CHAPTER 0 - SOFIA

18.7K 2.1K 133
                                    

SOFIA

Sofia selalu di sampingmu. Aku berdiri di sebelah kanan saat Kamu menoleh ke kiri, lalu berdiri di kiri saat Kamu menoleh ke kanan. Aku selalu jahil. Aku selalu mencari perhatian, tapi hanya Kamu yang bisa memberikan. Tertawaku, tangisku, raunganku, semua suara ku hanya Kamu yang bisa mendengar. Senyumanku hanya Kamu yang bisa melihat.

Yayuk tidak mungkin mengingatnya. Saat Kamu tertidur pulas, Aku seringkali meniup telingamu. Lalu setelah itu Kamu membuka mata dan menangis sejadinya, sampai Ibu dan Bapak datang lalu menggendongmu di pelukan mereka. Percayalah Aku selalu Iri, dan saat Aku merasa Iri, Aku semakin tidak terkendali.

Cermin di Kamarmu adalah satu-satunya tempat favoritku. Di sanalah Kamu mulai melihat wajahku. Aku tidak akan lupa kalimat pertama yang terucap dari mulutmu, "Kamu cantik," Katamu, dan itu cukup membuatku tersipu.

Lambat laun kamu mulai sering meniru rambut kepangku. Walaupun Bapak dan Ibu sangat membenci itu. Mereka menjual cermin di kamar dan menggantinya dengan boneka. Saat itu Kamu tampak sangat bahagia, tapi percayalah Aku sangat terluka, dan saat aku merasa terluka, Aku semakin tidak terkendali.

Hari ulang tahunmu yang ke delapan dan Aku berniat untuk merayakan. Tidak ada kue dariku yang bisa Kamu potong, tapi setiap pesta ulang tahun pasti butuh lilin untuk ditiup.

Malam itu kamarmu terbakar, dan itu semua Salah Sofia. Aku tidak tahu bagaimana cara menyalakan lilin, jadi aku sulut api kecil di boneka baru mu itu, berharap pesta ulang tahunmu jadi lebih meriah. 

Akhirnya semua orang berdatangan, walaupun tidak diundang tapi mereka bersama-sama memadamkan api yang aku nyalakan. Dari gelap Aku hanya bisa berkata, "Selamat ulang tahun Yayuk."

Apakah Kamu Ingat saat pertama kali Kamu minta tidur di ranjang terpisah? Waktu itu Kamu mengeluh karena harus berbagi ranjang dengan adikmu, dan harus tidur dengan kaki menggantung. Suatu malam Aku merasa Iba karena kakimu kedinginan. Selimut yang ada tidak mampu menutupi tubuhmu. Lalu perlahan aku memegang betis putih itu, dan tanpa sengaja membangunkanmu.

Kamu pergi mencari Bapak dan berteriak, "Kaki Yayuk seperti ada yang narik Pak, ditarik tangan panas dan berbulu." Percayalah Aku sakit hati, dan saat Aku merasa sakit, Aku semakin tidak terkendali.

Yayuk dan Sofia adalah sahabat. Kami saling menjaga dan saling melengkapi. Saat Yayuk bersedih karena Bapak pergi, Sofia setia menemani. Jika tengah malam Yayuk hendak ke kamar mandi, Sofia lebih dulu membukakan pintu dan menyalakan lampu, mati, nyala, mati dan nyala lagi. Sofia memang jahil, dan karena ulah Sofia Yayuk tidak jadi ke kamar mandi.  

Percayalah saat itu Aku merasa bersalah, dan saat aku merasa bersalah, Aku semakin tidak terkendali.

Menginjak usia remaja Kamu dan Aku semakin dekat. Untuk pertama kalinya Kamu perkenalkan Aku pada Bapak dan Ibu. "Hihihihi, dasar lugu! Aku sudah kenal mereka berdua, jauh sebelum Kamu mengenalnya." Ledekku waktu itu. 

Sayang sekali hal itu tidak disambut baik oleh Bapak dan Ibu. Sejak saat itu berbagai cara dilakukan untuk memisahkan Aku dari dari Kamu. Aku mulai merasa tersiksa dengan suara-suara yang menggema di seluruh rumah. Mereka berulang kali mengusir, mengutuk, dan setiap kali itu terdengar, telinga dan tubuhku terasa panas.

Saat itu Kamu tidak ada di sana. Yayuk tidak ada untuk melindungi Sofia. Tapi Aku tidak menyerah, Aku tahu dimana Kamu berada. Satu-satunya tempatku berlindung, tempatku berteduh dari panas yang menyiksa ini, tempatku adalah Kamu, dan sekarang Kamu adalah Aku.

Untuk pertama kalinya Aku melihat dari sudut pandang Yayuk. Aku memandangi Bapak dan Ibu dengan kedua mata Yayuk. Mereka bersedih, mereka khawatir. Aku coba menenangkan, tapi tubuhku susah dikendalikan. Tulang-tulangku serasa remuk, dan saat suara itu kembali terdengar, tubuhku kembali terbakar.

Yayuk berkeringat, deras sekali membasahi lantai. Sedangkan Aku berteriak, keras sekali hingga tenggorokan ini sakit.

Mereka terus bertanya apa yang Aku mau. Tapi walaupun Aku jawab dengan jujur bahwa yang Aku mau hanyalah Kamu, mereka justru semakin beringas menarik tanganku, berusaha memisahkanku darimu. Aku mulai bingung, entah mereka terlalu menyayangimu, atau mereka sangat membenci Aku.

Lima jam berlalu. Aku mulai lelah, Kamu pun hampir menyerah. Yayuk tampak sangat pucat, keringatnya tidak berhenti mengalir deras. Kalau terus begini, salah satu dari kita pasti akan mati. Jika bukan Aku, berarti Kamu.

Aku pergi menyelamatkan diri, dan tentu saja menyelamatkan Yayuk. Melihat betapa sengsaranya Kamu saat itu, membuatku berjanji pada diri sendiri, "Aku tidak akan melakukannya lagi."

...

Akhirnya kita kembali ke tempat ini. Rumah kecil yang jauh dari keramaian kota. Tapi itu menurut Yayuk, sedangkan Aku masih melihat keramaian di sepanjang jalan, terutama saat malam datang.

Masih teringat jelas dua wajah pucat dari kepala yang terbungkus kain kafan. Mereka berdiri di balik jendela dengan tatapan yang menakutkan. Walaupun tidak bicara, Aku bisa mengerti maksud dan tujuannya. Mereka ingin Yayuk datang ke rumahnya dan menyelamatkan mereka dari kutukan. 

Aku tidak ingin kehilangan Yayuk, tidak seorang pun yang boleh membawanya. Tapi walaupun aku tidak rela, Aku yang sekarang tidak bisa berbuat apa-apa. Seseorang di desa ini menahan tubuhku, mencegahnya untuk tidak bertindak gegabah. Aku tidak keberatan, selama masih berada di samping Yayuk, dan selama mahluk-mahluk ini tidak menyentuhnya.

Sayang sekali. Sekeras apapun Aku berusaha, Bapak dan Ibu tidak pernah menganggapku ada. Tidak seperti sebelumnya. Bagi mereka namaku adalah kutukan, kehadiranku adalah racun. Mereka akan melakukan apa saja untuk memisahkan kita. Tapi Aku sadar bahwa di dunia ini tidak ada yang abadi. Tidak di duniaku, tidak di duniamu. Suatu saat Aku harus pergi meninggalkan Yayuk. Dan sepertinya, Aku tahu tujuanku selanjutnya.

"Gimana menurut mbak Sofia?" Tanya Ulfa yang sedang duduk di depan cermin. Aku memegang kedua pundaknya, dan membelai rambut kepangnya. "Cantik, lebih cantik dariku." Bisikku di telinga Ulfa. 

Gadis mungil itu tersenyum sembari masih memandangi cermin. Ia pun berkata, "Mbak Sofia lebih cantik kok," Ujar Ulfa sambil melihat wajah pucatku yang kulitnya mulai mengelupas, rambut kepang yang mulai memutih, dan rahang yang hampir putus saat aku tersenyum. Tersenyum menampakkan kedua gigi taringku.

"Tenang saja, suatu saat kamu akan lebih cantik dariku. Sampai saat itu tiba, aku akan selalu ada,"

DI SAMPINGMU

BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang