CHAPTER 0 - NYAI TORIYATI DAN MIZWAN

17.5K 2K 70
                                    

DESA LINDUNG, KECAMATAN BANYUSIRIH, JAWA TIMUR 1975  

NYAI TORIYATI

Ini terjadi di hari kelima setelah tewasnya Ki Naridin. Usai menghapus jejak dan rahasianya dengan membakar rumah sendiri, Nyai Toriyati dan Mizwan berada dalam pelarian. Tiga hari tiga malam mereka terlunta-lunta di jalan. Berhenti hanya untuk berlindung dari panas dan hujan, kemudian melanjutkan perjalanan menyusuri hutan, kebun, sungai dan semua tempat yang jarang dilalui orang. Semua dijalani Nyai sambil menggendong Mizwan. Anak lelakinya itu hanya mampu berjalan selama lima belas menit, dan harus kembali digendong sebelum pingsan karena kelelahan.

Takdir mempertemukan mereka dengan sebuah persinggahan. Hunian kumuh yang mungkin bisa melindungi mereka selama beberapa hari. Hanya beberapa hari. Reruntuhan bangunan itu tidak akan bertahan lama dengan atap yang sudah rapuh. 

Nyai tidak punya pilihan lain. Ia justru sangat bersyukur menemukan bangunan bekas gudang  itu. Di dalamnya banyak puing-puing gedung yang berserakan. Lantainya sedikit berlumut dan dindingnya penuh lubang serta coretan dari arang. 

"Dengar nak, apapun yang terjadi, Mizwan tidak boleh keluar dari sini. Kecuali sama Ibu, ya?"

Mizwan menangguk mantap. Selanjutnya, nyai mulai berburu makanan. Gudang itu berada di pinggiran desa. Tepatnya perbatasan antara Lindung dan Kalakan. Ada jalan setapak yang mulai ditumbuhi rumput liar, pertanda sudah lama tidak ada orang yang menggunakan. Gudang itu diapit dua kebun mangga. Ukurannya luas sekali sehingga pepohonan yang tumbuh di sana terlihat jarang-jarang. Masalah selanjutnya adalah, darimana Nyai akan dapat makanan?

Usai adzan maghrib. Nyai pulang ke persembunyian setelah berkeliling di sekitar gudang dan hanya mendapatkan beberapa barang. Ranting pohon, kain bekas, karung bekas, sandal bekas, dan beberapa buah mangga mentah. Tidak satupun dari hasil buruannya yang bisa dimakan. Nyai merasa lebih mirip pemulung daripada pemburu. Ilmu yang dipelajari dari Ki Naridin tentang cara bertahan hidup di hutan, tidak bisa Nyai terapkan di sini.

"A ... par," Kata Mizwan seraya mengelus perut cekungnya. Tulang rusuknya kelihatan jelas di balik kulit Mizwan, seolah tidak ada daging di antara keduanya. 

"Sabar ya nak, sebentar lagi Ibu cari makan. Tunggu gelap dulu." Kata nyai.

Malam semakin dingin. Pilihan nyai adalah menyalakan api dan memperbesar kemungkinan untuk ditemukan warga, atau tidak tidur semalaman karena kedinginan. Tidak. Saya tidak mau ambil resiko. Nyai menyelimuti tubuh Mizwan dengan kain bekas yang ia temukan. Setelah dirasa aman, nyai pun pergi mencari makan.

Lupakan soal moral. Kata itu sudah tidak memiliki arti lagi sejak suaminya tewas dengan cara yang tidak bermoral. Nyai tidak mungkin dapat makanan jika tidak mencuri. Sekitar lima ratus meter dari tempat persembunyian, nyai menemukan ladang jagung. Ia harus berhati-hati karena kelihatannya jagung-jagung di ladang itu sudah siap panen, pasti ada orang yang berjaga di sana.

Nyai mengendap-endap. Dia hanya mengincar jagung-jagung di pinggir ladang karena dari kejauhan terdengar suara orang sedang bercakap-cakap. Jagung itu di masukkan dalam karung bekas yang ditemukannya tadi. Sayangnya, rasa lapar sudah membuat nyai gegabah. Ia terlalu banyak mengambil jagung tanpa berpikir kalau tenaganya tidak cukup membawa karung yang berat.

Nyai Toriyati menarik karung itu keluar dari ladang. Permukaan tanah yang berbatu membuat nyai waswas karung itu akan bocor.

"Hei!"

Suara laki-laki itu terdengar bersamaan dengan lampu senter yang menyorot wajah nyai. Nyai menutup mata karena silau. Ia sedang berpikir, entah kabur dan mati kelaparan, atau melawan dan mati dibunuh orang.

BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang