CHAPTER 5 - MAKAM TANPA JASAD

29.3K 2.7K 182
                                    

SARIPUDIN

Seharusnya Saripudin dan awak kapal baru menepi setelah adzan subuh berkumandang. Tapi hari ini perahu hijau itu berlabuh lebih cepat dari biasanya. Apa boleh buat. Purnama punya pengaruh besar bagi kehidupan para nelayan. Cahaya indah bulan yang sering muncul dalam syair lagu, justru jadi petaka yang membuat tangkapan nelayan menjauh.

Dari wajah tiga orang nelayan itu dapat diterka berapa banyak hasil tangkapan mereka. Mengecewakan tapi mereka bertahan. Hanya berharap purnama cepat berlalu dan rejeki mereka kembali ke permukaan laut.

Ismail dan Bunarto memutuskan pulang lebih dulu sementara Saripudin masih menyibukkan diri dengan perahunya. Ia tidak berani meminta tolong pada kedua rekannya setelah tahu betapa lelah dan kecewanya mereka. Doa mereka di setiap harinya, sejahterakan kehidupan para nelayan dan lindungi nyawanya saat laut sedang tidak bersahabat.

Dari kejauhan Bunarto melambaikan tangan, isyarat mengajak Saripudin segera pulang. "Ya, sebentar lagi." Seru Saipudin membalas lambaian tangan Bunarto. Mata Saripudin kembali ke perahunya, ke sebuah karung putih di bawah tiang. Diraihnya bungkusan berisi ikan itu lalu pergi setelah memastikan tali tambat terpasang kuat.

Saripudin melangkah pulang. Semakin menjauh dari pantai dimana ombak tidak mampu meraih kakinya. Ia melihat purnama yang tampak sangat indah saat dirinya berada di darat. Lebih indah lagi jika cahaya itu tidak jadi sumber masalah. Pikirnya.

Berbicara tentang cahaya, langkah saipudin terhenti karena sebuah alasan. Sekitar beberapa meter dari pantai adalah pemakaman Astah Dejeh. Salah satu pemakaman di Desa Leduk yang merupakan makam paling tua diantara tiga makam lainnya. Ada sebuah cahaya lampu dan samar-samar seperti keramaian manusia di tengahnya. Itulah yang menarik perhatian Saripudin hingga ia pun menunda perjalanan pulangnya.

Saripudin berjalan menuju pemakaman. Ia penasaran siapa yang dimakamkan tengah malam begini. Wajar karena beberapa tahun terakhir Semua pemakaman di desanya hanya mau menerima jenazah penduduk lokal. Itu artinya yang saat ini meninggal pastilah tetangganya sendiri.

Astah Dejeh sudah ada bahkan sebelum Saripudin lahir. Selain paling tua, pemakaman di utara Desa Leduk itu adalah yang paling luas. Ada dua pondok kecil tempat menyimpan jenazah dan sebuah gubuk tempat tinggal Juru Kunci; dulunya. Sekarang para juru kunci tidak lagi tinggal di pemakaman. Mereka berkeluarga dan tinggal berbaur dengan penduduk lainnya.

Saripudin memasuki pemakaman Astah Dejeh. Berjalan pelan memperhatikan langkahnya, tidak ingin menginjak kuburan yang ada di sana. Saat ini tepat di hadapannya berdiri empat orang pria yang sedang mengelilingi sebuah lubang kubur. Empat orang tersebut sama sekali tidak peduli dengan kedatangan Saripudin bahkan walaupun berkali-kali Saripudin pura-pura batuk.

"Anu, siapa yang meninggal?" Tanya Saripudin. Tidak jelas siapa yang bicara, tapi Saripudin mendengar sebuah jawaban "Ibu kami," singkat dan dingin. Merasa aneh karena Sang Juru Kunci tidak ada di sana, Saripudin memberanikan diri untuk semakin mendekat. Ia berdiri diantara keempat orang tersebut lalu melihat dengan jelas sebuah lubang kubur yang siap menelan jenazah. Hanya saja tidak ada jenazah di dalamnya, tidak dimanapun.

"Sampean-sampean sudah ijin sama Juru Kunci makam ini kan?" Tanya Saripudin dan kali ini keempat orang itu enggan menjawabnya. Saipudin memalingkan wajah dari lubang kosong itu, menjemput sendiri jawaban dari pertanyaannya barusan. 

"Astaghfirullah," Istighfar Saripudin hampir bersamaan dengan tertutupnya kedua mata. Saripudin dalam masalah. Ia menyesal mengunjungi pemakaman ini. Andai saja ia abaikan rasa penasarannya tadi, pastilah saat ini ia sudah sampai di rumah sendiri.

Masih berdzikir, masih berdoa. Saripudin berharap keempat mahluk tersebut hilang saat ia kembali membuka mata. Membayangkan berdiri diantara empat mahluk berbalut kain kafan, dengan wajah pucat dan lingkaran merah di mata, Saripudin beruntung kakinya masih kuat menopang tubuh. Tapi keberuntungannya akan sirna jika Ia harus melihat wajah itu sekali lagi.

"Enyah kalian dari sini. Pulang dan beristirahatlah dengan tenang di sana!" Gertak Saripudin dengan suara bergetar menahan takut. Seketika cuaca menjadi dingin. Dapat Saripudin rasakan sekelilingnya menjadi gelap, walaupun saat itu ia sedang menutup mata, dan saat Saripudin kembali membuka matanya keempat mahluk tersebut hilang ditelan malam. Bersama dengan lubang kubur yang kembali tertutup tanah.

"Ya Tuhan, Setan apa yang baru saja menggoda hamba," Saripudin mengelus dada, merasa selamat dari petaka. Ia bergegas mengambil karung ikan yang tanpa sadar lepas dari tangannya. Saripudin harus segera pergi. Bukan tidak mungkin mahluk halus itu datang kembali jika Ia berlama-lama di pemakaman ini.

"Man Mahrum harus tentang kejadian ini," Gumam Saripudin. Tanpa ragu dilangkahkan kaki kanannya  sebagai awal perjalanan pulang. Sayangnya perjalanan itu harus segera terhenti manakala tanah di depan Saripudin tiba-tiba ambruk dan membawa serta tubuhnya jatuh ke dalam.

"Uwaah!!!" Kepala Saripudin membentur sesuatu. Keras sekali walaupun tidak sekeras batu. Matanya perih, hidungnya tersumbat tanah begitu juga dengan mulut. Saat ini tubuh Saripudin berada satu meter di bawah pemukaan tanah. 

Ia sama sekali tidak menyangka akan terjatuh, karena tanah yang dipijakinya terlihat sangat normal. Lubang kubur yang ia lihat tadi bisa saja hanya bagian dari halusinasinya, sama seperti keempat mahluk halus itu. Tapi disinilah Saripudin berada. Seolah makam tanpa jasad tadi disiapkan untuknya.

"Toloong!!" Teriak Saripudin sembari berusaha mengeluarkan sisa tanah dari mulutnya. Untuk pertama kali dalam sejarah Desa Leduk, terdengar suara dari dalam kubur. Naas bagi Saripudin karena jarak dari pemakaman ke pemukiman lumayan jauh, tidak ada seorangpun yang mendengar teriakannya.

Ia harus bangkit. Harus dengan usahanya sendiri. "Ya Tuhan, Saya belum mau mati." Saripudin berhasil meraih posisi duduk, dan dari posisi itulah ia sadar apa yang saat ini sedang ia duduki. Sebuah pecahan kayu penyangga kubur yang digunakan untuk mentup jenazah, dan Kain putih lusuh yang ada di samping saripudin adalah jenazah yang dimaksud.

Astah Dejeh dan bulan purnama. Mudah sekali untuk mengaumi indahnya langit malam itu. Tapi saat pandangan turun ke tanah, ke sebuah kuburan ambruk di tengah pemakaman. Keindahan itu sirna seketika. Terlebih saat tiba-tiba sepasang tangan keluar dari kubur, meraih pinggiran lubang dan berusaha menarik tubuhnya keluar.

Saripudin selamat. Ia berhasil kembali ke dunianya sendiri dan segera berlari meninggalkan pemakaman. Saripudin bahkan tidak peduli pada karung ikannya. Ia pulang membawa cerita yang tidak seorangpun boleh mendengar. Saripudin serius, tidak seorang pun yang boleh tahu bahwa dirinya sudah tidur dengan mayat, di bawah cahaya bulan purnama. Entah romantis atau hanya pengalaman mistis.

Empat pemakaman, satu desa, satu sejarah. Malam ini adalah permulaan dari berbagai kejadian mistis yang menanti para penduduk desa. Rahasia yang lama terkubur akan bangkit satu demi satu, bersama dengan bau bangkai yang akan tercium oleh para penimbun.






BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang