CHAPTER 47 - SEMUA DEMI DESA

18.5K 2K 192
                                    

EDO

"Cukup, turunkan Saya di rumah itu." Pinta seseorang yang saat ini sedang Edo papah tubuhnya. Terasa sekali betapa lemahnya orang tersebut. Luka di punggungnya masih menganga, hanya sebuah kain saja tidak cukup menghentikan pendarahannya.

"Tidak bisa Man, Saya harus bawa Sampean ke rumah sakit." Edo bersikukuh.

"Kamu bisa melakukannya nanti. Saya yakin akan banyak ambulan datang ke desa ini." Ucap pria yang tidak lain adalah Man Mahrum.

Edo menemukannya bersimbah darah; tak sadarkan diri di tengah jalan. Saat itu Ia baru pulang dari Mushallah dan sengaja melewati jalan ke utara karena hendak memeriksa perahunya. Purnama sudah berakhir, nelayan akan melaut kembali. Tapi sepertinya, bulan yang baru telah dibuka dengan pertumpahan darah.

Edo membantu Man Mahrum duduk di salah satu rumah kosong yang ada di pinggir jalan utama Leduk. Sekitar lima ratus meter dari persimpangan.

"Ini rumah Mumtazir kan, Kenapa sepi sekali?" Tanya Man Mahrum.

"Dua hari ini banyak penduduk yang pergi dari desa Man. Terutama setelah meninggalnya juru kunci," Jawab Edo.

Man Mahrum terlalu sibuk dengan siapa saja yang sudah meninggal, hingga tidak ada waktu memperhatikan siapa saja yang masih hidup. Leduk semakin sepi, semakin julukan Desa Batu Nisan mendarah daging. Konflik ini harus berakhir dengan tetap menjaga rahasia, agar Leduk terhindar dari Invasi luar desa.

"Mungkin sudah waktunya Sampean jujur, siapa yang sudah melakukan ini?" Tanya Edo.

Sebenarnya tidak ada alasan untuk menutup – nutupi. Ada sederet nama dan beberapa kemungkinan di benak Man Mahrum. Ia hanya perlu menyampaikannya dengan hati – hati agar masalah pelik seperti ini tidak berujung mencelakakan orang lain. Atau sebaiknya Ia tetap diam.

"Kalau sudah tahu orangnya, apa yang akan Kamu lakukan?" Tanya Man Mahrum.

"Jelas sudah! Saya akan membalas perlakuannya sama Sampean. Almarhum Bapak Saya pernah jadi korban perampokan, dan Sampean sudah Saya anggap sebagai Bapak sendiri."

"Hahaha, aduh." Man Mahrum merasakan perih di punggungnya. "Usia kita hanya terpaut tiga atau empat tahun. Jangan bicara seolah – olah Saya jauh lebih tua." Ujar Man Mahrum.

Man Mahrum merangkul pundak Edo, hal yang sering kali dilakukannya saat sedang berbincang – bincang berdua. Bagi Man Mahrum, Edo sudah seperti Adik sendiri. Kurang ajar sekali jika Edo menganggapnya justru sebagai Bapak.

"Simpan niat kepahlawananmu itu. Apa Kamu dengar teriakan orang – orang tadi?" Tanya Man Mahrum.

"Iya Man, sepertinya dari arah timur."

"Saat ini, mereka lebih membutuhkan bantuanmu. Pergilah ke sana, dan cari tahu apa yang bisa Kamu lakukan untuk mereka."

Leduk selalu tidur lebih awal dibandingkan desa lainnya. Kalau mau, Warga bisa bermain sepak bola di tengah jalan tanpa khawatir tertabrak mobil. Pukul Sembilan adalah tengah malam pertama bagi desa di pinggir pantai tersebut. Jikalau masih ada orang yang lalu lalang, maka sudah lumrah untuk mempertanyakannya.

"Siapa tuh?" Edo menyipitkan matanya, berharap dengan begitu bisa melihat dengan jelas wajah pengendara sepeda jangkrik yang sedang mengayuh dari timur, menuju ke barat.

"Mufin?"

Edo segera berlari ke jalan begitu Ia mengenali siapa yang datang. Kemunculannya yang tiba – tiba menghadang mufin, membuat pemuda itu gelagapan.

"Astaghfirullah Bang Edo. Saya kira perampok," Seru Mufin sembari mengelus dadanya setelah Ia dipaksa berhenti mendadak.

Edo tidak mau buang – buang waktu dengan menjelaskan maksud dan tujuannya. Tidak di tengah jalan seperti ini. Ia menyeret Mufin, Mufin menyeret sepeda tuanya, dan sepeda tua itu hanya bisa pasrah saat Mufin membantingnya ke tanah karena terkejut melihat siapa yang sedang duduk di teras rumah.

BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang