CHAPTER 57 - LIMA ORANG MISTERIUS

17.6K 2K 59
                                    

DESA LEDUK, KECAMATAN BANYUSIRIH, JAWA TIMUR 1975  

KI MUJUR

Sama seperti Ki Rozak, Ki Mujur pun berniat menghabiskan malam di pemakaman. Astah Berek adalah yang paling angker menurut warga. Letaknya yang berada jauh dari jalan utama, membuat warga berpikir dua kali untuk berkunjung ke sana. Bahkan siang hari sekalipun. Berbeda dengan di timur, walaupun Astah Berek dekat dengan tambak udang dimana jalur listrik sudah tersedia, Ki Mujur justru menolak pemakaman itu diberi lampu. "Ini pemakaman, bukan pasar malam." Begitu alasannya.

Sendiri memandangi pintu gerbang tambak udang. Pagar dinding putih itu berdiri kokoh seolah memisahkan dua dunia. Sudah hampir dua tahun sejak lahan kosong itu berubah menjadi tambak udang. Pemiliknya adalah saudagar asal kalimantan yang sampai sekarang pun belum pernah datang ke desa. Hampir semua pekerjaan dibebankan pada Pak Harun dan Man Rusli. Berdua mereka mengubah tambak udang tersebut menjadi industri terbesar di desa yang terpencil. Tidak heran banyak warga yang menawarkan diri menjadi buruh. Mereka yang tidak diterima, berbalik menjadi musuh.

Pukul sepuluh malam. Ki Mujur bisa mengetahuinya dari siaran radio. Sejak pukul delapan, benda kotak berwarna hitam  itu tak hentinya  melantunkan lagu demi lagu, berita demi berita, dan walaupun disertai bunyi bising tapi setidaknya mampu meredam bunyi-bunyian lain. Suara tangisan, suara kayu yang dicakar, suara atap yang dilempari pasir, hal semacam itu walaupun lumrah tapi cukup mengganggu Ki Mujur. Sampai akhirnya Ia menyerah pada sebuah bunyi yang membuatnya terpaksa mengecilkan volume radio.

Suara langkah kaki. Tapi siapa yang mau ziarah malam-malam begini? Suara radio semakin mengecil hingga tidak terdengar lagi. Di dalam gubuk kecil, Ki Mujur diam tak bersuara. Ia mengintip dari lubang kecil di dinding bambu untuk memastikan yang datang benar-benar manusia.

Di luar, tepatnya di sisi barat pemakaman. Tiga orang laki-laki sedang bercakap-cakap seperti mendiskusikan sesuatu. Ki Mujur tidak bisa mengenalinya dari jarak yang cukup jauh, melalui lubang yang sangat kecil, di tengah makam yang sangat gelap. Merasa daerah kekuasaannya disinggahi orang asing, Ki Mujur lekas beranjak keluar.

"Ada apa ini? Apa yang kalian lakukan malam-malam begini?" Tegur Ki Mujur yang masih berdiri di pintu.

Selama ini, siapapun akan lari bila dibentak Ki Mujur. Terutama jika orang yang dibentak berada di posisi yang salah. Tapi, malam ini berbeda. Tiga orang itu hanya diam, berhenti berbicara dan serempak menatap Ki Mujur dengan tatapan dingin.

"Malah diam?"

Nada bicara Ki Mujur semakin tinggi. Amarah Ki Mujur naik dari kaki hingga ke ubun-ubun yang jaraknya tidak begitu jauh. Ia melompat turun. Bak tuan rumah yang memergoki maling, Ki Mujur menghampiri tiga orang itu dengan nafsu membunuh. Semakin dekat, semakin Ki Mujur sadar betapa tiga orang itu jauh lebih tinggi dari anak SMP, yang mayoritas lebih tinggi darinya.

Mereka ... bukan penduduk desa ini. "Siapa kalian, dan apa yang sedang kalian lakukan di sini?" Tanya Ki Mujur.

Tiga orang itu tidak datang dengan tangan kosong. Masing-masing membawa benda yang satu persatu Ki Mujur perhatikan. Sebuah sekop, sebuah cangkul, dan lima karung gula berukuran besar. Salah satu karung sudah terbuka dan memperlihatkan isinya yang sama sekali bukan gula.

Sepasang kaki? Ki Mujur mulai merasa bahwa dirinya harus bersikap sopan di depan tiga orang tersebut. Bukan pertama kalinya Ia melihat mayat dengan kondisi mengerikan. Tapi banyaknya pertanyaan yang muncul di kepala dalam satu waktu, membuat nyali Ki Mujur turun dari ubun-ubun hingga ke kaki telanjangnya.

BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang