CHAPTER 0 - TANPA KEPALA

22.3K 2.1K 95
                                    

IMAM MUBARAK

Sudah satu jam sejak pelanggan terakhirnya pergi. Khusus malam ini, Imam memutuskan untuk tinggal lebih lama di tempat kerja, di bengkel kecil yang berada tepat di depan rumahnya. Ada sebuah pohon asam besar di depan bengkel tersebut, dimana tiga ban bekas menghiasi batangnya, lalu sebuah papan kecil bertuliskan "Tambal ban, Cak Imam."

Bengkel Imam sudah cukup lama berdiri, kira-kira sudah tujuh tahun lebih. Ia memulai usahanya di usia yang sangat muda. Dari sebuah tambal ban biasa, hingga kini dilengkapi dengan Las Karbit.

Hampir setiap malam bengkel Imam selalu ramai pengunjung. Separuhnya benar-benar pelanggan Imam, separuh lagi hanya teman-teman yang datang berkunjung. Mereka betah berkumpul di bengkel Imam walaupun sampai larut malam. Tidak ada kegitatan berarti, hanya sekedar bermain kartu, catur, merokok dan menghabiskan kopi.

Khusus malam ini, bengkel Imam sepi sekali. Bukan hanya karena teman-temannya tidak datang, tapi karena malam ini benar-benar tidak ada pelanggan. Jumlah kendaraan yang melintas di jalan utama Desa Lindung itu bisa dihitung dengan jari, dan Imam pantang berharap salah satu dari kendaraan itu bannya  tertusuk paku.

"Tidak mau dijual saja Cak?" Tanya Apung, tetangga yang sekaligus adalah asisten Imam. Apung putus sekolah sejak lulus SMP, dan pernah berkali-kali merantau sampai akhirnya kembali lagi ke kampung dan bekerja pada Imam.

"Siapa juga yang mau beli becak butut begini Pung?" Ujar Imam yang sejak tadi sibuk memperbaiki ban becak tersebut. "Apalagi kalau pembelinya tahu, kalau pemilik asli becak ini mati dipenggal orang." Lanjut Imam.

Becak tua dengan kerangka besi yang dicat kuning, dan kain penutup berwarna merah itu adalah milik almarhum Naridin. Polisi gagal menyita becak usang tersebut karena dianggap bukan barang bukti. Tidak ada tanda-tanda perampokan di tempat kejadian perkara, semua barang berharga milik Naridin masih ada di sana, termasuk sebuah empeng dan seorang bayi perempuan. 

Walaupun sudah satu minggu berlalu, kasus yang menimpa Naridin tidak kunjung menemui titik terang. Siapa pembunuhnya, apa alasannya, dan bayi siapa yang Naridin bawa, semua pertanyaan itu semakin menjauh dari jawaban yang semakin memudar. Dan seperti biasa, saat pemimpin terlambat memberi pencerahan, maka rakyat yang akan membuat kesimpulan. Tentu saja dengan cara mereka sendiri.

"Ngeri ya Cak kalau ingat nasib Ki Naridin. Siapa sangka orang yang ramah seperti beliau ternyata seorang penculik bayi." Ujar Apung. Ia mulai menggulung lagi kertas berisi tembakaunya.

"Dangkal sekali pikiranmu!" Tegur Imam. Sambil membersihkan tempat duduk penumpang di becak itu. "Kalau memang Lek Naridin penculiknya, terus pembunuhnya adalah orang tua si bayi, kenapa bayi itu justru ditelantarkan di pinggir jalan sampai hampir mati kedinginan?" Tanya Imam.

"Iya juga ya Cak. Tapi bisa jadi pembunuhnya adalah orang tua dari anak yang pernah Ki Naridin culik sebelumnya? Dia tidak peduli sama bayi itu, soalnya bayi itu bukan anaknya," Sahut Apung. 

Imam lelah. Ada banyak yang ingin Imam kerjakan sebelum pukul sebelas malam, tapi mendengar celotehan Apung, Imam menyerah. Ia melempar kain lap yang dipakai membersihkan becak ke atas tumpukan besi-besi bekas di sudut ruangan.

"Sudah ngomongnya! Ayo tutup! Saya ngantuk."

Tepat pukul sepuluh tiga puluh malam, Imam memutuskan untuk menutup bengkelnya. Gedung bercat putih dengan banyak coretan, berbagai warna dan beragam kata, serta lampu pijar dengan kabel menggantung panjang ke bawah yang saat ini sudah padam, menyembunyikan perkakas bengkel dalam kegelapan. Suara yang terakhir terdengar adalah bunyi pintu seng yang tertutup rapat. 

"Saya pulang Cak," Apung pamit. Masih tersisa separuh rokok di tangan kirinya, dan bekas oli di tangan kanannya. Imam membalasnya hanya dengan  lambaian tangan.

BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang