua pemuda ini untuk mengurus pemakaman kakeknya. 

Selanjutnya waktu berlalu dengan saling diam. Bahrudin melanjutkan pekerjaan sambil sesekali melihat kedua pemuda yang entah sejak kapan lelap bersandar di pohon cempaka. 

Dua jam berlalu. Pemakaman Astah Dejeh malam itu diselimuti cahaya lampu pertromaks. Sedikit mengurangi kesan angker dan ngeri, hingga akhirnya dari kejauhan muncul cahaya lain yang perlahan-lahan mendekati pemakaman.

"Sudah datang." Bahrudin beranjak bangun, diikuti oleh kedua pemuda yang baru saja kembali dari tidur lelapnya. Mereka menuju gerbang pemakaman, menyambut datangnya para pengantar jenazah. 

Tampak sebuah keranda berbalut kain merah di atas pundak enam orang pria. Berjalan pelan di tepi pantai dengan iringan dzikir yang semakin jelas terdengar. Dari keenam pria pengantar jenazah tidak satupun terlihat gagah. Semua lelah, tubuhnya penuh keringat walaupun sudah diterpa angin malam.

"Sebenarnya sampean-sampean ini dari mana?" Tanya Bahrudin. Khawatir akan kondisi para pengantar jenazah yang kelihatannya hampir pingsan. Mereka membawa Keranda tersebut memasuki pemakaman dan menurunkannya tepat disamping lubang yang Bahrudin gali.

"Dusun Lindung Pak. Kami dari Dusun Lindung," Jawab salah seorang pengantar jenazah. Mendengar nama desa itu Bahrudin terkejut bukan main. Dusun Lindung dan Desa Leduk berjarak hampir sepuluh kilometer, hampir mustahil jika enam orang ini menempuh perjalanan sejauh itu sambil membawa keranda berisi jenazah. Tapi nyatanya mereka sampai di pemakaman Astah Dejeh walaupun dalam kondisi memprihatinkan.

"Ada sumur di sebelah sana. Kalian bisa minum dan cuci muka." Kata Bahrudin sembari menunjuk ke arah sumur di luar area pemakaman. "Tentukan juga siapa yang mau Adzan, biar jenazah bisa segera dimakamkan" Imbuh Bahrudin.

Tukang Gali kubur itu membuka kain penutup keranda yang menurutnya tidak wajar. Umumnya kain seperti itu berwarna hijau, baru kali ini Bahrudin melihat sebuah Keranda dibalut dengan kain merah. Barulah saat kain tersebut dibuka, saat Bahrudin melihat dengan jelas apa yang ada di balik kain merah itu, Ia mengerti apa yang sudah terjadi.

"Sebenarnya, Mayat siapa yang kalian bawa?"


TIMUR TRILOGI #2 BARISAN KERANDA MERAH


BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang