CHAPTER 37 - LAPORAN UNTUK PAK GAMAR

19K 2.1K 72
                                    

PAK GAMAR

Dua orang tua duduk di satu meja, saling benci, saling berusaha menang sendiri. Tidak ada kontes wajah terseram di sana; di kantor desa, tapi jika harus dinilai wajah siapa yang terburuk, sudah pasti pak gamar juaranya. Ia menatap benci pada tamu yang diundangnya sendiri, tamu itu adalah Pak Waroh, pemilik kebun pisang yang sejak kemarin mangkir dari panggilan desa.

Kedua orang tua beda ukuran ini adalah musuh abadi. Ada sejarah kelam diantara Pak Gamar dan Pak Waroh, terkait kepemilikan tanah yang saat ini sudah jadi lapangan Kasti. Oleh karena perselisihan keduanya tidak kuncung reda, Kepala Desa  sebelumnya meminta agar tanah tersebut diwakafkan saja. Mereka setuju, Pak Gamar sangat setuju, sampai hari ini.

"Ini bukan desa Saya, Kamu bukan Kepala Desa Saya!" Tegas Pak Waroh.

Tak kuasa menahan amarah, Pak Gamar mengambil cangkir berisi teh panas yang ada di depannya, meminum lalu melempar cangkirnya ke wajah Pak Waroh hingga pecah.

Ya, Itulah yang sangat ingin Pak Gamar lakukan, hanya saja untuk saat ini Ia sangat butuh bantuan. Pak Gamar duduk sabar dengan balutan perban di wajahnya, berharap pria gendut berkalung emas itu mau bekerja sama.

"Ja, ja, jadi Sampean benar-benar tidak mau?" Tanya Pak Gamar. Kumisnya bergetar ke atas dan ke bawah, pertanda ia menahan marah. "Ya! Apapun yang terjadi, Saya tidak mau menjual tanah Saya untuk dijadikan pemakaman, dan Saya tetap ingin mayat-mayat di kebun itu dipindahkan. Titik!" Pungkas Pak Waroh.

"Begini Pak, re, re, re;okasi kuburan itu tidak semudah membalikkan tel, tel, telapak tangan. Lagipula Kami tidak punya tanah ko, ko, kosong untuk,"

"Itu urusan kalian!" Pak Waroh memotong. "Kenapa tidak pindahkan saja ke lapangan kasti di timur?!" Lanjutnya.

Saat itu kantor desa sedang padat. Setelah banyak hal terjadi di Desa Leduk, para perangkat desa datang jauh lebih pagi. Ada mobil polisi parkir di halaman, tampak Pak Awang sedang berbincang-bincang dengan seorang aparat. Sementara di ruang kerja, Pak Gamar tidak tahu lagi harus bicara apa. Yang lain pun mulai berbisik-bisik, sedikit keras karena mereka tahu Pak Gamar tidak mungkin mendengar.

"Kenapa jadi bahas relokasi kuburan?" Bisik seorang petugas.

"Ya itu, harusnya yang Pak Kades tanyakan adalah keterlibatan Pak Waroh dalam penguburan jenazah tanpa ijin. Bukan malah bahas tanah!" Petugas yang lainnya menjawab.

"Kalau boleh menebak-nebak, orang ini pasti ada kaitannya dengan pembunuhan tiga juru kunci. Makanya Pak Gamar takut mau nanya macam-macam, takut dibunuh."

Acara bisik-bisik itu harus berakhir saat tiba-tiba Pak Gamar mengangkat suaranya sambil memukul meja.

"Kalau gitu urus saja relokasinya sendiri! Saya tidak tertarik lagi menjadikan kebun itu sebagai pemakaman umum, silahkan tanam apapun yang Sampean mau! Siapa tahu nanti akan berbuah pocong." Seru Pak Gamar.

Perdebatan antara Pak Gamar dan Pak Waroh bermula saat Pak Waroh bersikeras bahwa Desa Leduk harus bertanggung jawab atas apa yang ditemukan di kebunnya. Menanggapi dengan kepala dingin, Pak Gamar menawarkan agar tanah itu diwakafkan saja untuk dijadikan pemakaman umum. Pak Waroh menolak, Pak Gamar pun berang.

"Panggil Pak Awang! Suruh Ba, bam babi ini pulang!" Perintah Pak Gamar.

"Busuk sekali mulutmu Gamar!" Bentak Pak Waroh yang langsung berdiri dan mengacungkan jari telunjuknya pada Pak Gamar. Ia melanjutkannya dengan mengumpat, sumpah serapah, nama-nama binatang, dan kata-kata kutukan tanpa sekalipun menurunkan jarinya. "Jangan sok suci hanya karena jabatanmu tinggi! Saya tahu busuknya Kamu, Saya tahu Gamar!"

Petugas pun kewalahan menenangkan Pak Waroh, butuh tenaga empat orang pria untuk menggeser badan besar itu. Belum lagi kaki nya masih sempat menginjak kaki petugas kantor desa, hingga dua orang dari mereka berteriak kesakitan.

Sesampainya di luar, barulah Pak waroh mau tenang. "Wes, lepas!" Bentaknya yang tidak mau disentuh oleh orang. Keributan tersebut membuat Pak Awang dan seorang polisi harus turun tangan. Merasa berbuat gaduh dan menyakiti anak buahnya, Pak Awang berusaha menasehati Pak Waroh dengan ramah. Tangannya memegang lengan besar Pak waroh, dan tangan Pak Waroh menghantam muka Pak Awang.

"Sudah Saya bilang, lepas!" Teriak Pak Waroh.

Barulah saat Pak Polisi melerainya, Pak Waroh mau bersikap tenang. "Apa urusannya sudah selesai?" Tanya Pak Syakur. "Sudah, Saya mau pulang sekarang!" Jawab Pak Waroh sambil berlalu pergi. Merasa bertanggung jawab karena sudah membawanya, Pak Polisi pamit untuk mengembalikan Pak Waroh ke rumahnya.

Pak Awang dan tangan kanan di pipi kirinya, aparat desa dan tatapan iba nan geli di matanya.  Hidup kadang tidak adil, dalam hati Pak Awang bertanya-tanya "Kenapa yang terlibat masalah selalu orang yang memiliki nama?" dalam hati pula Pak Awang berharap "Kalau tahu begini, Saya lebih memilih disebut aparat desa saja."

"Oh ya, mana Pak Kades?" Tanya Pak Awang.

"Baru saja masuk ke kantornya Pak." Jawab salah seorang petugas kantor desa.

Pak Awang menyusul Pak Gamar, ada sesuatu yang harus Ia sampaikan. Ruangan Pak Gamar memilki sebuah jendela yang  tirainya selalu terbuka, tapi tidak pagi ini. Sejenak Pak Awang berpikir, "Apa ini waktu yang tepat untuk masuk?" Dan setelah menemukan jawabannya sendiri, Pak Awang pun membuka pintu karena "Ya! Ini saat yang tepat."

"Assalamualaikum," Pak Awang mengucap salam.

Pak Gamar dan seorang tamu menjawab salamnya dengan suara yang sangat pelan. Sudah ada tiga cangkir kopi di meja, dan itu artinya kedatangan Pak Awang memang sudah diharapkan.

"Po, po, polisinya sudah pulang?" Tanya Pak Gamar, seolah memastikan bahwa percakapan mereka bertiga tidak terdengar oleh pihak yang salah. Pak Awang menjawab dengan anggukan.

"Jadi ada kabar apa hari ini?" Pak Awang memulai pertanyaan pertamanya segera setelah Ia duduk di tengah Pak Gamar dan tamunya. "Sedikit, tapi ini berita besar," Jawab Pak Gamar.

"Hari ini truk pengirim barang akan datang, ini  saat yang tepat untuk mulai memata-matai area gudang. Apa yang ditimbun di sana, dan apa yang truk itu bawa, semua masih jadi misteri." Ujar Pak Gamar. Mendengar hal itu, Pak Awang menoleh ke arah tamunya.

"Hati-hati, Saya mohon hati-hati. Saya tidak mau mereka mencurigai Kamu walaupun sedikit." Ujar Pak Awang.

"Ya! Pak Awang benar, Saya tidak mau Kamu berakhir seperti Mahfud." Pak Gamar menanggapi.

"Anu, Saya punya permitaan." Ucap tamu tersebut. "Monggo," Pak Awang mempersilahkan.

"Jika nanti terbukti ada sesuatu dengan Gudang itu, Saya ingin Bapak melepaskan Man Rusli. Saya yakin beliau tidak ada sangkut pautnya dengan Pak Imam." Rengek tamu tersebut.

Untuk beberapa saat Pak Awang dan Pak Gamar berdiskusi kecil, lalu sampai pada sebuah kesepakatan. "Semua tergantung pada siapa Rusli berpihak," Ujar Pak Gamar. "Untuk saat ini jangan pikirkan itu dulu. Tetap lakukan apapun untuk mengalihkan perhatian mereka! Mengerti?" Tanya Pak Gamar.

"Ya! Saya mengerti, jawab tamunya yang tidak lain adalah Mufin. Pekerja di tambak udang.

BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang