CHAPTER 9 - MATA RABUN PAK GAMAR

23.6K 2.4K 388
                                    

PAK GAMAR

Pak Gamar pulang terlalu malam. Harusnya pukul empat Dia sudah menjemput istrinya. Sekarang Pak Gamar harus menghitung berapa banyak piring yang akan pecah saat Ia sampai di rumah.

"Seharusnya Kam, kam, kamu ingatkan Saya. Bukan malah ikutan!" Tegur Pak Gamar. Di sini keadilan sedang dipertanyakan, dimana Pak Gamar yang lalai, tapi Mahfud yang jadi korban.

Kepala Desa dan Sekretarisnya itu sedang dalam perjalanan pulang. Mahfud mengambil alih kemudi Vespa, karena membiarkan orang yang rabun mengendarainya, sama saja mengantarkan nyawa.

"Dengar ti, tidak?" Pak Gamar memukul kepala Mahfud, hingga Si tambun kesakitan. "Dengar Pak." Mahfud menjawab, tapi yang ia dapatkan adalah pukulan kedua. "Aw!" Teriak Mahfud. "Dengar ti, tidak?"

"Dengar Pak Gamar!" Kali ini Mahfud menjawab dengan keras, karena tidak ingin mendapatkan pukulan ketiga. "Lagipula Bapak sendiri yang minta ditemani main catur. Bapak tidak mau berhenti sebelum menang melawan Saya." Protes Mahfud. "Nah gitu. Nan, nanti kamu yang jel, jelaskan sama istri say, saya."

Tanggapan Pak Gamar memang tidak nyambung. Tapi Mahfud sudah terbiasa, walaupun jabatan ini mulai terasa seperti musibah.

Desa Leduk sudah sepi. Suara dzikir dan lantunan Ayat Suci pun tidak terdengar lagi. Hanya mesin Vespa butut yang berteriak di sepanjang jalan Leduk, hingga aspal yang mulus berubah menjadi batu.

"Ah say, say, Saya benci lewat jalan ini. Sudah sep, sep, sepi, jalannya juga bikin pan, pan, pantat sakit." Keluh Pak Gamar. Suaranya bergetar karena Vespa sedang melewati jalan berlubang; banyak sekali lubang. 

"Makanya segera urus perbaikan jalan pak. Siapa tahu kalau akses ke desa kita mulus, rejeki warga juga mulus." Mahfud coba menasehati. "Coba Kamu ur, ur, urus ijin sama anggaran perbaikan jal, jalan. Biar desa ki, ki, kita tidak seperti desa ter, ter, tinggal." Pak Gamar balik menasehati. Tentu saja karena nasehat Mahfud terdengar hanya seperti kentut.

Akhirnya mereka memasuki area perkebunan. Dimana pohon pisang berbaris di kiri, dan pohon mangga di sebelah kanan. Di sini tidak satu pun ada rumah warga, berbeda dengan jalan sebelumnya yang walaupun jarang tapi hunian manusia masih kelihatan. Hal itu juga dikeluhkan Pak Gamar. "Harusnya warga des, des, desa ini wajib beristri dua. Biar Leduk makin ramai dan tidak lagi disebut desa bat, bat, batu nisan." Pak Gamar terus mengoceh, sementara diam-diam mahfud menirukan gagapnya.

Sepi dan gelap sekali. Dari jalan, Mahfud dan Pak Gamar hanya mampu melihat hingga barisan pohon ketiga, setelahnya gelap gulita. Tidak juga ada manusia maupun kendaraan lewat, hanya dua ekor sapi yang hampir saja Mahfud tabrak. "Dasar calon sate! Sapi siapa yang dilepas malam-malam gini?" Kutuk Mahfud. Kali ini giliran Sekretaris Pak Gamar yang tidak bisa diam. Rupanya berkendara dengan Pak Gamar, melewati jalan sepi, di malam hari, semua sangat membebani Mahfud. Belum lagi saat ini atasannya itu mendadak diam seribu gagap.

"Bapak tidur?" Tanya Mahfud. "Pak Gamar jangan tidur!" Mahfud mengubah kalimat tanya menjadi perintah dan itu diucapkan dengan sangat keras. "Ah i, iya. Saya tidak ti, tidur goblok!" Jawab Pak Gamar lengkap dengan sebuah pukulan ke kepala Mahfud. Tiba-tiba tangan yang dipakainya untuk memukul, dipakainya lagi untuk menepuk pundak Mahfud. Kemudian pelan-pelan Pak Gamar bertanya. "Tad, tadi, Kamu beneran lihat sap, sap, sapi?"

Mahfud sedikit menoleh ke belakang, berharap Pak Gamar bisa melihat wajah herannya. "Lhaa kan emang sapi? Emang yang bapak lihat apa? Kelinci?" Tanya Mahfud  kesal. Sebenarnya sudah biasa pertanyaan Mahfud tidak dijawab, tapi kali ini ada yang berbeda dengan diamnya Pak Gamar. Mahfud merasa atasannya itu mendengar, tapi karena sebuah alasan Ia memilih diam.

Vespa butut itu membawa keduanya seratus meter lebih jauh, dan itu ditempuh tanpa satupun yang berbicara. Mahfud dan Pak Gamar sudah mirip sepasang kekasih yang sedang berselisih. Kecuali tiba-tiba, Vespa tua itu hampir melemparkan keduanya ke aspal.

"Adoh!" Serempak Mahfud dan Pak Gamar berteriak. Mahfud membawa Vespa itu menepi sambil menahan sakit di selangkangan, sama sakitnya dengan pantat sang atasan. "Baw, baw, bawa motor yang bener! Untung saya tidak ja, ja, jatuh." Protes Pak Gamar. "Yah, lampu motor bapak sudah harus diganti. Saya jadi tidak lihat kalau ada polisi tidur." Mahfud membela diri. 

Aksi bela diri Mahfud membuat Pak Gamar diam. Sama heningnya dengan mesin Vespa yang baru saja dimatikan. Wajah Pak Gamar mendadak pucat, wajah pucat Pak Gamar juga membuat Mahfud pucat. "Pak Gamar kenapa?" Tanya Mahfud sambil mengibaskan lima jarinya di depan wajah Pak Gamar. Bak orang yang ketakutan Pak Gamar bertanya "Sejak kap, kap, kapan desa kita punya pol, pol, polisi tidur?"

Seketika itu pertanyaan Pak Gamar menjadi pertanyaan Mahfud, dan jawabannya ada di tengah jalan yang baru saja mereka lalui. "Apa apaan itu?" Tanya Mahfud penasaran, melihat sesuatu tergeletak di tengah jalan. 

Takut sudah pasti. Tapi Mahfud tetap harus mendekat agar semuanya juga pasti. Dia ingin tahu apa yang baru saja digilas oleh ban vespa itu. Semakin dekat, matanya semakin jelas menangkap. Sebuah benda berwarna cerah dengan bentuknya yang memanjang tergeletak tepat di tengah jalan. Tepat di tengah jalan. Mahfud mempercepat langkah kakinya. Penuh harap itu bukanlah manusia.

"Ya Tuhan." Ucap Mahfud kala melihat pelepah pisang yang hampir terbelah dua karena dilindas motor Pak Gamar. "Ini pasti jatuh dari gerobak sapi." Mahfud meraih batang bergetah itu dan menunjukkannya pada Pak Gamar. "Saya kira manusia Pak, hahaha. ha?" Tawa Mahfud berhenti dengan nada tanya, melihat Pak Gamar sudah ada di atas Vespanya. Mesinnya menyala, mengeluarkan suara berisik dan tanpa diduga-duga, Pak Gamar pergi meninggalkan Mahfud. Sendirian.

"Woa, woa, woa Pak tunggu Pak." Mahfud melempar pelepah pisang itu ke pinggir jalan. Sekilas Pak Gamar memperhatikan, kemudian berpaling dan memacu Vespanya. Terlambat, tubuh gemuk Mahfud melarangnya berlari lebih jauh lagi. Ia harus Pasrah diabaikan oleh Pak Gamar.  Masih tercium aroma knalpot dari nafasnya yang tersengal-sengal. 

"Dasar budeg, rabun, gagap, keriput, bau tanah!" Umpat Mahfud di tengah jalan. Jalan sepi nan gelap gulita. Masih tidak habis pikir kenapa Pak Gamar meninggalkannya, Pak Gamar juga meninggalkan kaca matanya yang tergeletak di aspal.

Sementara itu, jauh dari Mahfud yang malang. Pak Gamar memacu motornya dengan kecepatan penuh. Konsentrasi yang hebat antara melihat jalan dan memikirkan apa yang dilihatnya barusan. Berdasarkan penglihatan Pak Gamar dari mata rabunnya, kejadian barusan sangat jauh berbeda. 

Bermula saat Pak Gamar mengelap kaca matanya di area perkebunan tadi. Sengaja dilakukan karena Ia ingin saat kaca mata itu dipasang kembali, apa yang dilihatnya di pinggir jalan tidak seperti yang ia pikirkan. Tapi ternyata orang-orang itu memang di sana, di pinggir jalan. Empat orang rombongan pengantar jenazah, membawa sebuah keranda merah. Hampir saja Mahfud menabraknya, membawa Vespa itu pada jarak yang sangat dekat dengan rombongan. Membuat Pak Gamar bertanya-tanya. 

"Po, po, po, po, po," Itu adalah gagap terpanjang selama hidupnya. Satu-satunya gagap yang tidak selesai diucapkan, karena tiba-tiba Mahfud berteriak. Mengumpat karena menurutnya Ia  hampir menabrak seekor sapi.

Pak Gamar terdiam. Ia berusaha untuk setuju bahwa yang barusan hampir ditabraknya adalah seekor sapi. Mahfud punya mata yang lebih sehat, apa yang sekretarisnya lihat pastinya lebih akurat. Begitu pikir Pak Gamar, seraya mengesampingkan dugaan bahwa Ia dan Mahfud sudah mendahului rombongan pengantar jenazah.

Tidak berhenti sampai di situ. Akal sehat Pak Gamar hampir pudar manakala Ia melihat apa yang tadi motornya gilas. 

"Po," Itu adalah gagap tersingkat selama hidupnya. Lagi-lagi gagal diucapkan karena mulutnya mengatup untuk menelan ludah. Pak Gamar berusaha menahan Mahfud yang tanpa sadar sedang berjalan menghampiri pocong. Pocong yang terbaring di tengah jalan, yang jadi penyebab Vespanya terguncang.

Sudah cukup. Pak Gamar hilang kendali saat Mahfud dengan santainya mengangkat, merangkul dan memperlihatkan mayat berwajah gelap itu padanya. Matanya masih terbuka, menatap Pak Gamar dari jauh namun terasa sangat dekat. Pak Gamar segera tancap gas. Persetan dengan Mahfud, terlebih saat Sekretarisnya melempar Mayat itu ke pinggir jalan hingga kepala dan tubuhnya terpisah jadi dua.

"Huwah, maafkan Saya fud. Saya takut dan kamu bodoh. Kita pasangan yang paling disukai pocong" Gumam Pak Gamar dalam hati. Tubuhnya bergetar entah karena takut, atau karena di jalan berbatu Pak Gamar masih saja ngebut.

BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang