CHAPTER 11 - IKUTI KEMATIAN

24.3K 2.4K 85
                                    

MAN MAHRUM

Melodi pagi di pemakaman. Ketukan palu, hantaman sekop dan sapu lidi menggores tanah, tanpa sengaja semua itu jadi musik yang indah. Setidaknya untuk sebuah pemakaman. Ada sebuah radio tua di atas sebongkah batu hitam, diam membisu tanpa nyanyian. Sengaja dimatikan, karena pagi seperti ini hanya berita yang disiarkan.

Tidak setiap hari Astah Dejeh dikerumuni manusia, tapi pagi ini sebagian warga bergotong royong membersihkannya. Daun-daun kering dan cempaka putih yang mulai menghitam, serta sampah plastik yang berserakan, semua dikemas dalam karung bekas. Warga sukarela melakukannya walau tidak ada biaya untuk keringat mereka.

Yang berdiri di tengah makam adalah Man Mahrum sang Juru Kunci. Dialah Penjaga makam termuda di pemakaman tertua yang ada di desa. Memang tiga puluh tahun bukan usia muda yang dibayangkan banyak orang, tapi dibandingkan tiga juru kunci lainnya, Man Mahrum lah yang masih berjalan tanpa tongkat.

"Masih enam makam lagi Man, itu pun belum ijin sama keluarga almarhum." Lapor salah seorang warga. "Bongkar saja! Ini sudah aturan." Perintah Man Mahrum. Kopiah hitamnya sedikit miring karena berkali-kali dilepas untuk dijadikan kipas. Belum juga jam delapan tapi cuaca sudah sangat panas.

Man Mahrum berjalan mengawasi warga yang sedang bekerja. Ia juga meminta anak-anak agar tidak bermain di dalam makam. "Din, suruh anakmu main di luar saja. Jangan sampai dia nyemplung ke kuburan seperti bapaknya." Seru Man Mahrum yang kemudian disambut oleh tawa warga. Saripudin tersenyum malu dibuatnya.

Segera Saripudin menggiring anak-anak pergi keluar makam. Hal yang tidak mudah karena salah satu dari mereka justru menangis sambil memeluk batu nisan. "Endak mau. Mau main di sini." Rengek salah satu anak.

Astah Dejeh semakin gaduh. Tepat saat itu Pak Gamar datang mengendarai vespanya. Kali ini Kepala Desa Leduk itu datang seorang diri tanpa ditemani sekretarisnya. Warga menyapa dan bersalaman selagi Pak Gamar berjalan menghampiri sang penjaga makam. Hanya Saripudin yang tampak tidak senang.

"Assalamualaikum," Salam sapa Pak Gamar. "Waalaikumsalam. Syukurlah sampean tidak gagap saat mengucapkan salam." Jawab Man Mahrum dengan sedikit canda. Keduanya pergi mencari tempat dimana tidak ada warga yang bisa mendengar obrolannya.

"Banyak sekali yang dibong, bong, bongkar?" Tanya Pak Gamar heran melihat beberapa kuburan yang berantakan. "Menghias kubur secara berlebihan tidak dianjurkan dalam agama. Dan itu juga sudah aturan di pemakaman ini. Makanya kuburan yang diatasnya dibangun keramik, diberi pagar dan sebagainya, kami rombak lagi." Tutur Man Mahrum.

"Hanya kar, kar, karena aturan?" 

"Karena kewajiban. Selain itu untuk mencegah kesenjangan sosial." Man Mahrum menjelaskan.

"Hahaha. Sebagian besar kub, kub, kuburan di makam ini dipasangi batu nisan tan, tan, tanpa nama. Karena me, me, memang mereka adalah jenazah tanpa identitas," Pak Gamar menanggapi dengan tawa. "Jadi tidak akan ada yang prot,prot, protes, tidak ada yang tersinggung kalaupun kuburan lainnya dikera, kera, keramik." Lanjutnya.

"Pak Gamar, nama hanyalah cara orang memanggil kita, dan itu tidak dibutuhkan lagi di bawah sana. Semua yang dimakamkan di sini derajatnya sama, dan Saya akan menjaganya tetap begitu." 

"Terus bagaimana dengan makam para Kiai? Para Pahlawan?"

Man Mahrum terdiam. Tidak hanya mulut tapi langkahnya juga. "Saya yakin sampean datang ke sini bukan untuk berdebat." Sindirnya. "Ah ya. Ada yang ingin say, say, Saya dikusikan."

Mereka berdua sampai di sudut pemakaman, dekat dengan pondok kecil tempat menyimpan Keranda. Masih ramai sebenarnya, tapi cukup jauh untuk tidak terdengar warga. 

BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang