CHAPTER 45 - KEPALA DI DINDING KAMAR

17.7K 2K 142
                                    

EMPING

"Mbak," Panggil Emping kecil. Untuk kedua kalinya Ia bangun tanpa Marlena di sampingnya Belum terlalu larut; masih dapat Emping dengar suara tetangganya sedang duduk bercengkrama di teras rumah. Tapi saat ini suara Marlena lah yang ingin Emping dengar.

Air matanya sudah deras mengalir. Setelah apa yang Emping alami kemarin, Ia jadi cepat sekali merasa takut. "Mbaaak!" Teriaknya. Terjebak di kamar dan tidak berani keluar. Melewati ruang tamu saja Emping harus berpikir seribu kali. "Gimana kalau keranda merah itu ada di sana?" Tanya emping dalam hati. Mungkin kemarin malam Ia dan Kakak perempuannya bisa tidur nyenyak karena Azwar, Edo dan Anto berjaga di luar, tapi malam ini beda cerita.

SREK

Benar sekali, malam ini beda cerita. Emping mendengar suara dari ruang tamu, seperti suara langkah kaki tapi lebih keras. Melompat? "Mbaak! Huuuuuu," Tangis Emping. Malang sekali nasib si kecil. Ia ingin segera keluar tapi di saat yang bersamaan ingin tetap di dalam. Untuk kedua kalinya Marlena menelantarkan sang adik, melewati malam suram dengan sesosok pocong di ruang tamu, yang sedang melompat mendekati pemilik suara tangis itu.

Emping berhenti menangis manakala mendengar suara orang di luar rumah. "Kabarnya di rumah Pak Novanto juga ada penampakan. Dia melihat pocong di atas tiang jemuran." Seru salah seorang pria dengan nada meremang. "Iya tah? Sial! jadi doa bersama kita tempo hari sia-sia?" Pria lainnya menanggapi. "Tidak ada gunanya mengeluh. Desa ini sudah kena kutukan sejak tiga juru kunci meninggal, Saya mau mengungsi malam ini juga." Kalimat itu yang terakhir kali Emping dengar.

Emping melempar bantal gulingnya jauh-jauh, kemudian turun dari ranjang dan berteriak seraya memukul dinding rumah. "Tolooong Paman, Pakde, Mbah, Saya takut sendirian." Suara Emping dapat didengar dengan baik dari luar, mengingat dinding rumahnya yang terbuat dari bilik bambu. Tapi siapapun yang barusan lewat, mereka memilih menyelamatkan diri dan menyerahkan Emping pada nasibnya sendiri.


HAKIM

Kediaman Hakim berjarak satu rumah dari rumah Marlena. Itu berarti teriakan Emping terdengar cukup jelas ke rumahnya. Tapi siapa yang peduli pada tangisan anak kecil di seberang, jika isak istri di pelupuk mata tidak kunjung reda.

Hakim dan istrinya duduk di lantai, bersandar pada satu lemari di satu kamar gelap. Baru sesaat lalu memutuskan untuk tidur nyenyak, tapi sosok menyeramkan di ruang sebelah enggan untuk beranjak. Semakin larut, semakin menyangkak bulu kuduk Hakim, semakin betah sosok itu bertamu.

"Pak," Lirih suara istrinya. Mata basah itu dialihkan pada pintu Kamar yang sedikit terbuka. Besar kemungkinan sosok di luar kamar sudah menyadari persembunyian mereka berdua. Tapi berada di dekat pintu yang terbuka, sudah menciptakan ilusi seolah mereka bertiga berada di ruang yang sama.

Hakim menjulurkan kaki kanannya pada ujung pintu. Tidak mudah melakukannya dengan tetap mempertahankan posisi, menahan nafas dan suara. Ujung ibu jarinya menyentuh permukaan kayu. Pelan – pelan Hakim mendorongnya, membuat daun pintu bergerak menutup sisa – sisa celah.

KREK

Sekarang Hakim dan Istrinya bisa melepas nafas yang untuk beberapa detik sempat tertahan. Tinggal menunggu waktu yang tepat untuk keluar dari rumah, atau bersabar hingga tamu tak diundang itu pulang dengan sendirinya.

Hakim mengusap keringat di kening istrinya, walaupun keringatnya sendiri menggantung di dagu dan telinga. Betapa duduk di bawah tekanan bisa membakar kalori lebih banyak dari berlari keliling lapangan. Mereka rasakan itu, tapi tidak lagi merasakan kehadiran seseorang di luar kamar. Tidak ada suara mendesis, suara erangan bernada rendah yang sejak tadi jadi musik latar perjuangan Hakim dan Istrinya.

"Sudah hilang?" Bisik Hakim. Entah pada siapa Ia bertanya.

Hakim kembali bergerak, bermaksud mengintip dari celah – celah pintu kamar. Di belakang Hakim Istrinya mengikuti, walau sebenarnya cukup sepasang mata untuk sekedar memastikan keadaan di luar dan sepasang mata lagi untuk di dalam. Dengan begitu, mereka bisa menyadari munculnya kepala perempuan dari balik dinding tepat di atas kepala Hakim dan Istrinya. Tinggal menunggu mereka mendongak lalu berteriak ketakutan, atau hantu itu yang bersuara,

HIHIHIHIHI

Dan suami istri itu pun berteriak ketakutan.

"Hantuu," Jerit Hakim dan Istrinya. Mereka berpengang tangan, bangkit dari persembunyian dan berlari bak dicambuk tuan. Setelah membuka pintu kamar, dapat mereka lihat sebagian tubuh hantu perempuan itu ada di sana, sementara kepalanya masih di dalam, tertawa dengan suara yang menggema.

"Yang kuat Bu, yang kuat!" Suntikan semangat dari Hakim seraya membawa istri dalam pelarian. Mereka berhasil keluar rumah, berharap kerabat dan tetangganya menyambut dan memberi perlindungan. Naas. Yang memenuhi teras rumahnya justru kerabat si hantu, berwujud pocong, sudah siap menyambut Hakim dan Istrinya untuk memberi keputus asaan. Akhirnya Hakim pun pingsan.


ANTO

Sendawa ternikmat adalah saat nasi pecel yang belum dicerna perut, sudah basah oleh kopi dan taburan kacang rebus. Dan saat gas itu keluar dari kerongkongan, asap rokok ikut mengiringi lewat hidung, bersamaan dengan suara layaknya macan sedang megaum.

Anto merasakan sensasi itu dalam perjalanan pulangnya dari warung Marlena. Janda kembang nan ayu itu tidak pandai memasak, tapi sedikit senyuman manis, micin tidak lagi dibutuhkan untuk penyedap rasa. Apapun yang dibuat Marlena terasa lezat di mulut Anto. Barulah ketika rokoknya habis, terasa sekali betapa asinnya sambal kacang racikan primadona desa itu

"Mungkin Marlena perlu belajar masak dari Mbah Saya. Walaupun keriputnya sudah sampai ujung jari, tapi nasi pecelnya masih yang paling lezat sampai saat ini." Anto bicara sendiri.

Berjalan layaknya siswa sekolah dasar yang baru pulang sekolah. Anto menendang batu, botol, kaleng dan apapun yang ditemuinya di jalan. Kecuali yang sedang mendekat dari arah berlawanan. Yang satu ini tidak bisa Anto tendang.

"Nak Anto," Sapa seorang kakek yang tampak tergesa-gesa mengayuh becak sambil membawa lampu senter.

"Mau kemana Kak Tuan?" Tanya Anto. Kakek yang ada di hadapannya ini adalah tukang becak yang sering pulang – pergi Leduk - kalakan untuk antar – jemput ikan.

"Saya mau ke rumah Pak Kades. Warga Kampung diganggu pocong lagi."

"Lagi?"

"Ya, lagi."

"Kali ini rumah siapa yang diganggu?" Tanya Anto. Mulai muncul raut ganar di wajahnya.

"Toto, Mulin, Kerto, Malihun, Dawel, Pak Miing, Nyai Suk, Siti Rohmah,"

"Semuanya?" Sela Anto.

"Semuanya!" Tegas tukang becak itu.

"Kak Tuan sebaiknya pergi ke rumah Haji Matlawi di selatan. Dekat Astah Laok. Untuk yang satu ini, Pak Gamar tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan Saya yakin saat ini beliau juga sedang terkencing-kencing." Tutur Anto memberi saran. Tapi Karena panik mempengaruhi nada bicaranya, yang diucapkan barusan terdengar seperti perintah.

"Sekarang?" Tanya si tukang becak.

"Ya sekarang!" Seru Anto.

Berakhir sudah percakapan keduanya. Anto dan tukang becak itu berpisah, pergi dengan tergesa-gesa sembari mengemban tugas berbeda namun untuk tujuan yang sama. Anto harus segera sampai di rumah, ada banyak kerabat dan sahabat yang butuh bantuannya. Bukan Anto berani, bukan pula berniat jadi pahlawan. Tapi terakhir kali kejadian seperti ini menimpa mereka, pagi harinya mereka harus menguburkan tiga jenazah sekaligus.

"Sialan! Semoga kali ini tidak ada korban." Ucap Anto.

BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang