CHAPTER 13 - AIR MATA PAK GAMAR

21K 2.3K 60
                                    

IMAM ILYAS

Leduk memang selalu mendung, tapi di rumah ini hujan sudah lebih dulu turun; Hujan air mata. Kabar duka menyebar dengan sangat cepat. Kediaman Mahfud dibanjiri warga dan air mata mereka. 

Bagi penduduk desa, kedatangan mereka ke rumah mahfud bukan hanya tentang belasungkawa tapi juga rasa penasaran. Mahfud ditemukan tewas di pinggir jalan dengan bekas jeratan di lehernya. 

Dari halaman rumah, dengan mata sayu Pak Imam memandang ke ruang tamu. Melalui pintu rumah yang terbuka, terlihat jelas Pak Gamar yang sedang dibalut duka. Ia duduk diantara para warga yang sedang khusyuk berdoa. 

"Pak Gamar baru saja datang. Sebagai orang terdekat, beliau justru yang paling terlambat." Ujar Anto yang menyadari bahwa Pak Imam sedang memperhatikan kepala desa. "Beliau berada di makam utara saat kabar meninggalnya Mahfud disiarkan di mushollah." Lanjut Anto. "Mahfud bukan hanya sekretaris. Almarhum adalah sahabat Pak Gamar." Pak Imam menanggapi. "Iya pak. Bisa kami lihat bagaimana terpukulnya Pak Gamar saat tiba di sini barusan." Ujar Anto. 

Sejenak diam, kemudian Pak Imam bertanya, "Jadi sudah ada kepastian mengenai penyebab meninggalnya Mahfud?" Anto punya jawaban, tapi bukan kepastian. Ia hanya mendengar sekelumit kisah dari mereka yang pertama menemukan jasad Mahfud. "Ada bekas jeratan tali di lehernya. Merah dan dalam sekali." Jawab Anto. Telunjuknya bergerak mengelilingi leher, memperjelas dimana bekas jeratan itu berada. "Siapapun pelakunya, pasti orang yang sangat kuat. Tali yang digunakan pun sangat tipis dan tajam." Anto berpendapat.

"Perampok?" Tanya Pak Imam. Anto memandang langit, seolah di sanalah isi pikirannya tergambar. "Mungkin, tapi selain nyawa. Semua barang berharga Mahfud sama sekali tidak tersentuh." Jawab Anto. 

Tidak hanya pelaku, motif pembunuhan pun masih misterius. Pak Imam semakin gusar memikirkan betapa desa sekecil ini menyimpan banyak hal yang menakutkan. Apa yang menimpa Man Rusli dan Mahfud adalah dua kasus berbeda, tapi mengingat keduanya terjadi dalam dua hari berturut - turut, membuat Pak Imam berpikir, "Musibah apa lagi yang akan terjadi selanjutnya?"

Doa dan dzikir selesai, jenazah pun siap untuk dibawa ke pemakaman. Warga sudah siap mengiring jenazah, termasuk Pak Gamar yang matanya masih tampak basah. Tiba-tiba seorang anak perempuan berumur delapan tahun, dan seorang wanita berkerudung menghampirinya. Anak itu memberikan sesuatu pada Pak Gamar, sesuatu yang memang miliknya, yang sempat terjatuh karena peristiwa semalam.

"Ini ada di genggaman tangan Mas Mahfud. Saya yakin ini punya Bapak." Ujar perempuan berkerudung itu. Sambil menangis Pak Gamar mengambil kacamatanya. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Hanya kata maaf yang diucapkannya berulang kali, pada Istri dan Anak Almarhum sahabatnya itu.

"Maaf. Maafkan Saya. Seandainya Saya tidak egois, seandainya," Pak Gamar berhenti bicara. Ia tidak mampu menyelesaikan kalimat terakhirnya. Istri dan anak Almarhum Mahfud pun berlalu, mereka sadar apapun yang Pak Gamar ucapkan tidak akan mengubah kenyataan.

"Turut berbela sungkawa Pak Gamar." Ucap Pak Imam yang saat ini sudah berdiri di samping Kepala Desa. "Ucapkan saja pa, pa, pada keluarganya. Saya hanya rekan ker, ker, kerja. Itu pun yang paling buruk yang Mahfud pu, pu, punya." Jawab Pak Gamar penuh rasa bersalah. 

"Sampean tidak harus menanggung beban rasa bersalah itu sendiri Pak. Pelakunya masih berkeliaran di luar sana. Semakin lama bapak larut dalam duka, semakin jauh pembunuh itu dari desa." Nasehat Pak Imam. Tidak mudah menanamkan semangat pada hati yang masih terbalut nestapa. Tapi kepala Pak Gamar masih segar, ia mencerna dengan baik nasehat dari Pak Imam.

"Pak Imam. Sampean bi, bi, bicara seolah-olah pelakunya adalah ma, ma, manusia." Ujar Pak Gamar.

"Dan Sampean bicara seperti warga desa yang tidak pernah sekolah," Timpal Pak Imam. Butuh keberanian untuk bicara seperti itu pada orang yang pangkatnya jauh lebih tinggi. Tapi Pak Imam disegani bukan tanpa alasan. Ia bijaksana dan menakutkan dalam waktu yang bersamaan.

"Yang sep, sep, seperti ini, tidak pernah diajarkan di sek, sek, sekolah." Pak Gamar membela reputasinya. "Kami tidak akan ting, ting tinggal diam. Akan Kami usut kasus ini sampai tuntas." Ucap Pak Gamar. Wajahnya serius, wajah paling serius yang pernah terlihat dari seorang Gamarudin Loba.

"Bagaimana dengan Polisi?" Pak Imam bertanya sekaligus memberi saran. Tapi sepertinya Pak Gamar sedikit meremehkan. "Sudah Saya hub, hub, hubungi. Saya tidak terlalu percaya de, de, dengan orang-orang berseragam abu-abu itu." Sahut Pak Gamar.

Pak Imam kehabisan topik pembicaraan. Pak Gamar mengajaknya pergi menyusul jenazah yang sudah keluar dari gerbang rumah. Kemudian Ia berlari kecil, mendekati keranda dan menggantikan salah satu warga untuk memikul jenazah sahabatnya.

Diiringi dzikir dan sanak saudara yang ikut mengantar, jenazah Mahfud akan dikebumikan di Astah Temor, karena pemakaman timurlah yang paling dekat. Selama perjalanan Pak Imam mendengar warga berbisik. Spekulasi tentang siapa pembunuh Mahfud pun bermunculan, hingga tanpa sengaja sebuah fakta mengejutkan terungkap.

"Ini mirip seperti kasus tewasnya kusir delman dulu," Bisik salah seorang  warga. "Mirip juga dengan tukang sate yang kepalanya putus seperti habis digergaji." Warga yang lain pun menanggapi dengan suara yang tidak kalah pelan. "Iya, kalau tidak salah sekitar delapan atau sembilan tahun lalu. Waktu itu saya masih sangat muda." Aksi bisik-bisik itu merambat luas hingga sampai pada tragedi suram yang meneror desa leduk beberapa tahun lalu. "Apakah itu akan terjadi lagi?" Tanya seorang warga. Salah satu yang paling tua dari mereka menjawab. "Semoga saja tidak. Tanah ini sudah terlalu sesak. Tidak ada tempat untuk mengubur saudara sendiri.

BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang