CHAPTER 28 - GARIS MERAH CAKRAWALA

20.2K 2.1K 38
                                    

MAN MAHRUM

Batu hitam di depan gerbang pemakaman. Man Mahrum duduk bersila, sambil menikmati rokok klobotnya. Tiga batang sudah, tembakau berbalut kulit jagung itu habis dihisapnya. Tidak pernah Man Mahrum merokok sebanyak ini dalam sehari, terutama saat dokter menyarankan untuk berhenti. Sepertinya setelah kepergian tiga orang sahabat sekaligus gurunya, Man Mahrum akan merokok lebih banyak lagi.

Langit mulai memerah, terutama di garis batas yang orang sebut cakrawala. Banyak alasan untuk pulang, salah satunya untuk membantu sang istri mempersiapkan acara tahlilan. Tapi Man Mahrum masih betah duduk di atas batu hitam, menunggu seseorang diantara rombongan Sumbergede, yang masih khusyuk berdoa. Mereka datang dari desa tetangga, jauh sekali untuk mengantarkan jenazah kerabatnya.

"Tidak setiap hari Saya bisa melihat pemandangan seperti ini," Ujar Pak Saleh yang tanpa Man Mahrum sadari sudah berdiri di sampingnya. Pak Saleh tampak sangat mengagumi pemandangan elok di cakrawala. "Hahaha, Sumbergede punya hutan yang indah, dan keindahannya bisa Sampean nikmati setiap hari." Sahut Man Mahrum dengan mata yang masih memandang jauh ke tengah lautan, dan mulut yang masih penuh dengan asap tembakau.

"Ah hutan di desa Saya cuma indah dari luar saja, begitu Sampean masuk ke dalam, Sampean pasti berubah pikiran." Ujar Pak Saleh. Mendengar itu, Man Mahrum menoleh dan melihat wajah sahabat lama, sekaligus seniornya itu. "Kenapa Sampean tidak menyelam saja ke dasar laut, dan kita lihat apakah Sampean akan berubah pikiran?" Tanya Man Mahrum.

Sesaat keduanya terdiam, lalu diam itu berakhir dengan tawa keras Pak Saleh. "Huahahaha, dasar Kotempa! Mirip sekali dengan Bahrudin." Pak Saleh berkata sambil menepuk punggung Man Mahrum hingga sang juru kunci terbatuk-batuk.

"Uhugh! Uhugh!" Man Mahrum sedikit merasakan nyeri di bagian punggung. "Gila ini kakek. Sudah tua tapi tenaganya masih kuat. Pantas saja semua orang takut padanya." Gumam Man Mahrum dalam hati.

Pak Saleh duduk di kursi kayu yang sudah Man Mahrum sediakan. Ia menolak dengan halus saat ditawari sebatang rokok. "Tolong jangan bunuh Saya!" Katanya. Di dalam pemakaman, rombongan keluarga Almarhum Ustad Tolak masih khusyuk berdoa, hanya Pak Saleh yang lebih dulu beranjak pergi dan memilih berbincang-bincang dengan sang juru kunci.

"Terima kasih sudah menyediakan tempat istirahat terakhir untuk sahabat Saya," Ucap Pak Saleh. "Ustad Tolak lahir dan menghabiskan masa kecilnya di Leduk, sebelum akhirnya Ia nyantri di Sumbergede. Jadi sudah sepantasnya Almarhum kembali ke rumahnya sendiri." Sahut Man Mahrum. "Hanya saja sebagai seorang tokoh agama, kenapa beliau tidak dimakamkan di Astah Sokogede saja?" Man Mahrum lanjut bertanya.

"Semasa hidupnya, Almarhum selalu bertentangan dengan pengasuh Pesantren Sokogede. Wajar jika sebelum meninggal Ustad Tolak minta dikuburkan di kampung halamannya saja." Pak Saleh membuka kopiah hitamnya, membuat rambut putih kuncir sebahunya terlihat jelas. "Dasar keras kepala! Padahal kalau dia mau, Kiai juga tidak mungkin menolak," gerutu Pak Saleh.

"Katakanlah Almarhum beruntung. Tidak semua orang bisa memilih kuburannya sendiri, terutama di masa yang kelam ini." Ujar Man Mahrum. 

Tiba-tiba Pak Saleh teringat kabar tentang tragedi yang menimpa Desa Leduk tadi malam. "Saya mohon maaf karena tidak bisa hadir di pemakaman Ki Mujur. Terakhir kali kami bertemu, saat ada perayaan Maulid Nabi di pondok pesantren." Ujar Pak Saleh. Wajahnya penuh sesal dan rasa bersalah.

"Ah tidak apa-apa. Almarhum Pakde pasti senang karena sahabat lamanya datang berkunjung." Ujar Man Mahrum. "Hehehe. Waktu kecil dulu Mujur dan Bahrudin tidak pernah akur. Sekarang mereka sudah istirahat di alam sana. Saya hanya berharap mereka tidak saling bertengkar," Tutur Pak Saleh sambil bercanda.

"Man Mahrum? Sampean tidak ke lapangan?" 

Suara itu berasal dari seseorang yang sedang lewat di samping pemakaman. Orang tersebut mengenakan baju koko, sarung, dan sandal jepit serta kopiah hitam. 

"Sebentar lagi Saya ke sana. Kamu mau kemana Do?" Tany Man Mahrum pada Edo.

"Mau ke Mushallah Man. Mampir ke sini untuk melihat kondisi perahu." Jawab Edo ramah. Sudah beberapa hari Edo dan nelayan lain tidak melaut karena masa sepi yang mereka sebut 'Laep'. Masa dimana perputaran bulan sedang dalam posisi yang tidak bersahabat. 

Edo terkenal rajin dan gigih dalam bekerja. Hari ini pun sebelum ke Mushallah Ia menyempatkan diri memeriksa perahunya.

"Ya sudah, hati-hati di jalan. Ada pocong berkeliaran." Canda Man Mahrum.

Edo menanggapinya dengan tawa, tapi harus segera Ia akhiri saat melihat rombongan pengantar jenazah yang sedang berdoa. Edo pun berlalu pergi. Man Mahrum dan Pak Saleh kembali pada percakapan pribadi.

"Percuma Saya hadir ke acara doa bersama, toh warga masih belum percaya pada Saya. Di mata mereka Saya tidak lebih dari orang biasa." Ujar Man Mahrum seraya tersenyum murung, menyembunyikan kesedihannya.

Pak Saleh meletakkan telapak tangan kanannya di pundak Man Mahrum. Tangan yang besar itu seolah meringankan beban berat yang Man Mahrum pikul setelah kepergian tiga juru kunci. 

"Dulu, jauh sebelum cerita tentang empat pemakaman, Bahrudin adalah satu-satunya juru kunci. Dia menjaga Desa ini sendiri, sama seperti Almarhum Bapaknya, Kakeknya dan juga Buyutnya." Tutur Pak Saleh. Man Mahrum tersenyum kecil, Ia merasakan sedikit semangat dan tekad untuk bangkit.

"Bahrudin bukan orang sakti. Dia hanya orang yang taat beribadah dan berpegang teguh pada keyakinannya. Bahrudin tipikal orang yang sangat dibutuhkan di desa seperti ini, disegani para warga, baik yang nyata maupun yang ghaib." Tutur Pak Saleh. Man Mahrum sangat senang mendengar cerita tentang Bapaknya. Terlebih jika itu datang dari orang yang kenal dekat dengan Almarhum. 

"Itulah kenapa selama Bahrudin hidup, warga bisa hidup damai walaupun berdampingan dengan kuburan. Kalaupun sekarang ada yang berubah, Saya tidak tahu. Tapi Saya yakin jawabannya ada di depan mata, walaupun itu tidak akan tampak selama mata kalian masih sibuk melihat yang tidak seharusnya terlihat." Pak Saleh mengakhirinya dengan kalimat yang tepat. Man Mahrum mencatatnya di kepala yang sejak tadi tertutup kopiah merah, sama merahnya dengan langit saat itu.

Banyak yang ingin Man Mahrum tanyakan, banyak pula nasehat yang ingin Ia dengar. Tapi untuk saat ini Man Mahrum harus menyimpannya, karena tiba-tiba Saripudin datang mengayuh sepedanya dengan tergesa-gesa. Nelayan berkulit hitam itu melompat turun, membiarkan sepeda tuanya tergeletak di tanah. Sepeda itu bahkan bukan miliknya. 

"Man Mahrum, Sampean harus ke lapangan kasti sekarang juga!" Seru Saripudin dengan nafas yang tidak beraturan. Man Mahrum dan Pak saleh bangkit dari duduknya dan berusaha menenangkan Saripudin yang panik. "Kalau bicara pelan-pelan! Memangnya ada apa di lapangan?" Tanya Man Mahrum. Saripudin mengangkat wajahnya yang baru saja menunduk untuk mengatur nafas, lalu dia berkata, "Sesuatu sedang terjadi sama para jamaah di sana!"



BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang