CHAPTER 8 - DI BALIK JENDELA KAMAR

24.5K 2.5K 299
                                    

YAYUK

Sepuluh menit menjelang Adzan Isyak. Antusiasme Yayuk untuk segera mengetuk pintu rumahnya masih sangat tinggi. Tidak banyak kenangan yang Ia bingkai selama pindah ke desa ini, tapi rindu pada keluarga sudah tak terbendung lagi.

Tergesa - gesa membuka sepatu. Di belakang Yayuk Sofia masih membisu.  Bukan pertama kali bagi Sofia datang ke desa ini. Walau gadis itu tidak ingat pasti kapan pertama kali berkunjung ke rumah ini.

"Assalamualaikum." Salam ceria Yayuk bersamaan dengan bunyi pintu diketuk. Saat itu semua lampu rumah sudah menyala. Bahkan di desa leduk hanya rumahnya lah yang terang benderang. Penyebaran listrik yang belum merata, membuat sebagian besar desa gelap gulita. Beruntung kediaman Pak Imam berada dekat dengan Tambak. Walaupun jauh dari pemukiman penduduk, setidaknya dekat dengan jalur listrik.

"Waalaikumsalam." Suara Bu Ilmi menjawab salam terdengar dari balik pintu. Yayuk tidak sabar untuk memeluk Ibunya.

"Ibu," Peluk haru Yayuk pada Bu Ilmi segera setelah pintu rumah dibuka. Koper besarnya tidak lagi Yayuk pedulikan. Walau sedikit, air mata Bu Ilmi menetes. Cepat Ia usap dengan mukenah putihnya.

"Mbak Yayuk," Kedua adik perempuannya berhamburan memeluk Yayuk. Dua tahun dipisahkan, Yayuk merasa kedua adiknya sudah lima tahun lebih besar, terutama Uli. "Mbak Yayuk kurusan." Ujar Uli. Berbeda dengan Ulfa yang lebih memperhatikan koper sang kakak, berharap ada sesuatu yang spesial untuknya. "Justru kalian berdua yang jadi lebih gendut." Ledek Yayuk sembari mencubit pipi Ulfa.

"Ya Ampun, Yayuk. Bapak kan sudah bilang mau jemput kamu di pertigaan." Pak Imam keluar dari kamar dengan handuk masih melingkar di lehernya. Baru saja Ia pulang dari tambak, segera mandi untuk bersiap menjemput sang anak. Rindu memang, tapi melihat Yayuk nekat pulang sendiri di malam hari, membuat Pak Imam sangat khawatir.

Yayuk melepas pelukannya pada sang adik, dan berganti memeluk sang bapak. Setidaknya itu yang bisa Ia lakukan untuk meredam kesal di hati Bapaknya. "Halte di pertigaan sepi Pak. Lagipula Yayuk sudah tidak sabar ingin sampai rumah" Ujarnya manja.

Ada kehangatan di ruang tamu, dimana sebuah keluarga utuh melepas rindu. Pak Imam pun terharu melihat ketiga putrinya tumbuh dewasa nan ayu. Walaupun Ulfa masih kelas empat sekolah dasar, Pak Imam yakin Dia akan tumbuh cerdas seperti kedua kakaknya.

"Ulfa, Uli, biarkan Mbak mu istirahat dulu. Kalian bisa lanjut bermain besok." Nasehat Bu Ilmi membubarkan candaan tiga putrinya. Yayuk beranjak dari kursi di ruang tamu, meraih koper dan menuju  ke kamar.

"Sofia, kenapa kamu bengong? Sini masuk!" Ajak Yayuk. Entah apa yang terjadi, air muka Pak Imam dan keluarganya mendadak berubah. Seolah kehadiran Sofia adalah penyebabnya. Gadis berambut kepang itu memasuki rumah dengan wajah dan langkah yang canggung. Merasa kedatangannya sangat tidak diharapkan. Baik pak Imam dan Bu Ilmi enggan menyapa Sofia. Hanya Ulfa dan Uli saja yang tersenyum menyambut sahabat kakaknya itu.

Yayuk dan Sofia masuk ke kamar lalu menutup pintu. Samar terdengar suara Yayuk melompat ke ranjang, bak anak kecil yang rindu kasur kesayangan. Sementara di ruang tamu Pak Imam dan Bu Ilmi masih duduk dengan wajah Muram.

"Apakah ini berarti, usaha kita sia-sia?" Pak Imam bertanya walau sebenarnya tidak ingin dijawab. Hanya sebuah luapan kekecewaan atas harapan tinggi yang baru saja jatuh berserakan. "Sabar dan berdoa saja Pak. Ibu yakin semua butuh proses." Bu Ilmi menenangkan sang suami. Merangkul dan duduk bersandar di bahu Pak Imam.

...

Kosong tiga puluh. Setengah jam lewat dari tengah malam. Bagi Yayuk ini adalah malam pertama tidur di kamarnya lagi. Semua perabotan, boneka, bahkan warna selimut masih dibiarkan sama seperti saat Yayuk pergi ke kota. Anehnya itu tidak mampu membuat Yayuk tidur nyenyak.

BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang