CHAPTER 27 - KERINGAT DINGIN PAK GAMAR

19.1K 2.1K 97
                                    

PAK GAMAR

Tepat setelah jamaah shalat ashar turun dari mushallah, Sayup-sayup pengeras suara terdengar dari lapangan kasti. Tanah lapang nan luas tersebut tidak lagi terpakai, dan sudah begitu sejak masyarakat enggan menggunakannya untuk bermain kasti lagi, kira-kira sepuluh tahun lamanya. Alasan pertama adalah sengketa kepemilikan, alasan kedua adalah letaknya yang berada di pinggir jalan menuju kalakan. Sering terjadi perampokan di jalan tersebut, pasca kerusuhan yang mereka sebut terror leduk.

Sore itu hampir semua warga berkumpul di lapangan. Tua, muda, bahkan anak-anak pun duduk di atas hamparan terpal yang sudah disediakan. Acara doa bersama yang direncanakan aparat desa tetap digelar, walaupun suasana duka masih menyelimuti warga.

Panitia mendirikan panggung kecil yang berhadapan langsung dengan jamaah. Di sanalah para kiai dan undangan dari desa tetangga akan duduk seraya memimpin doa. Namun karena undangan yang terkesan mendadak, dari delapan tokoh masyarakat yang diundang hanya dua orang yang datang.

Hal tersebut membuat Pak Gamar resah. Tidak ada yang bisa kepala desa lakukan selain bersyukur, masih ada dua orang yang bersedia datang dan memandu mereka. Dua orang tersebut adalah Ustad Mahrus dari Sumbergede, dan seorang santri dari Pesantren Sokogede yang ketika ditanya namanya Ia hanya menjawab "Panggil Sukacung saja."

Santri yang masih muda tersebut adalah perwakilan Kiai Ilyas yang kebetulan berhalangan hadir. Kiai Ilyas terkenal sangat menghargai undangan, kalaupun tidak bisa menghadirinya Ia akan mengutus seorang ajudan untuk menggantikannya. 

"Setidaknya lebih baik daripada Kalakan dan Lindung," Gerutu Pak Gamar karena surat undangannya pada kedua desa tetangga itu ternyata bertepuk sebelah tangan.

"Kamu li, li, lihat Man Mahrum?" Tanya Pak Gamar. Sudah sore, acara sudah hampir dimulai tapi Man Mahrum belum juga datang. "Man Mahrum masih di Astah Dejeh Pak, Beliau sedang mengurus pemakaman seorang ustad dari Sumbergede." Jawab Pak Awang. "Apa?" Teriak Pak Gamar. Dengan sabar Pak Awang mendekatkan wajah lalu mengulang jawabannya barusan. "Man Mahrum masih mengurus pemakaman di Astah Dejeh Pak."

"Oh, begitu." Sahut Pak Gamar, Ia lupa kalau dirinyalah yang tadi pagi memberikan informasi tersebut pada Man Mahrum. "Semoga saja cepat selesai," Pak Gamar berharap.

Pedagang gulali kapas, es cendol, dan permen gula merah harus rela ditinggal pembelinya, manakala panitia memberi isyarat bahwa doa segera dimulai. "Cek, satu, dua, tiga," Suara tersebut terdengar berulang-ulang dari pengeras suara yang tersusun di kanan dan kiri panggung. Warga yang berada di pinggir jalan, maupun yang sedang berbelanja segera pergi ke tengah lapangan dan duduk di tempat yang sudah disediakan.

"Mari Pak Gamar," Ucap Pak Awang. Ia mengajak Kepala Desa untuk segera naik panggung dan bergabung dengan para undangan dan tokoh masyarakat lainnya. "Kenapa?" Tanya Pak Gamar. Lagi-lagi Pak Awang mengulangnya dengan sabar. Sekarang Pak Awang tahu bagaimana sengsaranya Almarhum Mahfud dulu. "Sebentar lagi Saya me, me, menyusul." Jawab Pak Gamar.

Acara dibuka dengan sambutan dari panitia, menyusul kemudian ceramah Ustad Mahrus. Sang Ustad mengingatkan tentang pentingnya membentengi diri dari gangguan mahluk halus. Berdoa tidak hanya ketika dilanda musibah, tapi jadikan doa sebagai pertahanan terakhir saat usaha tidak membuahkan hasil, begitu kira-kira isi ceramah Ustad Mahrus. Kemudian doa bersama pun dimulai.

Pak Gamar masih enggan naik ke atas panggung. Dari balik kacamatanya Ia menghitung berapa banyak polisi yang datang untuk mengamankan acara tersebut. "Cuma tiga," Gerutu Pak Gamar. Jumlah yang sedikit jika dibandingkan dengan saat pemakaman di Astah Dejeh tadi pagi.

Yang membuat Pak Gamar semakin gelisah adalah hasil penyelidikan pembunuh Mahfud yang tak kunjung menemui titik terang. Hal itu memperkuat dugaan Pak Gamar, bahwa pembunuh Mahfud, pembunuh ketiga Juru Kunci dan tamu tak diundang tadi malam, masih memiliki keterkaitan.

"Percuma. Doa ini mungkin bisa mengusir mahluk halus, tapi tidak mempan melawan mereka." Gumam Pak Gamar. Ia berada pada posisi dimana keraguan menguasai dan ketakutan membatasi. "Mungkin memang sebaik saya diam saja, agar tidak ada lagi pertumpahan darah."  Tekad Pak Gamar.

Tampak dari kejauhan Pak Imam dan putri bungsunya tergesa-gesa mencari tempat duduk. Walaupun sedikit terlambat, Pak Imam masih antusias mengikuti acara doa bersama. Saat itu Ulfa mengenakan kerudung berwarna putih, serasi dengan gamisnya. Tidak lupa juga sebatang permen gula merah di tangan kanannya yang menjadi alasan keterlambatan mereka.

"Jangan di situ! Panas. Kita cari yang adem saja." Seru Pak Imam yang masih sibuk mencari tempat duduk sembari memasukkan uang kembalian ke dalam dompetnya. Pak Imam baru menyadari siapa yang sedang berdiri di pinggir lapangan sembari memperhatikan keramaian, termasuk memperhatikan Pak Imam dan Ulfa.

"Lhoo Pak Kades tidak ikut memimpin doa?" Tanya Pak Imam. Ia mengulurkan tangan kanan, sementara tangan kirinya memasukkan dompet ke saku celana. Pak Gamar menyambut uluran tangan itu, mereka bersalaman sambil sedikit menundukkan kepala. 

"Saya menyusul saja. Masih menunggu Man Mahrum datang." Jawab Pak Gamar, tanpa gagap. Ada keringat dingin di keningnya yang segera Ia usap setelah melepaskan genggaman tangannya. 

"Ayo Bapak, panas nih," Rengek Ulfa. 

"Saya permisi dulu. Oh ya, maaf tadi pagi tidak bisa hadir di pemakaman," Ujar Pak Imam. "Keluarga Saya baru saja melewati malam yang buruk. jadi Saya harus begadang sampai pagi, sampai mereka kembali tenang." Lanjutnya.

"Ah, tidak apa-apa. Sumpah, tidak apa-apa." Jawab Pak Gamar. 

Pak Imam menganggukkan kepala sebagai isyarat pamit dan Mereka pun berpisah. Pak Imam pergi mencari tempat duduk, sementara Pak Gamar berdiri di tempat, tanpa bergerak sedikitpun.

Ada sebuah benda di tanah, tepat di depan Pak Gamar. Benda berbentuk persegi empat dengan potret manusia di tengahnya. Pak Gamar mengambil benda tersebut yang ternyata adalah sebuah foto. "Ini pasti jatuh dari dompet Pak Imam," Gumam Pak Gamar. Ia sangat yakin karena foto tersebut tergeletak tepat di tempat Pak Imam berdiri barusan.

"Pak Imam, ini punya sampean?" Seru Pak Gamar sembari mengangkat barang temuannya tinggi-tinggi. Pak Imam yang belum terlalu jauh pergi, menoleh lalu menghampiri Pak Gamar setelah menyuruh Ulfa untuk diam di tempat.

"Terima kasih," Ucap Pak Imam seraya mengambil foto itu dari tangan Kepala Desa. Sang Juragan Tambak pun pergi, Ia merasa tidak perlu pamit lagi. Segera foto itu dimasukkannya ke dalam dompet dan bersama sang anak, Pak Imam lanjut mencari tempat duduk.

Masih di tempat yang sama. Foto tersebut sedikit menganggu pikiran Pak Gamar. Ia kenal baik dengan Pak Imam, dengan istri dan ketiga putrinya. Bahkan Pak Gamar banyak membantu proses pendaftaran sekolah Uli dan Ulfa. Hanya Yayuk yang masih terasa asing baginya, itu karena putri pertama Pak Imam tersebut hanya pulang sekali dalam setahun.

Tapi setelah melihat foto barusan, Pak Gamar jadi sedikit penasaran. "Siapa gadis berambut kepang di foto itu?"

 



BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang