CHAPTER 17 - BAKAR KESEPAKATAN LAMA

24.5K 2.3K 416
                                    

EMPAT JURU KUNCI

Sudah di ujung sore hari, sekitar sepuluh menit menuju tujuh belas pas. Kantor desa Leduk masih ramai walaupun sudah lewat jam kerja. Memang tidak semua petugas ada di sana, sebagian sudah pulang karena berbagai alasan, sebagian lagi masih tinggal karena sebuah alasan. 

Ruang rapat di kantor desa sudah bersih, semua kursi dan meja tertata rapi. Itu adalah wujud  persiapan petugas untuk menyambut tamu terhormat. Kendati sudah siap sejak pukul sepuluh pagi, tamu agung yang mereka tunggu justru baru berkumpul jam lima sore. 

Tidak ada yang mengeluh. Mereka tahu betapa sulitnya mengumpulkan keempat juru kunci yang rata-rata usianya diatas enam puluh. Mereka juga tidak mau meninggalkan astah jika masih ada warga yang datang berziarah. Akhirnya pertemuan yang Pak Gamar gelar harus mundur sampai dua jam setelah ashar.

Saat itu para undangan sudah hadir di ruang rapat. Di halaman kantor desa pun sudah ada dua becak dan satu delman yang siap mengantar para juru kunci pulang. Mereka juga yang barusan mengantarkan keempat tokoh masyarakat itu ke kantor desa. Kecuali Juru Kunci Astah Dejeh yang kondisinya masih sehat untuk datang mengendarai motornya sendiri.

Di ruang rapat, para peserta sudah duduk di kursi masing-masing. Meja di buat melingkar agar moderator tidak terkesan seperti guru dan para juru kunci adalah muridnya. Pak Gamar duduk di meja depan, dua juru kunci di meja kanan, dua lagi di meja kiri, dan dua orang undangan khusus di meja belakang. Mereka adalah Pak Imam, Man Rusli, Marlena dan sebuah kursi kosong yang harusnya ditempati Pak Waroh. Tentang alasan kenapa Marlena diundang, hanya Pak Gamar yang punya jawabannya.

"Assalamualaikum, terima kasih atas kehadiran bapak dan ibu sekalian.Pertama marilah kita panjatkan puja dan puji syukur keharibaan junjungan kita, nabi besar Muhammad S.A.W," Dan seterusnya Pak Awang selaku moderator membuka rapat.

"Kok cuma Juru Kunci astah laok yang tidak hadir?" Tanya Pak Imam sembari berbisik. "Itu yang berkerudung hitam, beliau adalah juru kunci astah laok," Jawab Marlena. Pak Imam menyandarkan bahunya. Mencoba mengingat kembali wajah juru kunci perempuan itu. "Ah iya, mungkin perempuan yang waktu itu menggendong bayi di Astah Laok," Gumam Pak Imam.

Doa pembuka rapat selesai. Pak Gamar mengambil alih dan memulai rapat langsung pada pembahasan inti. "Tujuan kami mengundang jen, jen, jenengan semua untuk mendiskusikan, mencari sol, sol, solusi dari masalah yang baru saja kita ketahui ber, ber, bersama." Tutur Pak Gamar.

Para Juru Kunci menyimak, mendengar, memperhatikan dengan seksama. Mereka adalah Ki Rozak dari Astah Temor. Ia terlihat iseng memainkan kopiah hitamnya di atas meja. Menampakkan kepala gundul yang hanya ditumbuhi beberapa helai rambut putih. Mata kirinya cacat, membuat Ki Rozak ditakuti anak-anak. Tapi diantara keempat Juru Kunci, Ki Rozak yang paling murah senyum.

Kemudian Ki Mujur dari Astah Berek. Beliau yang paling sepuh. Kemanapun Ki Mujur pergi, tidak pernah sekalipun mengenakan alas kaki. Badannya kurus dan hanya setinggi anak usia sekolah menengah pertama. Walaupun pendek, tapi tekanan darahnya tinggi. Ki Mujur mudah sekali marah. Termasuk saat ini. "Jauh-jauh Saya ke sini cuma dikasih teh sama Emping Melinjo?" Protes Ki Mujur pada Panitia.

Selanjutnya ada Nyai Rum dari Astah Laok. Usianya masih muda ketika Ia ditunjuk menjadi Juru Kunci. Beliau adalah putri seorang Kiai di desa Lindung. Almarhum Abahnya lah yang seharusnya menjadi juru kunci, tapi satu hari setelah ditentukan, Abahnya meninggal karena usia tua. Nyai Rum adalah satu-satunya keturunan sang kiyai. Walaupun seorang wanita, Ia dikenal sebagai tabib yang sakti. Saat ini usianya menginjak lima puluh.

Terakhir adalah Man Mahrum. Putra dari Juru Kunci pertama, di pemakaman pertama yang ada di desa leduk. Man Bahrudin adalah ayah kandungnya. Almarhum meninggal dengan penyebab yang masih dirahasiakan. Warga meyakini bahwa Man Bahrudin sakit keras, sementara sebagian lain percaya bahwa Almarhum dibunuh seseorang. Man Mahrum baru berusia tiga puluh, itu membuatnya jadi yang termuda diantara yang tersepuh.

BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang