CHAPTER 42 - SEBELUM RUMAH INI ADA

17.6K 2K 105
                                    

MAN MAHRUM

Empat tahun keluarga Ilyas tinggal di desa Leduk, tapi ini pertama kalinya Man Mahrum berkunjung ke rumah mereka. Rumah termewah, milik orang terkaya di desa. Memang pembangunannya menimbulkan perdebatan, setelah para juru kunci mengancam akan menggusur rumah tersebut dengan alasan kesenjangan sosial. Leduk tidak siap akan rumah megah di antara barisan gubuk kumuh. Tapi alasan yang sebenarnya, lebih rumit dari itu.

Pukul delapan malam. Man Mahrum sampai ke rumah Pak Imam dengan berjalan kaki. Ia belum mendapatkan ijin untuk mengendarai motor sendiri, mengingat kepalanya yang masih sering pusing. Sebenarnya berjalanpun tidak jauh beda, Man Mahrum sudah kelelahan bahkan sebelum sampai di persimpangan.

Pohon beringin besar berdiri kokoh di hadapannya. Ada bayangan Mahrum kecil dan teman-teman sedang bermain di bawahnya. Pohon itu rindang sekali, teduh sekali. Tapi sekarang bayangan itu hilang berganti megahnya rumah. Man Mahrum sadar betapa cepatnya waktu berlalu. Tidak hanya mengubah manusia, waktu juga bisa mengubah dunia. Pohon beringin di dekat persimpangan, tumbang berganti sebuah rumah.

Man Mahrum melepas alas kakinya lalu menginjak teras berlantai dingin itu. Ia mengucapkan salam dengan pelan karena Man Mahrum tahu ada orang yang menunggu di ruang tamu. "Assalamualaikum."

Segera orang di ruang tamu  beranjak membuka pintu, "Waalaikumsalam," Bu Ilmi menjawab salam Man Mahrum. Istri juragan tambak itu mempersilahkan tamunya masuk. Jelas sekali wajah penuh harap Bu Ilmi ditujukan pada Man Mahrum, Bu Ilmi percaya sang juru kunci bisa melakukan sesuatu. 

"Bapak kemana?" Tanya Man Mahrum, segera setelah pantatnya menyentuh kursi yang empuk, lebih empuk dari kasur di rumah. "Bapak pergi ke tambak, orangnya buru-buru sekali sampai tidak sempat ikut tahlilan." Jawab Bu Ilmi. "Wah, sayang sekali. Padahal Saya ingin bertemu, Saya harus minta maaf atas kejadian kemarin." Ujar Man Mahrum.

Bu Ilmi mengerti maksud tamunya. Ia mendengar semua dari tetangga saat sedang membantu mempersiapkan tahlilan di rumah Man Mahrum. Tapi tidak masalah baginya, karena yang Man Mahrum lakukan sama sekali tidak disengaja. Lagipula berkat Man Mahrum juga Yayuk bisa kembali seperti semula.

"Saya sudah berpesan agar cepat  pulang, semoga saja urusan di tambak cepat selesai." Katanya. "Oh ya, Man Mahrum ngopi?" Tanya Bu Ilmi.

"Air putih saja," Jawab Man Mahrum.

Bu Ilmi meninggalkan tamunya sendiri di ruang tamu. Ia harus mempersiapkan air putih yang Man Mahrum maksud. Saat menuju dapur, Bu Ilmi melihat Yayuk dan Uli sedang mengintip dari pintu kamar Yayuk. "Ssst! Masuk sana!" Tegur Bu Ilmi. 

Dari ruang tamu, Man Mahrum melihat pintu kamar Yayuk tertutup perlahan, menghalangi pandangan kedua gadis yang sedang penasaran. "Itu dukunnya?" Bisik Uli pada Yayuk, namun karena terlalu keras, Man Mahrum dapat mendengarnnya juga.

Kedua gadis itu tidak lagi terlihat dan saat ini Man Mahrum benar-benar sendirian. Ia memperhatikan sekeliling ruang tamu, ada foto keluarga digantung di dinding, lukisan kuda dan angsa menjadi hiasan dengan bingkai terbesar. "Kalau begini, Saya betah seharian tidak keluar rumah," Gumam Man Mahrum. 

Cara Bu Ilmi menyambut tamu sangat berbeda dengan yang didengarnya dari tetangga. Cerita tentang betapa sombong dan angkuhnya Bu Ilmi pun tidak nampak di mata Man Mahrum. Ramah dan Santun, Ia mulai merasa bahwa dengki menjadi penyakit baru di desa Leduk, dimana bertahun-tahun mereka hidup kekurangan tapi tetap menjunjung tinggi kerukunan. Malam ini Man Mahrum membuktikan bahwa keluarga Pak Imam tidak seperti yang orang-orang duga. Kalaupun ada yang tidak suka dengan kehadiran Man Mahrum, maka orang itu adalah sosok yang sejak tadi menatapnya di sudut ruangan.

"Sepertinya Saya tamu yang tidak diinginkan," Gerutu Man Mahrum setelah menyadari bahwa Sosok tersebut bukanlah manusia. Tidak pernah sebelumnya Man Mahrum melihat mahluk ghaib dengan sangat jelas. Selama ini Ia hanya mampu merasakan dan melihat bayangannya saja. Tapi sepertinya kejadian di lapangan kasti kemarin sudah membuka bakat terpendamnya.

Seorang gadis berbaju putih, berambut hitam, berkepang dua, sangat tidak serasi dengan warna mata dan panjang taringnya. "Jadi begitu caranya menampakkan diri pada keluarga Pak Imam," Pikir Man Mahrum. Ia bisa melihat dengan jelas wujud aslinya, rupa manis itu tidak sedikitpun mengelabuhi mata. "Tapi kenapa dia ada di sini?" Man Mahrum bertanya-tanya.

"Mohon maaf, segini cukup?" Tiba-tiba Bu Ilmi datang sembari membawa ember berisi air. Man Mahrum bingung, karena saat Bu Ilmi menawarkan minum, Ia benar-benar meminta air putih karena sedang haus. Tapi sepertinya Istri Pak Imam tersebut sudah salah paham.

"Anu, itu kebanyakan. Lagipula Saya tidak terbiasa minum pakai ember," Jawab Man Mahrum sambil tersenyum canggung.

"Ya Ampun, maaf Man. Saya kira airnya untuk disembur, atau disiram-siram gitu." Bu Ilmi salah tingkah, Ia meletakkan embernya di lantai. Baru saja hendak kembali ke dapur, tapi Man Mahrum menahannya. "Ya sudah Bu, biar nanti saja. Saya ingin cepat-cepat menyelesaikannya." Ujar Man Mahrum.

Bu Ilmi melihat jam dinding, saat itu jarumnya menunjukkan pukul delapan lewat sepuluh menit. Sedikit khawatir, Bu Ilmi pun berkata, "Tapi anaknya belum tidur Man."

"Tidak apa-apa. Nak Ulfa tidak perlu bersama Saya, Ibu juga tidak perlu menyiapkan air, karena ini sama sekali bukan kesurupan." Ujar Man Mahrum.

"Terus apa yang harus Kami lakukan?" Tanya Bu Ilmi.

"Saya minta Ibu dan yang lainnya tunggu di luar." Kalian baru boleh masuk, setelah lampu kembali menyala.


BU ILMI

Sepuluh menit kemudian. Bu Ilmi dan ketiga putrinya bersiap untuk menunggu di luar.  Uli keluar paling akhir karena harus menggendong Ulfa yang mulai gelisah setelah melihat Man Mahrum di depan pintu. "Kakek tua itu kenapa ada di sini Mbak?" Tanya Ulfa. "Ssst!" Uli menyuruhnya diam. Man Mahrum tersenyum sembari memegang gagang pintu, seolah siap menutupnya begitu semua keluarga Pak Imam berada di luar.

Menyusul di belakang Uli, Sofia dengan polosnya mengikuti. Tapi saat Uli dan Ulfa sudah berada di luar, langkah Sofia tertahan. Man Mahrum menutup pintu. Tidak ada yang bisa Masuk dan tidak ada yang boleh keluar. Pintu itu menahan Sofia di dalam, di ruang tamu bersama Man Mahrum.

"Tolong, biarkan Saya keluar," Sofia memohon. 

"Tenang saja. Kedatangan Saya memang untuk mengeluarkan Kamu dari rumah ini. Selamanya." Sahut Man Mahrum.

Keluarga Pak Imam sudah berada di teras. Uli membawa selimut, Ulfa membawa boneka, Yayuk membawa majalah, dan Bu Ilmi membawa ketiga anaknya. Pintu rumah tidak dikunci, tapi mereka tahu tidak seorangpun boleh mengganggu. Tirai jendela tertutup dan tidak boleh ada yang mengintip.

"Mbak Sofia? Mbak Sofia masih di dalam." Rengek Ulfa. Gadis itu memberontak, melepaskan diri dari pelukan Uli dan berlari menuju pintu. 

"Ulfa!" Seru Bu Ilmi yang segera mengejar anaknya.

Ulfa menarik lalu mendorong gagang pintu berkali-kali tapi tidak berhasil membukanya. "Mbak Sofia!!!" Teriak Ulfa. Bu Ilmi menggendongnya tapi Ulfa masih saja berontak. "Tolong Mbak Sofia Bu, Kakek jahat itu mau membunuhnya!" Rengek Ulfa. 

Tiba-tiba semua yang ada di luar terkejut oleh suara benturan keras di jendela. Seseorang sedang menghantam kacanya dari dalam. Samar-samar ada sesosok bayangan di balik tirai jendela, dan kali ini semua bisa melihatnya.

"Sofia," Bu Ilmi membatin. Seperti bayangan itu meminta tolong padanya, membuat Bu Ilmi meneteskan air mata.

Yayuk pun tidak jauh beda. Ada ikatan batin antara Dia dan Sofia. Bayangan itu perlahan menghilang bersama redupnya cahaya lampu sebelum akhirnya jadi gelap gulita.

Lampu di rumah Pak Imam padam, Tapi tidak di sekitarnya. Suasana berubah sunyi, semua bertanya - tanya apa yang sedang terjadi. Hingga tak lama kemudian teriakan keras terdengar dari dalam rumah. Menyadarkan yang ada di luar untuk berhenti menganggu peperangan.

BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang