CHAPTER 49 - HANYUT DALAM KETAKUTAN

19.6K 2.1K 154
                                    

Tidak pernah sebelumnya, kemunculan sosok hantu memberi dampak sebesar bencana alam. Warga desa berlarian ke luar rumah hanya untuk melihat halamannya dipenuhi dengan pocong - pocong menakutkan, persis seperti yang mereka hindari di dalam. Apapun akar permasalahannya, peristiwa ini sudah sangat berlebihan saat mahluk - mahluk tak kasatmata itu menampakkan dirinya pada anak kecil dan para tetua yang lanjut usia.

Lain di barat, lain di timur. Kawasan pemukiman timur; timur jembatan gantung tampak tenang seolah tragedi di  barat tidak menyentuh mereka.  Seorang nelayan hendak pergi ke pantai, baru saja menutup pintu rumah dan menyalakan obor. Sebenarnya tidak terlalu khawatir akan kemalingan, karena memang tidak ada yang bisa dicuri di kampung ini. Tapi keamanan bukan lah kebutuhan, melainkan insting alami manusia. Si nelayan beranjak pergi, membawa senter dan berkalung sarung. Melewati sepi halaman - halaman rumah, dimana hanya nyala obor dan lampu minyak menempati teras - terasnya.

WUSH

Dan sebuah tiupan angin memadamkan cahaya. Tidak hanya di ujung sebuah obor, nyala di ujung sumbu pun lenyap seolah minyak kering habis terhisap. Si nelayan berhenti sejenak. Tempo hari Ia mengalami kejadian serupa, dimana lampu - lampu desa padam menjadi asap. Kini senternya pun tidak berfungsi. Ia tahu ini bukan masalah baterai, tapi memang ada yang tidak beres di kampungnya. Semakin gelap, semakin tenang. Nelayan itu mampu mendengar hiruk - pikuk di seberang jembatan; di sebelah barat.  "Jangan - jangan..." 

GUBRAK!

Serentak, bersamaan. Belasan warga keluar dari rumahnya masing - masing. Wajah mereka mengatakan semuanya, lebih jelas dari sekedar teriakan "Pocong!" Dan beberapa Hantu lain yang mereka sebut namanya. Entah siapa yang memberi mahluk - mahluk itu nama. Nelayan tadi pun bingung. Hadap kiri, kanan, selatan, utara, tapi tidak satu pun tetangganya yang bisa diajak bicara. 

Untuk beberapa saat, halaman rumah menjadi padat. Warga saling bercerita tentang jenis dan versi penampakannya masing - masing. Entah kenapa lambat lun terasa seperti kompetisi. 

"Yang di rumah Saya lebih seram."

"Apaan? Di kamar mandi tadi jauh lebih mengerikan."

"Kalau Sampean berdua melihat apa yang Saya lihat, Saya jamin pasti kencing di tempat."

Begitu saja tingkah mereka. Memang belum parah seperti di barat, belum ada perempuan pingsan dan meriahnya tangisan. Tapi para penunggu seperti enggan berat sebelah. Demi terciptanya keadilan dan ketakutan yang merata, serta mewujudkan teriakan menyeluruh. Satu persatu wajah putih dengan mata hitam besar menatap dingin di pintu - pintu rumah. Mengalihkan perhatian warga dari apa yang ada di atas mereka.

HIHIHIHIHI

....

HIYAAAH!

Sekarang mereka bisa melihat semuanya, tanpa berselisih siapa yang paling takut dan siapa yang paling seram. Yang muda berlari paling depan, yang kuat berlari lamban karena menggendong anak - anak, wanita berlari sebagian karena sebagian lagi pingsan, yang tua hanya berdoa karena berjalan saja susah, dan Si nelayan hanya berdiri heran di tengah gelap dan kalang kabutnya warga, karena sesungguhnya nelayan itu tidak melihat apa - apa. Ia adalah satu dari sedikit orang yang tidak mempan pada tipuan mata.

"Eh mau kemana? Ada apa?" Tanya Si nelayan.

"Masih bertanya ada apa? Kami mau ke barat, minta pertolongan." Seru salah seorang warga yang sedang kabur ke arah jembatan.

"Oh," Ucap nelayan datar.


ANTO

BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang