CHAPTER 50 - DIAM, DAN DENGARKAN!

18.7K 2.2K 145
                                    

IMAM ILYAS

Gundukan tanah berjejer di hadapan Pak imam. Tanah kuburan yang ternyata tidak selalu merah, terkadang hitam dan gelap seperti suasana makam barat saat itu ; lampunya mati dua, menyisakan satu yang menyala. Bunyi sekop dan cangkul sedang diangkut, dibawa kembali ke tempat asalnya setelah dipakai menggali kubur.

"Sudah selesai," Kata salah seorang pekerja tambak. Bernada tegas layaknya sebuah laporan. "Duluan saja, Saya sedang ingin sendiri," Sahut Pak Imam. Dua orang anak buahnya pergi. Sesekali tangannya menepuk - nepuk paha, mencoba menghilangkan sisa - sisa debu dan tanah. Hanya tinggal seorang yang masih merapikan sisa - sisa pekerjaan. "Saya balik sama bos saja nanti," Ujar Parman, Ia sengaja menyusul Pak Imam karena khawatir akan keselamatannya.

Dari Astah Berek, gerbang tambak jelas terlihat. Hanya di seberang jalan yang tidak sampai sepuluh langkah. Ke sanalah tiga anak buah Pak Imam pergi. Tinggallah sang juragan sendiri di depan sebuah kuburan tua dengan nama Naridin di batu nisannya. Pak Imam meletakkan tas hitam panjangnya agak jauh dari jangkauan, pertanda diamnya akan sedikit lebih lama.

"Saya sudah selesai. Setidaknya begitu isi perjanjiannya, " Ucap Pak Imam. Caranya bicara sangat penuh dengan rasa hormat. Tidak wajar untuk seseorang yang sedang bicara dengan kuburan. "Saya tahu cepat atau lambat Saya dan yang lain akan menyusulmu, eh. Mereka Sangat serius dengan operasi ini, seperti takut sekali mengotori tangan. Seperti katamu, 'Cebok dengan tangan orang lain,' Hehe Kamu pasti tertawa mendengar ini. Itu pun kalau di neraka sana ada waktu untuk tertawa."

Parman berusaha untuk tidak mendengar, tapi baginya dan bagi Pak Imam juga, hari ini mungkin adalah yang terakhir bagi mereka. Memasuki kalimat berikutnya mata Pak Imam sedikit berkaca - kaca.

"Mereka selalu bilang kita terlalu muda untuk berhenti. Dan itu berbahaya. Resikonya akan terasa saat kita tua, dan kalaupun maut lebih dulu datang, maka keluarga kita yang menangungnya." Pak Imam memegangi ujung batu nisan, kemudian membacakan doa. Setelahnya Ia berdiri; belum selesai dengan nuansa sedihnya, Pak Imam berkata, "Harusnya Kamu tidak dikenang seperti ini,"

SEDANG REUNI DENGAN TEMAN LAMA KAH?

Mendengar itu, Parman segera mengangkat senjata dan mengarahkannya pada Pria yang entah sejak kapan ada di pemakaman. "Cukup! Selangkah lagi, mati!" Gertak anak buah Pak Imam seraya bersiap menarik pelatuk.

"Man Mahrum?"

Segera setelah mengenali siapa yang datang, Pak Imam tidak lagi dalam keadaan siaga. Bahunya berhenti meninggi saat melihat keadaan Man Mahrum yang sangat mengkhawatirkan.  Man Mahrum terjatuh, tangan kirinya masih sigap menahan tubuh agar tidak menyentuh tanah.  "Ya tuhan," Seru Pak Imam. Ia mendekat, bermaksud memapah Man Mahrum yang sekarat.  Alasan sang juru kunci berada di makam barat, jadi tidak penting lagi. 

"Haaah," Man Mahrum mengambil nafas panjang, yang semakin memaksa untuk berpisah dari tubuhnya. 

"Sampean kenapa?" Tanya Pak Imam. "Saya ambil motor dulu, kita akan ke rumah sakit."

TIDAK PERLU!

"Bos, ada kemungkinan Man Mahrum sudah melihat dan mendengar semuanya. Beri Saya perintah, Saya akan menghabisi orang ini."

"Tidak! Kamu kembali saja ke gudang, kabari yang lain untuk segera mengosongkan tempat itu. Dan satu lagi, pastikan kempat tamu kita tetap hidup saat Saya kembali." Perintah Pak Imam adalah mutlak. Parman menurunkan senjata dan pergi meninggalkan makam. Ia masih menatap tajam ke arah man mahrum, seolah khawatir juru kunci melakukan hal yang gila terhadap Bosnya.

BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang