CHAPTER 40 - MENUNDA MATI

18.7K 2K 72
                                    

MAN MAHRUM

Sebagian besar jamaah di Mushallah sudah turun. Mereka tampak sibuk mencari pasangan dari sendalnya masing-masing. Sudah lumrah bagi penduduk desa, setiap kali akan naik ke Mushallah mereka melempar kedua sendalnya ke arah yang berbeda. Itu salah satu cara agar setelah shalat selesai, mereka bisa pulang dengan mengenakan sendal yang sama.

Man Mahrum tidak rutin berjamaah di Mushallah. Bukan karena malas, tapi karena Ia memilih berjamaah dengan sang Istri di rumah. Sejak kedua putrinya lulus sekolah dasar, Man Mahrum mengirim mereka belajar di pesantren Sokogede, dan itu membuat Istrinya merasa sangat kesepian.

Siang ini Man Mahrum memutuskan untuk berjamaah di Mushallah. Ia merasa gerah karena sejak pagi dilarang keluar rumah. Butuh waktu untuk meyakinkan sang Istri bahwa kondisinya sudah pulih kembali, tanpa menceritakan besarnya kemungkinan Man Mahrum akan terbaring di ranjang lagi. Ia tahu sesuatu yang besar akan terjadi di desanya. Hanya menunggu seseorang memulai, atau orang lain yang akan mengakhiri.

Turun dari Mushallah, Man Mahrum menyapa Edo yang siang ini tampak sangat lelah. Ia juga lalai akan tugasnya mengumandangkan adzan dhuhur. "Kenapa Do, sepertinya kurang tidur? Sudah mulai melaut lagi?" Tanya Man Mahrum. Edo membersihkan air matanya yang keluar karena kantuk, "Anu Man. Semalam Saya, Anto dan Azwar berjaga keliling kampung. Takut ada warga yang melihat pocong lagi." Jawab Edo. "Keliling kampung atau cuma keliling halaman rumah Marlena?" Tanya Man Mahrum sedikit menggoda. Merasa pertanyaan juru kunci itu tepat sasaran, Edo pun tidak punya alasan lagi untuk berbohong. "Hehehe iya Man, soalnya Mbak Mar takut tidur berdua sama Emping. Apalagi ternyata di rumahnya ada kuburan."

Man Mahrum melihat wajah Edo yang gugup karena tanpa sengaja menyampaikan apa yang harusnya dirahasiakan. "Kuburan, di dalam rumah Marlena?" Tanya Man Mahrum. Edo tidak berani menanggapinya, Ia akan sangat bersyukur jika Man Mahrum mau melupakan apa yang Edo ucapkan. 

Man Mahrum mengerti kegelisahan Edo, Ia merangkul bahu bujangan itu dan berkata. "Memiliki rahasia adalah hak semua orang, menjaga rahasia orang adalah sebuah kewajiban, tapi..." Man Mahrum mengambil jeda agar Edo mengerti bahwa kalimat selanjutnya adalah yang terpenting. "Jika masalah yang menimpa orang lain kamu rahasiakan untuk diri sendiri, itu artinya kamu siap menyelesaikannya seorang diri. Dengan merahasiakan itu, Kamu sudah memutus kemungkinan adanya orang lain yang akan membantu Marlena, kecuali Kamu merasa mampu menanganinya sendiri, ya silahkan!" Tutur Man Mahrum.

Segera setelah mengucapkan itu, Man Mahrum beranjak pergi meninggalkan Edo yang masih diam berpikir. 

Di seberang jalan, tepatnya di bawah pohon ketapang, Man Mahrum sudah disambut oleh seorang tamu yang sejak tadi bersandar pada vespa tuanya. "Pak Gamar?" Gumam Man Mahrum sembari menahan tawa. "Sepertinya Pak Saleh sudah memberikan kenang-kenangan yang sangat berkesan di wajahnya." Ucap Man Mahrum dalam hati.

"Menunggu Saya Pak?" Tanya Man Mahrum.

"Saya sudah bicara dengan Pak Waroh, dan seperti yang kita tahu dia memang keras kepala dan serakah." Jawab Pak Gamar tanpa basa - basi. Man Mahrum melihat sekeliling, tidak Ia duga kepala desa akan membahas hal seperti itu di tempat umum. Beruntung semua jamaah sudah pulang, meninggalkan sang juru kunci dan kepala desa.

"Saya tidak terkejut." Sahut Man Mahrum. "Sebagai dua orang yang pernah berebut sebidang tanah, mustahil keduanya bisa sepakat untuk nasib sebidang tanah." Lanjutnya sembari tersenyum kecil.

"Ah, lupakan saja! Bukan itu yang ingin Saya bicarakan." Kata Pak Gamar.

Setelah  sepi, Pak Gamar dan Man Mahrum sepakat untuk melanjutkan Obrolannya di teras Mushallah. Karena berdiri di terik siang dan membahas sesuatu yang rumit, sama sekali tidak bisa dilakukan bersamaan. Mereka duduk bersila, menikmati teduh dan sejuknya berada di serambil Mushallah.

BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang