CHAPTER 26 - LANTAI RUMAH MARLENA

20.4K 2.2K 141
                                    


AZWAR

Edo, Azwar, Anto, dan banyaknya bujangan di Desa Leduk. Kemiskinan merupakan faktor terbesar menurunnya minat berkeluarga. Banyak yang lebih memilih hidup sendiri Karena saat beras mereka menjadi nasi, maka nasi itu hanya cukup untuk dimakan dua kali sehari, separuh piring, dan hanya untuk diri sendiri. Lauk pauk tidak jadi masalah. Banyak sayuran yang bisa dipetik, ditanam lalu dipetik lagi, sedangkan ikan hasil tangkapan hampir semuanya menjadi uang.

Tempat pelelangan Ikan terdekat ada di Desa Kalakan, di sanalah hasil melaut ditimbang, kemudian dijajakan, sesudah melalui proses tawar-menawar yang sadis. Tidak ada yang protes karena mereka tahu bahwa mereka hidup di jaman yang kejam, atau mungkin Mereka tidak tahu siapa yang harus disalahkan. Setidaknya bungkam dan bersabar jauh lebih aman daripada berteriak lalu berakhir hilang tanpa jejak.

Pagi hari, tepat setelah upacara pemakaman kedua juru kunci, Anto dan Edo datang berkunjung ke rumah Azwar, Guru Sekolah Dasar yang hanya lulus sekolah dasar. Sejujurnya itu tidak akan terjadi Jika kakaknya bukan istri kepala sekolah. Walau demikian Azwar cerdas dan berwibawa, setidaknya di mata anak-anak sekolah dasar. Sedangkan di mata Anto dan Edo, Azwar tetaplah si dagu panjang, kaki panjang, hidung dan bulunya pun panjang, bahkan alisnya pun tebal dan panjang, hampir tidak ada jarak antara yang kiri dan kanan.

"Assalamualaikum Pak Guru," Anto mengucapkan salam dengan menirukan gaya anak kecil. "Pak Guru," Edo menambahkan, membuat keduanya seperti siswa SD yang sedang berkunjung ke rumah gurunya. Sayang sekali, Siswa tersebut harus mengamuk dan mungkin membunuh sang guru karena ternyata yang membuka pintu adalah, "Mbak Marlena?" Seru Edo dan Anto.

Mereka terkejut, hati mereka hancur, terlebih saat melihat Marlena yang masih mengenakan pakaian pendek seperti bangun tidur. Walaupun sulit, mereka mencoba berpikir positif. Kecuali saat Azwar datang dan menyambut kedua tamunya dengan telanjang dada.

"Selamat pagi Pak Guru," Sapa Edo dan Anto sembari meremas kepalan tangan seolah bunyinya akan jadi bunyi tulang Azwar yang retak.

...

"Kuburan, di dalam rumah Mbak Mar?" Tanya Edo. Anto pun tidak menyangka akan ada mayat yang terkubur di bawah rumah warga. Setelah mendengarkan cerita Marlena tentang keranda merah yang tiba-tiba muncul di rumahnya, serta bagaimana Azwar datang lalu menyelamatkan Marlena dan Emping, barulah Edo dan Anto sedikit lebih tenang. Tentu saja mereka masih kesal kenapa Marlena harus bermalam di rumah Azwar.

"Wah Guruku pahlawanku," Ledek Anto. Sambil memegangi pipi kanannya yang lebam, Azwar menjawab, "Lain kali dengarkan dulu orang bicara, jangan maen tonjok seenaknya." Protes Pak Guru.

"Maaf Pak Azwar, harusnya saya dan emping tidak ikut. Akhirnya Saya jadi ngerepotin," Ujar Marlena. Azwar selesai dengan tiga cangkir teh hangat, lalu menyajikannya pada ketiga tamu yang sedang duduk di bangku kayu, di halaman belakang rumah Azwar.

Rumah Azwar sedikit lebih luas dari rumah Edo dan Anto. Walaupun tinggal sendirian, Rumah Azwar punya tiga kamar, satu dapur dan satu ruang tamu. Selain sebagai guru, Azwar juga memiliki kebun pepaya di Desa Lindung, dan itu ukup menunjang biaya hidupnya mengingat gaji guru SD yang tidak seberapa.

"Jadi darimana Kamu tahu kalau ada kuburan di rumah Mbak Mar?" Tanya Anto, setelah Azwar duduk bergabung dengan mereka. "Saya sempat menggalinya tadi, saat semua warga pergi ke pemakaman Ki Rozak dan Ki Mujur." Jawab Azwar. "Terus hasilnya?" Edo penasaran. "Saya melihat kain kafan. Hanya ujungnya saja sih, setelah itu Saya kubur lagi." Jawab Azwar.

"Lhoo kenapa tidak kamu keluarkan?" Tanya Anto sambil meniup teh hangatnya. "Yang benar saja! Saya tidak mungkin mengeluarkan mayat itu sendirian. Lagipula Saya dengar hari ini akan ada doa bersama, mendoakan mayat-mayat yang dikubur sembarangan itu." Jawab Azwar. "Memang benar Pak Gamar melarang kuburan ilegal itu dibongkar, cukup didoakan saja agar arwahnya tenang." Edo membenarkan. "Tapi ini di dalam rumah, tidak ada yang mau tinggal di atas kuburan walaupun setiap hari didoakan." Imbuh Edo. "Ya, Saya kasihan sama Mbak Marlena." Ujar Anto.

Marlena hanya diam, dibungkam oleh rasa sungkan. Tapi jika dia boleh meminta, Marlena sangat ingin pindah rumah, karena walau dibongkarpun Ia tidak akan tenang tinggal di atas tanah bekas kuburan. Terutama setelah apa yang Ia dan Adiknya lihat tadi malam.

"Hei," Ucap Edo pelan. Tidak jelas siapa yang Edo panggil, tapi semuanya melihat. "Menurut kalian, siapa pembunuh para juru kunci?" Tanya Edo, singkat tapi terasa sulit dijawab. "Saya ada di sana bersama Pak Awang, Man Mahrum dan beberapa warga," Sahut Anto, dan walaupun itu bukan jawaban, tapi semuanya memperhatikan. "Kemungkinan besar Ki Mujur, Ki Rozak dan Nyai Rum dibunuh oleh orang yang sama." Edo mengemukakan pendapatnya.

Sangat jelas. Bahkan orang awam pun bisa menerka bahwa ada pihak di luar sana yang menginginkan kematian tiga juru kunci. Mereka hanya tidak tahu darimana harus mulai menebak.

"Benar itu!" Ucap Edo. "Ada yang ingin mengubah desa kita menjadi neraka, dan siapapun orangnya pasti punya kedudukan yang tinggi, tinggi sekali." Lanjutnya.

"Mengubah?" Tanya Azwar. "Kejadian ini justru tidak mengubah apapun. Buktinya, ini terjadi sesaat setelah para juru kunci memutuskan bahwa empat pemakaman akan dibuka untuk umum. Aneh tidak?" Lanjut Azwar.

Marlena hanya diam di sana. Ia tidak pernah berpikir sejauh itu, tapi mendengar apa yang diutarakan  Azwar, Edo dan Anto, Marlena mulai menyadari ada yang tidak beres di desanya ini. Tentunya selain terror mahluk halus di malam hari.

"Maksud Kamu, ada pihak yang menginginkan agar keempat makam tetap tertutup? Untuk apa?" Tanya Edo. "Rahasia." Jawab Anto. Ia memandangi wajah penasaran teman-temannya sembari menyeruput teh hangat, lalu melanjutkan. "Ada rahasia yang terkubur di desa ini. Rahasia itu mungkin akan terbongkar jika semakin banyak orang luar yang berkunjung ke pemakaman." Tutur Anto.

"Saya tidak mengerti," Sahut Edo. "Iya To, kalaupun yang kamu katakan benar, kenapa sampai harus membunuh para juru kunci?" Tanya Azwar.

"Entahlah," Jawab Anto singkat. Obrolan berakhir sampai di situ. Bukan karena tidak ada pertanyaan, tapi karena semua tahu tidak ada yang bisa menjawab. Tiba-tiba Edo teringat sesuatu yang sempat mereka lupakan.

"Mbak Marlena, nanti malam tidur dimana?" Tanya Edo. Tanya Azwar dan tanya Anto juga. Marlena kembali murung, Ia tidak ingin kembali ke rumah. Walaupun kuburan di bawah rumahnya diangkat, Marlena tidak yakin Ia bisa tidur dengan tenang. Satu-satunya pilihan adalah tidur di warung, tapi jika teringat kejadian malam itu, Marlena lebih memilih tidur di jalanan.

"Saya belum tahu Mas," Jawab Marlena.

Tiga pria itu berpikir keras, mereka mencari solusi dan sebisa mungkin tanpa birahi. Sayangnya itu mustahil, baik Edo, Azwar dan Anto sama-sama menginginkan agar Marlena bermalam di rumah mereka masing-masing. 

"Saya punya solusi!" Seru Edo. Mendengar itu Marlena menatap Edo penuh harap, sedangkan Azwar dan Anto menatap Edo penuh curiga.

"Malam ini Mbak tidur di rumah sendiri saja, kami bertiga siap berjaga di luar." Tutur Edo. "Terus kuburan itu?" Tanya Marlena.

"Kita berharap saja semoga doa bersama yang digelar sore nanti membuahkan hasil. Kalau nanti malam Mbak Mar tidur tanpa gangguan, maka malam selanjutnya kemungkinan besar aman." Tutur Edo.

Berat rasanya bagi Marlena untuk setuju. Tapi lebih berat lagi jika Ia harus meminta lebih dari itu. Marlena berharap besar pada rencana Edo barusan, agar Ia dan adiknya bisa terbebas dari gangguan setan.

Sudah semakin siang. Marlena pamit untuk menjemput Emping di sekolah, kemudian berbelanja keperluan dapur. Perempuan ayu tersebut sengaja keluar lewat pintu belakang, untuk menghindar dari warga yang pasti akan salah paham. 

"Makasih atas semuanya Pak Azwar, Mas Edo dan Mas Anto," Ucap Marlena seraya berlalu pergi.

Masih di halaman belakang rumah Azwar. Wajah ketiga pria tersebut serempak berubah raut. Mereka memandangi setiap langkah Marlena dengan tatapan tajam yang tidak berhenti sampai Marlena hilang dibalik rumah warga.

"Hei, Kalian masih ingat almarhum suami Marlena?" Tanya Azwar. Kedua temannya pun mengangguk. 

"Hariyadi, nelayan pendatang baru yang mati tenggelam itu kan?" Jawab Edo sembari memastikan. "Ya, benar. Dan apakah kalian ingat di mana jenazahnya di kubur?" Lagi-lagi Azwar bertanya dan kali ini berhasil membuat tubuh Edo dan Anto begidik. Lalu untuk terakhir kalinya Azwar kembali bertanya, kali ini dengan berbisik, "Apakah pikiran Kalian sama dengan yang Saya pikirkan?"



BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang