CHAPTER 15 - AIR SENI DI MALAM HARI

23.1K 2.4K 211
                                    

EMPING

"Masih sisa lima puluh perak. Jajan apa ya?" Gumam Emping dalam hati. Dengan uang logam lima puluh rupiah di  tangan, bocah itu larut dalam dilemanya sendiri. Saat itu pukul setengah delapan malam, dan masih ada satu warung yang buka. Baru saja Emping pulang dari sana untuk membeli gula pasir pesanan Marlena. 

Bagian timur desa leduk adalah daerah paling ramai; paling padat penduduk. Banyak sekali gang kecil yang menghubungkan rumah ke rumah, jalan ke jalan, hingga jembatan yang menggantung di atas sungai. Sungai Leduk sendiri mengalir dari Desa Kalakan, jauh ke utara dan bermuara di pantai, dekat dengan Astah Dejeh. Dan saat ini langkah pertama Emping di jembatan gantung dimulai.

Emping memasukkan uang berharganya ke kantong celana. Ia memutar pegangan tas plastik hingga terpelintir erat hanya untuk mengalihkan rasa takutnya. Itu wajar. Warga desa yang usianya dua kali lebih tua pun akan gentar melewati jembatan gantung pada malam hari. Pohon bambu tinggi, tinggi sekali. Suara gemerisik daun, dan batangnya yang bergerak tertiup angin, seolah jembatan itu akan membawa Emping ke dunia lain. Belum lagi derasnya aliran sungai. Air yang sebagian mengalir diantara bebatuan, dan suara benda jatuh ke sungai yang entah apa dan dari mana asalnya.

Emping berpegangan pada tali jembatan. Walaupun badan sekecil itu sama sekali tidak membuat jembatan goyang. Tapi Emping takut. Ia membayangkan jikalau dirinya jatuh, tubuhnya akan membentur barisan bebatuan tepat di bawah jembatan. Sengaja ditata demikian untuk penyeberangan warga yang sedang mencuci pakaian. 

Saat bocah yang belum sunat itu sampai di tengah, ia menyadari ada sesuatu di bawah. Di barisan batu sungai yang saat ini sedang digunakan untuk menyeberang. "Hik?" Emping terperanjat kala melihat siapa yang sedang menyeberang, dan otaknya sendiri malas mendeskripsikan. Terlebih saat ia menyadari, posisinya berada jauh di depan mereka. Sengaja atau tidak, Emping sudah mendahuluinya. Mendahului hantu keranda.

"Hantuuu," Emping berlari, sepanjang jembatan Ia berteriak. Takut sudah mengendalikan Emping hingga tanpa disadari salah satu pijakan kayu di jembatan gantung retak. Tubuh Emping seakan ditarik bumi, jatuh dan mendarat di lantai kamar.

"Aduh." Teriak Emping. Jatuh dari ranjang bambu ke lantai tanah, ini jauh lebih buruk dari mimpinya barusan. Hidung Emping ngilu karena yang mendarat lebih dulu adalah wajahnya. Setidaknya Ia terbangun di tempat yang Ia kenal. Tidak bisa Emping bayangkan jika Ia benar-benar jatuh dari jembatan dan terbangun di tengah lautan.

"Alhamdulillah cuma mimpi." Emping mengelus dada. Kemudian Ia berpikir, mimpinya malam ini adalah gambaran apa yang ia alami kemarin malam. Saat Kakak perempuannya minta tolong dibelikan gula, Emping tanpa sengaja melihat rombongan pengantar jenazah yang ternyata adalah Hantu Keranda. Emping bungkam, Ia tidak ingin Marlena tahu. Terlepas dari akibat yang akan Emping tanggung, Emping meyakikan diri bahwa itu hanya kabar burung.

"Saya tidak sengaja. Jadi hantu itu tidak mungkin mengikuti saya." Tegas Emping pada dirinya sendiri. 

Kamar yang sempit, masih satu tingkat di bawah sederhana. Ranjang bambu dilapisi tikar, lemari tua dengan cermin di salah satu daun pintunya, hanya dua benda itu yang menghiasi kamar Emping. 

Emping berusia enam tahun saat memutuskan untuk ikut Marlena ke desa leduk. Kakak perempuannya dipinang seorang nelayan di desa ini, yang berarti Marlena harus ikut suami. Orang tua Marlena dan Emping sudah sepuh, Marlena tidak tega jika keduanya mengurus Emping yang masih kecil. Beruntung Suaminya berbaik hati mengajak Emping ke desa ini, sekaligus membiayai sekolah Emping.

Sayang sekali. Kakak iparnya meninggal dunia dua hari setelah pernikahan. Selanjutnya cerita di rumah kecil ini hanya tentang Emping dan Marlena. Berdua mereka bertahan, bersama mereka kuat. Marlena dan segala pujian lelaki desa, Marlena dan segala duka hingga cemooh istri-istri mereka.

"Sudah hampir tengah malam. Mbak kok belum pulang ya?" Tanya Emping. Ia mengangkat pantatnya dan berjalan menuju lemari. Di dalamnya ada sebuah senter, benda yang wajib dibawa jika ingin ke kamar mandi. Di desa ini tidak semua rumah punya kamar mandi sendiri. Aparat desa memberikan solusi dengan membangun beberapa kamar mandi umum. Jarak rumah Marlena dengan kamar mandi tersebut hanya beberapa meter.

Emping menutup pintu lemari lalu pergi ke ruang tamu. Air kecilnya sudah diujung hingga Ia tidak memperhatikan sosok yang terlihat di cermin saat pintu lemari tertutup.

Rumah Marlena hanya terdiri dari empat ruangan. Satu ruang tamu, dua kamar tidur dan satu dapur. Ruang tamunya pun hanya ada tikar dan lampu minyak. Sama seperti lampu di kamar Emping. Lantainya tanah dan dindingnya bambu, tidak semua orang betah tinggal di tempat seperti itu.

Emping membuka pintu dan menyalakan senter. Cahaya yang sedikit redup itu menyorot pohon mangga dan pocong yang berdiri di depannya. Tapi tidak di depan mata Emping, Ia masih sibuk memasang gembok kecil untuk mengamankan rumahnya.

Setelah dirasa aman, Emping berlari kecil menuju kamar mandi. Melewati pohon mangga, lalu rumah tetangga, Setelahnya ada sumur tua, dan akhirnya sampai di tujuan. Salah satu kenikmatan terbesar dalam hidup adalah, kamar mandi yang kosong saat kita harus segera membuang hajat, besar ataupun kecil, depan maupun belakang.

Emping menggantung senternya di balik pintu kamar mandi. Dibiarkan menyala sebagai penerangan. Aktivitas emping malam itu lancar dan aman, dari mulai sembur hingga siram. Akhirnya selesai, Emping keluar dari kamar kecil dengan senyum lebar. Hanya saja sekarang Ia merasa takut. Seolah semua keberanian Emping keluar bersama air seninya. Berangkat sambil menahan pipis berhasil mengalihkannya dari rasa ngeri.

Emping berlari kecil. Lebih cepat dari sebelumnya. Tanah di sekitar basah karena tetangganya rutin menyiram halaman. Agar tidak panas katanya. Setiap langkah Emping menghasilkan suara berisik. Suara yang keluar saat alas kaki menginjak tanah becek. Tapi memasuki halaman rumahnya, muncul suara langkah kaki yang tidak seirama dengan kaki Emping.

Emping berhenti sejenak tepat di samping pohon mangga. Ia menoleh ke belakang lalu suara itu kembali terdengar. "Mbak?" Panggil Emping. Berharap itu adalah kakaknya. Sekali lagi suara itu terdengar semakin jelas, hingga Emping bisa menyadari kalau itu bukan langkah kaki. Itu adalah suara orang melompat.

Emping anak yang cerdas. Tanpa pikir panjang, tanpa melihat kiri dan kanan Ia berlari lurus ke rumahnya. Sampai di depan pintu entah kenapa kunci gembok  jadi lebih susah masuk dibanding saat Emping menguncinya. Namun demikian pintu rumah Emping tidak menghianatinya. Emping membuka dan menutupnya kembali dalam detik yang sama.

"Mbak? Mbak sudah pulang?" Tanya Emping. Tidak ada yang tahu sejak kapan Emping menangis, bahkan dirinya sendiri. Ia mengendap-endap menuju kamar Marlena yang gelap. Satu kali sorotan dari senternya Emping sudah tahu bahwa kakaknya tidak ada di sana. 

Masih dibebani rasa takut. Emping berhasil sampai di kamarnya sendiri, naik ke ranjangnya sendiri dengan senter yang sengaja ia letakkan di samping bantal guling. "Mbak kok belum pulang ya, Emping takut." Rengek empik sambil menutup matanya dengan punggung tangan. Bocah itu menangis dan memeluk bantal gulingnya.

Malang sekali nasib Emping. Kemana Marlena saat sang adik sangat membutuhkannya. Meninggalkan Emping sendirian, malam hari di rumah kecil dengan cahaya remang. Kalaupun tidak sengaja, Marlena tetaplah kakak yang tega. Rumah kecilnya mulai gelap, secara ajaib semua lampu minyak mulai padam. Kemudian dari dalam muncul teriakan histeris anak kecil. Sepertinya bocah itu sudah sadar bahwa Ia dan Marlena tidak pernah punya bantal guling.


BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang