CHAPTER 4 - KARNAVAL GHAIB

31.8K 2.9K 167
                                    

MAN RUSLI

Tambak udang tidak pernah sepi selama kincir air tetap berputar. Menara di ujung tambak masih terang benderang. Tiga orang berjaga di atas sana, berusaha melupakan kantuk dengan bermain kartu. 

Man Rusli sedang tidak bergairah untuk bergabung dalam permainan. Ia memilih berjalan mengitari tambak, memeriksa kondisi mesin kincir air.

Sesaat lagi waktu berjaganya selesai. Man Rusli harus segera pulang dan beristirahat. Tampak satu persatu penjaga malam berdatangan, mereka siap menggantikan rekan-rekannya yang mulai lelah. Termasuk Man Rusli.

"Maaf man, telat tiga puluh menit." Ujar seorang penjaga sembari tersipu. Beruntung Man Rusli adalah orang yang sabar. Ia mudah tersenyum walaupun bibirnya terhalang kumis tebal. Semua pekerja di tambak itu segan pada Man Rusli, atau lebih tepatnya takut. Man Rusli adalah sumber informasi bagi Pak Imam. Ia bisa saja mencatat nama para pekerja malas yang selalu datang telat.

"Tidak apa-apa. Saya juga baru selesai patroli." Jawab Man Rusli ramah. Man Rusli memberikan lampu senternya pada para penjaga malam. Ia melambaikan tangan pada rekan-rekannya di menara jaga, isyarat bahwa Man Rusli akan pulang.

Tampaknya ketiga penjaga menara masih asyik dengan permainan kartunya. Mereka hanya berteriak "Duluan saja man!" Dan Man Rusli pun pergi menuju sepeda jangkriknya. 

"Saya melihat ada kawat yang bengkok di pagar barat. Tolong kamu yang perbaiki. Takut kalau itu kerjaan orang yang berniat jahat." Pesan Man Rusli pada para penjaga malam sebelum akhirnya ia mengayuh sepeda tuanya keluar dari gerbang tambak.

Di luar gerbang, Astah Berek menyambut Man Rusli. Gerbang tambak udang berseberangan dengan pintu masuk pemakaman barat Desa itu. Ada sebuah jalan kecil ke arah barat yang menghubungkan Desa Leduk dengan desa sebelah. Tapi saat ini tujuan Man Rusli adalah rumahnya yang berada di timur.

Ia kembali mengayuh sepedanya setelah menyalakan lampu petromaks dan menggantungya di depan kemudi. Selanjutnya sepeda tua itu membawa Man Rusli melewati jalan kecil diantara sawah dan pagar tambak udang.

Perjalanan pulang dari tambak udang. Ada tiga jalan utama di desa leduk yang menghubungkan tiga area berbeda. Jalan ke timur melewati pemukiman penduduk, jalan ke utara menyusuri muara diantara kebun kelapa, jalan ke selatan yang menghubungkan desa leduk dengan dusun lindung dan merupakan satu-satunya jalan beraspal, lalu jalan ke barat menyusuri pagar dinding tinggi nan panjang yang memisahkan sawah dengan tambak udang. Jalan itulah yang harus Man Rusli tempuh agar sampai ke rumah.

Pagar tembok putih yang warnanya mulai kusam adalah satu-satunya pemandangan yang bisa Man Rusli nikmati. Selain luasnya sawah yang membentang di sebelah kanan. Gelap dan menakutkan. Bukan hanya sekali atau dua kali, jalan ini sudah dilewatinya sejak bekerja di tambak udang belasan tahun lamanya.

 Rasa takut hanyalah ilusi karena bagi Man Rusli udara dingin jauh lebih nyata. Berkali-kali ia bersin hingga lampu petromaksnya nyaris terjatuh. Lampu dengan cahaya yang sedikit redup itu Ia gantung di depan sepeda jangkriknya. Butuh tenaga lebih untuk mengendalikan sepeda tua di jalan berbatu. Terutama jika Ia harus berpapasan dengan pengendara dari arah yang berlawanan.

"Ah tumben sekali ada yang lewat jam segini," Gumamnya sembari turun dari sepeda. Man Rusli selalu pulang menjelang dini hari, dan hampir tidak pernah ia berpapasan dengan orang lain. Wajar jika malam ini dahinya mengkerut, melihat cahaya lampu mendekat dari arah berlawanan.

Jalan yang dilaluinya sangat sempit. Sangat tidak mungkin untuk mendahului apalagi berpapasan. Kecuali salah satunya mengalah, berhenti dan membawa sepedanya turun ke pinggiran sawah. Persis seperti yang sedang Man Rusli lakukan.

"Pelan sekali," Mulai kesal Man Rusli dibuatnya. Cahaya itu bergerak pelan, lebih pelan dari cara Man Rusli mengayuh sepeda. Dugaan yang muncul di kepala adalah, cahaya tersebut berasal dari seorang pejalan kaki. Hanya saja gerakannya yang seolah terombang ambing, membuat Man Rusli bertanya-tanya, "Orang mabuk kah?" Dan jawabannya adalah, bukan.

Jarak yang semakin dekat membuat Man Rusli menyadari sesuatu. Suara langkah yang mulai samar terdengar itu tidak berasal hanya dari sepasang kaki. Ini adalah suara dari dua, tiga, empat bahkan mungkin lima orang yang sedang berbaris. Barulah ketika mata Man Rusli terbebas dari bias cahaya yang menyilaukan, Ia melihat dengan jelas apa yang saat ini hendak melewatinya.

Empat orang sedang membawa keranda mayat. Cara mereka berjalan bukan hanya sedang menahan beratnya beban, tapi juga menahan sakit di setiap langkahnya. Keranda berukuran orang dewasa itu dibalut kain merah lusuh dan berlubang. Tidak seperti biasanya, suara dzikir yang lumrah terdengar saat mengantarkan jenazah berganti dengan suara lirih nan serak dari keempat orang tersebut. Tidak jelas apa yang dikatakan dan itu semua berhasil membuat Man Rusli penasaran.

"Siapa yang meninggal?" Tanya Man Rusli. Alih-alih menjawab, keempat orang itu berhenti tepat di depan Man Rusli yang saat itu sedang menepi turun ke pinggiran sawah. 

Awalnya semua terlihat normal, hingga kemudian lampu minyak yang digantung disamping keranda padam. Disusul kemudian lampu petromaks milik Man Rusli yang mati seolah tertiup angin. Dan saat gelap menguasai, mata Man Rusli melihat dengan jelas apa yang sebenarnya sedang ia hadapi.

Empat orang berbalut kain kafan, dengan wajah pucat dan lubang hidung tertutup kapas. Mereka membawa keranda merah yang tiba-tiba terbuka. Memperlihatkan sebuah kepala dengan wajah busuk yang tiba-tiba saja bicara. 

"Antarkan Saya."

Sayang sekali. Saat ini justru Man Rusli yang harus diantar pulang. Pria tua itu pingsan di pinggiran sawah tanpa sempat berteriak ataupun berlari mencari pertolongan. Man Rusli lelah, Ia harus beristirahat walaupun di tempat yang salah. Matanya terpejam membawa serta apa yang baru saja Ia saksikan.


BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang