CHAPTER 60 - LEDUK SEBELUMNYA

23.4K 2.1K 165
                                    


Tahun mulai berganti. Perlahan warga mulai lupa akan riwayat kelam Ki Naridin. Bagaimana tukang becak itu dibunuh, bagaimana dia dikubur, bagaimana hantunya menjelma menjadi becak ghaib yang menghantui warga satu tahun terakhir, semua itu kini tidak lebih dari cerita seram penunda tidur. Anak-anak menjadikannya kelakar. "Awas ada becaknya Ki Naridin!" Seolah kehadiran tukang becak itu adalah candaan yang sebenarnya tidak mereka harapkan.

 Lalu tentang Nyai Toriyati, musuh mereka yang sebenarnya itu justru tidak banyak dibicarakan. Mereka hanya mengingatnya sebagai tukang sihir yang bertahun-tahun sembunyi di balik kedok tukang pijat bayi. Tidak ada yang tahu bagaimana separuh hidup Nyai Toriyati dilalui tanpa menyentuh sisi gelapnya lagi. Seperti kain kotor yang semakin sering dicuci, semakin bersih. Sayangnya, seseorang menggunakannya untuk menghapus noda busuk, hingga kain itu semakin kumal dan berakhir di tempat sampah.

Berbeda dengan desa tetangga. Leduk mengalami perubahan besar dibawah perlindungan keempat juru kunci. Setidaknya itu yang dirasakan warga. Walaupun, Ki Mujur dan yang lainnya sama sekali tidak merasa melindungi. Berempat, para juru kunci sepakat untuk tidak mengungkit lagi fenomena Naridin atau Nyai Toriyati. Semua ditutup rapat dan dikubur hingga membusuk di dalam keempat makam. Tidak ada warga yang tahu bahwa di bawah kuburan bertuliskan Naridin itu, ada jenazah Nyai Toriyati. Terbakar hangus bersama bayi yang ada di dalam perutnya.

Tepat di bulan kedua tahun 1976. Bahrudin dibuat kesal oleh fenomena baru yang saat itu sedang ramai terjadi di desanya. Setiap bulan, keempat makam selalu kedatangan jenazah baru yang oleh warga diantar menggunakan keranda tertutup kain merah. Lambat laun, hal ini menjadi kebiasaan.

"Sampean-sampean ini jangan main-main!" Seru Bahrudin. "Lain kali pakai kain yang biasa saja! Seperti ini kan malah terkesan main-main!"

"Tapi Man, tidak ada TPU yang mau meminjamkannya. Menurut mereka, jenazah orang-orang seperti ini tidak pantas dibalut kain bertuliskan ayat-ayat suci."

"Monyet mana yang bilang begitu?"

"Monyet yang jaga .... Maksud saya, orang yang menjaga pemakaman yang bilang begitu Man. Sejujurnya, kami juga terpaksa mengantarkan jenazah orang ini. Tidak ada satu orang warga pun yang mau membawanya."

Bahrudin menghela nafas. Dia lelah berdebat dengan orang awam. "Saya capek," Katanya. "Kalian kuburkan sendiri. Di akhirat nanti, tolong jangan bawa-bawa nama saya. Yang bodoh kalian, yang berdosa kalian."

Rupanya, kata-kata itu diartikan berbeda oleh warga. Muncul kabar bahwa Bahrudin mengijinkan penggunaan keranda merah untuk membawa jenazah orang-orang yang bermasalah. Dalam beberapa bulan ke depan, kebodohan itu berubah jadi kebiasaan. Kebiasaan itu berubah menjadi adat, lalu adat berubah menjadi kewajiban.

Fenomena keranda merah seolah bukan masalah berarti bagi Ki Mujur dan Ki Rozak. Mereka punya masalahnya sendiri. Masalah yang lebih besar yang mereka sepakat untuk disimpan berdua. Setiap bulan, bahkan kadang seminggu sekali, kelompok pembuang mayat itu selalu datang berkunjung. Mereka membawa lebih banyak karung. Hingga pada tahun 1977, Ki Mujur dan Ki Rozak merasakan dampaknya.

"Berapa orang lagi yang harus kalian kuburkan?" Tanya Ki Mujur.

"Kami tidak menghitung jumlah. Yang kami tahu, ini akan berlangsung lama. Lima, atau mungkin sepuluh tahun lagi." Jawab salah satu dari anggota kelompok itu.

"Tae! Berapa banyak orang yang akan kalian bunuh?"

"Hati-hati!" Kata orang itu dengan tatapan penuh ancaman. "Saya menghormati Ki Mujur, tapi hati-hati. Manusia pasti mati, tapi pemikiran mereka akan terus hidup dan menyebar seperti racun. Selama racun itu dikonsumsi dan dicerna layaknya makanan sehari-hari, selama itu juga Saya akan datang ke sini."

BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang