CHAPTER 34 - TIDAK ADA TIDUR NYENYAK UNTUK MEREKA

20.6K 2.1K 180
                                    

ULFA

Siapapun dan kapanpun pintu rumah diketuk, Ulfa selalu ada di sana untuk membukanya. Kecuali saat Dia sedang tidak di rumah. Kali ini pun sama, Ulfa tergesa-gesa membuka pintu untuk menyambut kedatangan Ibu dan Kakaknya. 

"Ibu, bawa kue kan?" Tanya Ulfa sembari memeluk Bu Ilmi.

"Ini," Bu Ilmi memberikan sebungkus kue bikang hangat yang didapatnya dari rumah Man Mahrum. "Horeeee," Ulfa tersenyum senang. "Sebenarnya tidak baik berharap kue dari orang yang sedang kena musibah, jadi kalau besok Ibu tidak bawa apa-apa, jangan ngambek!" Tutur Bu Ilmi. Ulfa menyobek bungkus plastik dan segera menyantap kuenya, tanpa sedikitpun mencerna nasehat ibunya.

"Bapak sudah datang?" Tanya Uli.

"Sudah tadi," Jawab Ulfa singkat dengan mulut penuh kue bikang. Tentang Bapaknya yang pulang dengan keadaan marah-marah, bahkan sampai membentak Ulfa, Ia rasa tidak perlu untuk diceritakan.

Uli melempar jaketnya ke kursi dan pergi menuju kamar Yayuk. Sejak kejadian semalam Kakaknya tidak pernah keluar kamar. Terakhir kali Uli dan Bu Ilmi menjenguknya, badan Yayuk demam tinggi, wajahnya pucat dan beberapa kali berteriak kesakitan.

ULI

Uli mengetuk pintu kamar Kakaknya dua kali, lalu masuk tanpa menunggu perintah. Ia membawakan lima buah pisang rebus dan segelas susu, tapi melihat roti dan susu tadi siang sama sekali tidak tersentuh, Uli meletakkan apa yang dibawanya di atas lemari rias. 

"Ya Allah mbak, kenapa belum dimakan? Yang tadi pagi juga gitu. Mbak harus makan biar cepat sembuh." Gerutu Uli. Ia menghampiri Kakaknya yang tidur di balik selimut, walaupun Uli merasa hangat, tapi Yayuk menggigil kedinginan. 

Uli duduk di pinggir ranjang, ia meletakkan telapak tangannya di kening dan leher Yayuk, "Ya Ampun, panasnya." Uli panik. "Kita ke dokter saja ya Mbak, Uli mau bilang sama Bapak." Segera Uli beranjak bangun tapi segera pula Yayuk berbalik dan memegangi tangan Uli.

"Jangan!"

Cengkraman tangan Yayuk di lengan Uli terasa sangat kuat dan sangat panas. Alih-alih hanya menahan, Uli merasa sang Kakak akan meremukkan tulangnya. Belum lagi wajah Yayuk saat itu tampak jauh lebih tua dari saat terakhir kali Uli melihatnya. Kelopak matanya menghitam dan kendor, ada keriput di atas bibir dan di kening Yayuk.

"Sakit Mbak," Rintih Uli sambil berusaha melepaskan cengkraman tangan Yayuk. Wajah kakaknya terlihat sangat lelah, tidak sebanding dengan tenaganya yang sangat kuat. Perlahan Yayuk melepaskan tangan Uli dan kembali merebahkan tubuh.

"Maaf, maafkan Mbak." Ujar Yayuk. Matanya memandang lekat langit-langit kamar, walaupun Uli tahu pikiran Kakaknya sedang tidak di sana. 

Uli mengambil kembali pisang rebus yang Ia bawa, dan untuk kedua kalinya menawarkan pada Yayuk. "Mbak, makan ya?!" Pinta Uli. Yayuk mengangguk pelan tanpa megubah arah bola matanya. Tangan pucatnya meraba nampan yang Uli bawa, kemudian meraih sebuah pisang rebus dan memakannya dengan lahap. "Enak, enak sekali." Ucap Yayuk.

Uli menangis, tidak sepenuhnya keluar tapi ada setetes air mata yang jatuh ke gelas susu. Sekarang Uli tahu betapa parahnya kondisi sang Kakak. Ini bukan lagi tentang demam, tapi trauma yang dalam sudah mengguncang kejiwaan Yayuk. Yang membuat hati Uli sakit adalah, Yayuk memakan pisang rebus itu lengkap dengan kulitnya. 

"Lagi!" Ucap Yayuk setelah menelan habis satu buah pisang rebus.


BU ILMI

"Tidak bisakah ke tambaknya ditunda besok?" Pinta Bu Ilmi. Ia sangat keberatan jika suaminya pergi ke tambak udang, setidaknya untuk malam ini.

"Tidak bisa Bu. Besok pakan udang datang, teknisi dari kota juga. Banyak yang harus Bapak siapkan." Pak Imam memberi alasan dan itu diucapkan dengan nada ketus. Bu Ilmi sangat perasa, Ia tahu ada sesuatu yang disembunyikan suaminya. Bahkan jika harus menghitung, Bu Ilmi merasa jika Pak Imam menyimpan banyak rahasia darinya, dan walaupun ternyata hanya satu, pastilah itu rahasia yang sangat besar.

BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang