CHAPTER 62 - TAHUN BERIKUTNYA

23.9K 2.2K 473
                                    

MAN MAHRUM

Jauh dari desa. Jauh dari hiruk pikuk tragedi yang tersisa. Man Mahrum duduk bersandar pada bantalan kasur yang sudah ditinggikan. Sudah pukul tujuh, tapi Ani masih mencercanya dengan nasehat. Ia tidak menduga, suaminya berangkat dalam keadaan sehat, tapi  harus berakhir sekarat. Sebenarnya, Ani tidak akan semarah itu andai Man Mahrum tidak membalas nasehat Ani dengan, "Hahahaha, kasihan sekali dua orang itu. Mereka belum tahu kalau istri saya jauh lebih seram. Aduh!"

"Masih bisa tertawa, hah?" Seru Ani sambil menarik telinga Man Mahrum yang baru beberapa jam lalu berhenti berdarah.

"Obek, tahan bek!" Saripudin menenangkan.

"Din, gimana kabar desa?" Tanya Man Mahrum. Wajahnya kembali serius. Ani pun berhenti bicara, karena ia tahu suaminya tidak sedang mengalihkan pembicaraan.

Sejak semalam, setelah Man Mahrum siuman. Saripudin dan beberapa warga menceritakan semua yang terjadi di desa. Termasuk tentang runtuhnya jembatan dan hantu-hantu yang berkeliaran. Selepas subuh tadi, Mufin juga datang bersama Man Rusli. Mereka berdua baru pulang dari kantor polisi untuk melaporkan penyekapan Man Rusli di gudang. Tapi, saat polisi tiba di lokasi, semua pekerja tambak hilang tak berbekas. Termasuk mayat Hamdani. Mufin dan Man Rusli pun segera pamit untuk mengurus nasib tambak selanjutnya.

"Saya tidak tahu Man," Jawab Saripudin.

"Kamu belum pulang dari semalam?" Man Mahrum memperhatikan wajah kusut Saripudin dan rambutnya yang lepek berminyak, serta baunya yang mengalahkan bau obat khas rumah sakit. "Sebaiknya kamu pulang dulu. Saya sudah baikan, lagipula ada Obekmu yang menemani."

"Iya sudah Man, nanti saya kembali lagi. Oh ya, apa perlu saya pergi ke pesantren?"

"Jangan! Sebaiknya anak-anak tidak tahu hal ini. Mereka pasti khawatir dan minta pulang. Biarkan mereka belajar dengan tenang di sana."

Saripudin pamit pulang. Ia berjanji akan kembali lagi sekaligus membawa pakaian dan beberapa pesanan Bek Ani, karena sepertinya Man Mahrum akan cukup lama dirawat di rumah sakit.

Sekarang hanya tinggal Man Mahrum dan istrinya. Hal pertama yang dilakukan Ani adalah menangis. Tangis yang ia tahan sejak semalam, karena tidak ingin orang lain melihat sisi lemahnya. Sekarang, di hadapan pria yang hampir mati itu ia mencurahkan seluruh kesedihannya. Mahrum muda sudah menghabiskan banyak waktu di pesantren, menuntut ilmu dan berkawan dengan halaman kuning kitab-kitab tua. Semua itu dilakukan Mahrum bukan untuk jadi pahlawan. Ia bukan orang yang bisa diandalkan di barisan depan. Ani paham itu. karenanya, Ani harus selalu ada di samping Mahrum. Sementara suaminya adalah kebijaksanaan yang dibutuhkan warga desa, Ani akan jadi senjata yang dibutuhkan man mahrum. Yang akan melindunginya sampai mati sekalipun.

"Ya Allah, kenapa suami saya bodoh sekali." Tangis Ani di samping Man Mahrum.

"Hush! Doa macam apa itu," Tegur Man Mahrum dengan wajah heran bercampur malu.

Tiba-tiba, pintu kamar diketuk. Ani menyeka air matanya dan segera membuka pintu.

"Assalamualaikum," Ucap Pak Saleh yang datang membawa roti, susu dan buah-buahan.

"Waalaikumsalam," Jawab Ani dan Man Mahrum hampir bersamaan.

Ani mempersilahkan tamunya masuk. Ada dua orang pria yang datang bersama Pak Saleh, tapi mereka memilih tetap diluar. Man Mahrum hanya tersenyum malu karena Pak Saleh harus melihat kondisinya saat itu. Tubuh Man Mahrum dibalut perban, mulai dari dada, punggung, tangan, kepala, dan telinganya pun masih ditutup kapas. Tidak lupa kantong infus yang menggantung di samping dengan selang terhubung ke tangan Man Mahrum. Siapapun akan iba dengan kondisi juru kunci terakhir itu. Siapapun, kecuali Pak Saleh.

BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang