CHAPTER 61 - SETELAH JEMBATAN RUNTUH

18.1K 2K 45
                                    

DESA LEDUK, KECAMATAN BANYUSIRIH, JAWA TIMUR 1992  

Pagi hari di desa Leduk. Beberapa jam setelah jembatan runtuh dan teror ghaib gelombang dua. Tragedi yang menimpa warga terjadi tengah malam, tapi ambulans datang pukul tiga dini hari. Prediksi warga, Evakuasi korban akan dilakukan di sekitar muara, tapi mengingat derasnya arus sungai saat itu, korban yang hanyut sudah sampai ke laut. Delapan orang meninggal, sisanya antara cedera serius atau hilang tak berbekas.

Tandu - tandu berbaris, diiringi teriakan histeris.  Lebih histeris lagi keluarga dari korban yang hilang. Di tengah laut, lima perahu melakukan pencarian. Sayangnya ini sudah tiga jam sejak pertama layar dibuka, hingga mereka menepi tanpa membawa hasil. Menyedihkan.

Sekelompok warga menemukan mayat pria di pinggiran muara. Berbeda dengan korban hanyut lainnya, pria tersebut tewas akibat benturan di kepala. Mayat itu diketahui bernama Mail. Saat itu Istrinya tidak ada di lokasi, hingga seseorang harus pergi membawa kabar duka pada Ibu tiga anak tersebut.

Di saat yang hampir bersamaan. Seorang warga terlihat sedang memapah Bunarto. Nelayan sahabat Mail itu masih hidup walaupun kondisinya kritis. Kehilangan banyak darah membuat nyawa Bunarto sudah diujung tanduk. Tapi, keadaannya saat itu cukup membuat warga bertanya - tanya, "Siapa yang sudah memukul dan mengikat Bunarto di sana?" Belum lagi matanya terbuka, walaupun tidak ada apapun di pandangannya. Bunarto saat itu, tidak lebih dari mayat hidup yang jiwanya sedang berkelana jauh.

"Kang Hakim, kenapa Sampean bawa anak ke sini?" Tegur Anto. Sudah sepantasnya Ia marah melihat banyaknya anak kecil yang menjadikan proses evakuasi sebagai tontonan. "Ayo Buce - buce pulang semua!" Seru Anto. "Emak, Nyai, Obek, Se tak nolong na'ah, paleman bei!" Serunya lagi pada ibu - ibu yang hanya berdiri, berteriak dan tidak membantu.

"Anto benar, sebaiknya Ibu - ibu bawa anaknya pulang. Sementara yang tidak sedang melakukan pencarian, bantu mereka membawa jenazah!" Sahut salah seorang warga yang membenarkan pendapat Anto. Satu - satunya jalan menuju pantai; tepatnya ke daerah muara, yang bisa dilalui mobil hanyalah jalan utama, ke utara persimpangan desa. Itu pun ambulans harus berhenti di sebuah lapangan kecil, karena setelah lapangan itu, jalan ke pantai hanya bisa dilalui motor. Warga dan tim medis harus membawa tandu dengan berjalan ratusan meter.

Di sisi lain desa, tepatnya di lokasi jembatan gantung, Warga sudah memulai proses perbaikan. Untuk sementara mereka yang hendak menyeberang harus menuruni sungai dan melewati batu pijakan. 

"Sepertinya mustahil diperbaiki. Jembatan ini harus dibangun dari awal lagi." Ujar salah seorang pekerja. Membangun jembatan membutuhkan waktu yang lama, tentu saja mereka belum bicara tentang biaya. Sedangkan sampai saat ini, hanya lima aparat desa yang terlihat lalu - lalang di lokasi. Mereka membawa kopi, nasi, air mineral dan jajanan pasar. Menurut mereka, aparat yang lain sedang berusaha menghubungi Pak Gamar dan Pak Awang yang sampai saat ini pun belum ada kabar.

Mencari Pak Gamar bukanlah hal yang sulit. Tapi membawanya ke lokasi adalah hal yang mustahil. Sejak semalam Kepala Desa Leduk tidak bisa diajak bicara. Berinteraksi hanya dengan kedipan mata. Mulutnya terbuka. Sesekali rahangnya bergetar seolah ingin bicara. Seorang ustad yang sengaja dijemput warga semalam berkata, "Sesuatu sedang menahan sukmanya. Seperti trauma yang sangat hebat. Saat ini yang bisa mengembalikan Pak Gamar hanya dirinya sendiri. Maaf, tapi apapun yang Saya lakukan tidak bisa meraih Pak Gamar."

Bu Mardiah yang malang. Mengutuk mahluk yang sudah terkutuk adalah sia - sia. Siapa yang harus disalahkan. Ia tidak pernah bisa membaca suaminya sendiri. Bagi Bu Mardiah, Pak Gamar adalah halaman - halaman usang yang sebelum tampak aksaranya, terlebih dahulu kita harus meniup debu - debunya. Sayang sekali, debu itu sudah mengental jadi kotoran yang melekat. Jangankan menutupi tulisan, warna kertasnya pun tidak lagi dikenal.

"Apa yang harus Saya lakukan Ustad?" Isak Bu Mardiah. Ingin rasanya Pak Ustad memberi semangat, tapi selama Ia tidak punya jawaban, tidak punya jalan keluar, maka selama itu pula Bu Mardiah akan larut dalam kesedihan. "Kita berdoa saja," Ujar Pak Ustad.

Berbeda dengan rekannya. Nasib Pak Gamar serasa manis bila dibandingkan dengan pahitnya nasib Pak Awang. Kakinya terkilir dan tidak bisa keluar dari lubang kubur. Semalaman Ia menangis. Terlalu dini baginya untuk tidur di sana. Pak Awang teringat leluconnya sendiri, Tentang bagaimana matinya orang kikir, dimana tidak satu orang pun mau mengantar jenazahnya. "Ya, dia harus jalan sendiri. Pakai kain kafan, terus gali kubur, masuk dan tutup lubang sendiri." Jawabnya kala itu dengan tawa terbahak - bahak. Sekarang, lelucon itu tidak lagi terasa lucu.

"Tolong!" Teriak Pak Awang. Hanya ada seorang petani di sawah yang mendengar itu. Petani tua itu pun berlari. Pergi dari sawah seraya berteriak, "Tolong! Ada kuburan bisa ngomong."

BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang