CHAPTER 21 - DI BAWAH POHON PISANG

21K 2.2K 79
                                    

MAN MAHRUM

Leduk masih hujan. Semakin dekat dengan dini hari, semakin deras menjadi-jadi. Bukan hanya daun-daun yang terpisah dari tangkai, tapi malam itu angin seolah mampu mencabut pohon dari akar. Gelap gulita melengkapinya, melumpuhkan jarak pandang, sementara air menutup jalan-jalan berlubang. Berkendara di Leduk malam itu berubah dari sulit menjadi mustahil.

Seumur hidup, ini adalah perjalanan pulang pertama Man Mahrum melewati jalanan leduk pada setengah dua dini hari. Dengan kondisi cuaca dan jalan se-kejam ini, Man Mahrum akan mencatatnya sebagai pengalaman terakhir yang tidak ingin ia ulangi lagi. 

Urusan di kantor polisi belum sepenuhnya selesai. Saat Man Mahrum pulang pun perdebatan mengenai otopsi jenazah masih belum menemukan titik kesepakatan. Keluarga dari tiga juru kunci bersikeras membawa pulang jenazah untuk segera dimakamkan. Mengenai penyebab kematian, menurut keluarga mereka sudah sangat jelas. Kematian tiga juru kunci adalah hal yang sudah direncanakan, seseorang berniat mengubur rahasia besar yang diketahui Ki Rozak, Ki Mujur dan Nyai Rum. Atau sebaliknya, seseorang mencegah ketiga juru kunci untuk mengetahui rahasia besar mereka yang tersembunyi di kampung ini.

Apapun itu, Man Mahrum mempercayakannya pada keluarga masing-masing. Ia pun percaya bahwa bibinya, Istri dari Ki Mujur mengerti dan ikhlas dengan musibah yang menimpa sang suami. Saat ini tugas Man Mahrum adalah kembali ke desa secepat mungkin, karena Ia tahu sesuatu pasti terjadi di desa Leduk pasca meninggalnya tiga juru kunci.

"Kok Saya jadi kepikiran Pak Gamar ya. Semoga beliau tidak apa-apa." Doa Man Mahrum dalam hati. Ia pantas untuk khawatir setelah mendengar laporan seorang aparat desa, bahwa Pak Gamar dan istrinya tidak ada di rumah. Sementara di kantor polisi tadi, kehadiran sang kepala desa sangat dibutuhkan. "Mudah-mudahan saja Pak Awang bisa mengatasinya." 

Saat itu, suara motor Man Mahrum adalah satu-satunya hal yang mengerikan. Lebih mengerikan dari suara petir menyambar. Karena Man Mahrum mewarisi sifat ayahnya, seringkali ia sengaja turun dan mematikan motor, kemudian didorongnya saat melewati pemukiman penduduk. Semua dilakukan agar tidak menganggu tetangganya yang sedang beristirahat. Tapi khusus malam ini, Ia memacu kuda besinya sekencang mungkin, membiarkan suaranya terdengar selantang mungkin, sampai akhirnya Man Mahrum mendengar suara yang lain.

Juru Kunci terakhir itu menoleh ke belakang. Dari jauh Ia melihat sebuah motor sedang mendekat dengan kecepatan tinggi dari selatan. Suara mesinnya mampu bersaing dengan milik Man Mahrum. Satu-satunya yang mungkin menyusul Man Mahrum pulang adalah Anto, karena sebelum berangkat Man Mahrum berpesan agar segera pulang karena mungkin saja tenaga Anto dibutuhkan di desa.

Motor itu terdengar semakin mendekat, tapi sama sekali tidak mengurangi kecepatan. Man Mahrum mulai mengerti manakala motor itu berhasil menyusulnya dan mengejutkannya dengan sebilah pedang yang diayunkan dengan cepat sejajar leher Man Mahrum.

"Cuk!" Umpat orang misterius yang gagal memisahkan kepala Man Mahrum dari tubuhnya.

Man Mahrum menundukkan kepala di saat yang tepat. Kegagalan orang misterius itu mengasilkan jarak yang membuat Man Mahrum berada beberapa meter di depan. Kesempatan bagi Man Mahrum untuk melihat siapa orang yang hendak membunuhnya.

Mereka terdiri dari dua pria, satu pengemudi yang menutup wajahnya dengan helm, dan satu lagi dengan topeng kain hitam, sekaligus yang sedang membawa pedang. Mereka kembali meraih keseimbangan di jalur yang penuh lubang, dan segera melesat menyusul Man Mahrum untuk menjemput kepala yang gagal mereka bawa pulang.

Man Mahrum mengusap muka, membersihkan matanya dari air hujan. Ia masih mengenakan kaos dalam, tanpa helm, tanpa penutup kepala. Ia tahu cara yang sama tidak akan menyelamatkannya lagi, jadi saat pedang itu melesat dari belakang, menuju tengkuknya yang tanpa perlindungan, Man Mahrum membanting kemudinya ke kiri dan membawanya turun dari aspal. 

Kepalanya masih menyatu, tapi ujung pedang itu berhasil menggores bagian belakang telinganya. Sayang sekali usahanya kali ini harus berakhir dengan luka, dan lebih buruk lagi, ban motornya melewati tanah becek, membuatnya terpeleset dan jatuh ke selokan tepat di depan kebun pisang.

"Astaghfirullah."

Man Mahrum terpental lima meter dari motornya. Hidungnya perih karena air dari selokan masuk dan memenuhi lubang pernafasannya dengan tanah. 

Sementara dua orang misterius itu. Mereka berbalik arah, mereka yakin Man Mahrum tidak akan mati hanya karena terjatuh ke selokan. Motornya mendekat ke tempat dimana Man Mahrum terjungkal, dan mendapati motor sang juru kunci separuh tenggelam. Sementara Man Mahrum hilang tak berbekas.

Tidak menyerah sampai di situ, dua orang itu turun dari motornya. Berbekal sebuah senter, mereka melompati selokan yang memisahkan kebun pisang dan jalan. Atas ke bawah, ujung ke ujung, arah sorotan lampu senter mereka tak menentu. Semakin mereka memasuki kebun, semakin berat dan pelan langkahnya. Takut, mungkin. 

Rasa takut mereka tidak sebanding dengan Man Mahrum. Ia masih di sana, di dalam kebun, duduk bersandar diantara batang pohong pisang sembari menahan sakit.

"Patek! Mereka belum menyerah juga." Gerutu Man Mahrum. Ia mendengar langkah para pembunuh itu menginjak tanah basah, dan semakin dekat ke arahnya. Man Mahrum menggeser tubuhnya pelan, pelan sekali sama seperti kepalanya yang menoleh, mengintip dari balik batang pisang. Ia harus tahu dari mana kedua orang itu akan datang, agar bisa menentukan kemana dirinya akan berlari.

"Di sana!" Seru pria bertopeng, setelah sorotan senternya tepat mengenai wajah Man Mahrum. 

"Sialan! Man Mahrum berusaha mengangkat tubuhnya, tapi cedera lututnya memaksa ia untuk tetap duduk. Anehnya walaupun posisi Man Mahrum sudah diketahui, kedua pria itu justru berlari keluar dari kebun pisang.

Man Mahrum kembali mengintip, kali ini dengan wajah penuh pertanyaan. "Kenapa bajingan itu pergi?" Man Mahrum tidak akan pernah dapat jawaban. Ia tidak tahu wajah siapa yang dua orang itu lihat di belakang man mahrum. Wajah penghuni kubur yang tersenyum, yang jadi alasan kedua pembunuh itu lari tunggang-langgang.

"Persetan, yang penting Saya selamat." Ujar Man Mahrum, kembali bersandar. Bersamaan dengan uratnya yang kembali lemas, Ia melihat gundukan tanah di antara pohon pisang. Ada dua batu di atasnya, ciri-ciri yang cukup meyakinkan kalau itu adalah kuburan. "Astaghfirullah, ternyata di sini juga ada." Man Mahrum mengubah posisi duduknya. Ia bersila, berdoa, mendoakan siapapun yang ada di bawah kuburan tanpa nama tersebut.

Di kebun pisang, suara hujan terdengar jauh berbeda. Tetes air yang jatuh ke daun terdengar lebih keras dari saat jatuh ke tanah. Entah berapa jam berlalu, hujan mulai lesu. Tetesan airnya tidak lagi perih saat menghujani wajah, terutama saat sedang berkendara.

Sebuah motor kembali di jalan yang sama, dari arah yang sama, dan berhenti di tempat yang sama. Kedua pengemudinya turun karena melihat motor Man Mahrum di selokan yang airnya sudah tinggal separuh.

"Pak Awang, ini kan motor Man Mahrum?" Tanya Anto. Untuk memastikannya, Ia menarik motor naas itu ke atas. Pak Awang membantunya. Keduanya mulai dilanda perasaan cemas, mengingat Man Mahrum adalah satu-satunya juru kunci yang tersisa.

"Ya Tuhan, semoga tidak terjadi lagi." Anto mulai panik, Ia berjalan ke sana-kemari berharap menemukan Man Mahrum yang masih berdiri, bernafas, dan utuh. Sama seperti Man Mahrum yang saat ini sedang berdiri, berpegangan pada pohon pisang.

"Hei!" Sapa Man Mahrum.

Anto dan Pak Awang langsung berlari, melompati selokan dan memapah Man Mahrum. Darah yang mengalir dari telinga hingga ke belakang leher juru kunci itu cukup membuat mereka diam dan menunda pertanyaannya sampai di rumah. Kecuali Anto, Ia tampak ingin menangis entah karena ngeri atau karena terharu.

"Tenang saja, kepala saya masih utuh." Ujar Man Mahrum.

BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang