CHAPTER 32 - SEJENGKAL DI DEPAN MAN MAHRUM

19.5K 2.2K 441
                                    

PAK SALEH

Sejatinya suara adzan adalah panggilan, dan setiap kali dikumandangkan maka yang terpanggil harus segera datang. Setidaknya itu jadi salah satu alasan kenapa Warga mulai berbondong-bondong meninggalkan lapangan kasti. Alasan lainnya adalah untuk acara Tahlilan Ki Mujur dan Ki Rozak, sedangkan alasan sebenarnya adalah takut, takut kejadian yang menimpa tetangga dan kerabatnya terjadi juga pada Mereka.

Ambulans sudah tiba di lokasi, lapangan yang sempat gelap pun mulai sedikit terang karena beberapa Warga ada yang datang kembali dengan membawa lampu dan senter. Mereka adalah keluarga korban yang enggan membawa pulang saudara, orang tua, atau anaknya sebelum ruqyah selesai. Sedangkan butuh sekitar sepuluh sampai lima belas menit sampai korban kesurupan berhasil disembuhkan.

"Kenapa lama sekali? Saya pernah melihat Ki Rozak melakukannya dan beliau hanya butuh waktu lima menit." Protes seorang bapak yang sudah menunggu sepuluh menit, tapi putrinya belum juga sembuh.

"Saya juga heran Lek." Bisik seorang santri yang datang bersama Sukacung. "Belum pernah Kang Acung mengurus orang kesurupan sampai berkeringat seperti ini. Sepertinya beliau sangat kewalahan." Ujarnya.

Sukacung sudah tidak lagi mengenakan kopiah putihnya. Kancing di kerah bajunya dilepas, lengan bajunya pun naik sampai siku. Keringat mengalir deras dari kening, pipi hingga dagunya. Belum lagi yang mengalir di leher dan di sekujur badan. Pemuda itu sudah hampir mencapai batas, sedangkan Ia baru mengurus dua orang.

Berbeda dengan Pak Saleh. Sudah lima belas menit berlalu tapi Pak Saleh masih terjebak di satu orang, dan orang itu adalah Pak Gamar. 

"Air!" Pinta Pak Saleh. Pak Awang dan aparat desa segera memberi Pak Saleh sebotol air, yang langsung disiramkan ke wajah Pak Gamar. Kepala Desa yang malang itu pun jadi susah bernafas. 

Setelah terbatuk-batuk, Pak Gamar kembali mengamuk dan menerkam Pak Saleh. Untuk orang tua, kurus dan gagap seperti Pak Gamar, walau kemasukan sepuluh jin sekaligus, hanya butuh satu pukulan bagi Pak Saleh untuk mengirimnya kembali ke tanah. "Aaagh," Pak Gamar mengaduh kesakitan.

"Air!" Pinta Pak Saleh lagi. Dengan wajah cemas Pak Awang memberikan sebotol air, dan dengan wajah garang Pak Saleh menyiramkannya ke wajah Pak Gamar hingga Si Gagap kembali megap-megap. Pak Saleh membuang botol sisa air tadi ke tanah, dimana sudah ada sebelas botol air lain yang berserakan. Hal itu membuat aparat desa ketakutan, karena walaupun Pak Gamar bebas dari kesurupan, Ia pasti akan meninggal di tempat. Belum lagi pukulan Pak Saleh barusan adalah pukulan ke sepuluh yang dihujamkannya ke wajah kepala desa.

"Maaf nih Ustad," Ucap Pak Awang sambil menggaruk kepala. "Sebenarnya Sampean sudah berapa kali menangani orang kesurupan?" Tanya Pak Awang.

"Baru sekarang," Jawab Pak Saleh datar. Mendengar jawaban Pak Saleh, Pak Awang dan aparat desa serempak melihat Pak Gamar yang terbaring di terpal dan berbisik, "Innalillahi wa inna ilaihi rajiun."

Pak Polisi menyadari bahwa menangani orang kesurupan bukanlah keahlian mereka. Tiga orang berseragam itu membantu membawa korban yang sudah selesai diruqyah ke ambulans, dan sisanya dinaikkan ke becak yang satu persatu mulai berdatangan. "Kami akan bawa Adik ini langsung ke rumah sakit, sepertinya dia kehilangan banyak cairan." Ujar petugas ambulans. "Mengerti!" Jawab Pak Polisi. "Kami masih butuh bantuan Anda di sini. Ada beberapa yang mengalami luka memar dan goresan di lehernya!" Ujar Pak Syakur. "Siap Pak, kami akan langsung kembali." Sahut petugas pembawa tandu.

"Siapa orang tua itu?" Tanya Pak Imam yang sedang berdiri bersama Anto, Saripudin dan tiga orang tukang becak serta beberapa warga. Anto melihat kemana arah pandang Pak Imam, kemudian Ia menjawab. "Saya kurang tahu, sepertinya beliau sahabat Man Mahrum dari Sumbergede. Memang kenapa Pak?" Tanya Anto. "Sumbergede?" Gumam Pak Imam sembari memandangi Pak Saleh.

BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang