CHAPTER 16 - PEMAKAMAN TERBESAR

23.3K 2.4K 163
                                    

PAK GAMAR

"Pak Gamar, sudah dengar kabar munculnya hantu keranda di jalan menuju tambak?" Tanya seorang warga. Saat itu sedang menunggu dimulainya acara dzikir hari pertama meninggalnya almarhum Mahfud. Warga menyebutnya tahlilan. "Tidak hanya itu Pak Gamar, warung Mbak Marlena juga didatangi rombongan pocong." Tutur seorang warga lagi. "Kalau tidak salah, muncul penampakan hantu juga di Astah Dejeh." Warga yang lain menanggapi. Pukul tujuh malam, akhirnya acara dzikir dimulai, sedangkan obrolan warga tersebut belum juga selesai.

"Diam! Sa, sa, Saya tidak dengar kaliang ngomong apa. Tap, tap, tapi ini sudah wak, wak, waktunya dzikir!" Tegur Pak Gamar.

Pak Gamar tahu. Ia mendengar. Lebih dari itu Pak Gamar bahkan mengalaminya juga. Tapi Ia  harus mengabaikan laporan warganya saat itu, demi menghormati Almarhum Mahfud. Namun siapa sangka, di malam yang sama penemuan Man Rusli dan Mufin mengungkap sebuah rahasia besar. Besar sekali hingga tidak seharusnya muncul ke permukaan. 

...

Pagi pun datang dan kali ini berbeda dari pagi-pagi sebelumnya. Hampir separuh Warga Leduk memadati jalan kecil di sepanjang pagar tambak. Beberapa Aparat kepolisian berjaga di pematang sawah, mencegah warga untuk melangkah lebih dekat. Mereka yang dirasa tidak penting dan tidak akan banyak membantu, hanya bisa melihat dari jauh.

Gaduh di seberang sawah. Kebun kosong milik salah seorang saudagar di desa tetangga. Mendadak tempat tersebut jadi pusat keramaian setelah apa yang Man Rusli dan Mufin temukan. Berawal dari sebuah dugaan, hingga akhirnya tibalah saat pembuktian. Atas perintah Kepala Desa, tempat yang dicurigai sebagai kuburan itu pun digali.

"Ketemu!" Seru Solihin setelah sekopnya menghantam benda asing berlapis kain.  tidak jauh dari permukaan tanah, tidak ada kayu penyangga, kainnya pun sama sekali bukan kain kafan. Jika ini adalah kuburan, maka ini adalah kuburan terkerjam yang pernah Warga lihat.

"Astaghfirullah." Semuanya Istighfar, bahkan ada yang menutup mata seraya membuka mulut dan memuntahkan isi perut. Semua terjadi saat Solihin mengangkat kain lusuh berlubang yang tidak lagi jelas warna asalnya. Yang terlihat hanyalah warna tanah, yang tercium adalah bau tanah, tapi yang menusuk hidung adalah bau busuk. 

Kain itu membungkus tulang belulang manusia. Beberapa tampak berjatuhan karena dibungkus dengan asal-asalan. Retak dan rapuh. Hewan-hewan kecil penghuni kain tersebut seolah marah karena Solihin membongkar rumahnya. Mereka merayap keluar dari lubang kecil diantara tulang belulang, mereka melata mencari lubang kubur agar tidak terinjak.

Masih terdengar suara Istighfar, bisikan jijik, dan ungkapan ngeri. Pemandangan tersebut sangat mengganggu perut, hingga rasa mual pun tidak bisa dihindari. Kejutan tidak berakhir sampai di sini, semua baru dimulai ketika Solihin menjatuhkan tengkorak  ke tanah; dua tengkorak  yang berbeda ukuran. Jika yang jatuh membentur batu adalah tengkorak  orang dewasa, maka tengkorak yang membentur kaki solihin adalah tengkorak berukuran sebesar kepala bayi.

"Haduuh." 

"Ya Tuhan"

"Masya Allah. Setan apa yang tega melakukan ini?"

Histeris sekali. Polisi yang ada di sekitar mencoba menenangkan warga, warga pun mencoba menangkan Polisi. Mereka saling menenangkan karena sebenarnya tidak satupun yang bisa tenang. 

"Ber, ber, ber, berisik!" Bentak Pak Gamar dengan suara lantang. Walaupun yang sampai ke telinga warga terdengar sangat pelan. "Kal, kal, kalau tidak kuat, sebaiknya pul, pul, pulang!" Teriak Pak Gamar dari balik pohon kelapa, Sepuluh meter dari tempat penggalian kubur. Alasannya sudah jelas, Pak Gamar lebih takut. Harusnya Pak Gamar pulang.

BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang