CHAPTER 55 - ISTRI NARIDIN

19.7K 2.1K 171
                                    

BAHRUDIN

Perjalanan pulang dari Astah Temor. Ada pemandangan yang menarik perhatian Bahrudin; dengan kesan yang tidak baik. Tepat di sebuah tanah lapang yang ada di pinggir jalan, ada keributan yang sudah mencapai fase baku hantam. Keributan itu melibatkan dua orang yang sebenarnya sudah tidak muda lagi. Bahrudin berhenti. Sepeda jangkrik tuanya dibiarkan tergeletak di bawah pohon asam. Ia pandai menutup amarah di wajah, tapi tidak dengan gerak tubuhnya. Bahrudin berjalan mendekati kerumunan seperti siap menerkam mangsanya.

"Berhenti!" Seru Bahrudin.

Di hadapannya tengah berdiri dua orang pria. Yang kurus berkacamata namanya Gamarudin Loba, sedangkan yang gemuk berbulu lebat namanya Waroh. Bahrudin memandangi dua orang yang sudah babak belur tersebut. Darah mengalir di pelipis Gamar dan kacamatanya retak. Berbeda dengan wajah Waroh yang masih normal. Hanya saja, banyak bekas gigitan di lengan dan tangan Waroh.

"Kang Udin?" Kata Gamar dan Waroh hampir bersamaan.

"Apa-apaan Kalian ini? Berantem seperti anak kecil rebutan gundu!" Bentak Bahrudin. Di sekelilingnya tengah berdiri para pemuda yang dari cara mereka berkelompok, terlihat jelas bahwa mereka pendukung kedua kubu. "Kalian juga bocah! Bukannya melerai malah ikut nonton!" 

Marahnya Bahrudin akan sangat panjang. Tukang gali kubur yang belakangan dipanggil dengan sebutan Juru Kunci itu, terkenal dengan keramahannya. Tapi, untuk mereka yang tidak sekedar kenal, mereka  tahu bahwa Bahrudin bisa jadi mengerikan. Gamar dan Waroh tunduk. Mereka menjelaskan penyebab perkelahian itu.

"Berebut tanah?" Tanya Bahrudin.

"Tidak berebut Kang. Ini tanah warisan abah saya, jadi Saya berhak menjualnya," Waroh membela diri.

"Dasar gila! Tanah ini sudah diwakafkan dan sudah jadi milik desa. Kalau tidak percaya, tanya saja sama Bapakmu!" Balas Gamar.

Keduanya menunjukkan tanda-tanda akan melanjutkan perkelahian. Bahrudin menggagalkannya dengan memukul kepala mereka satu persatu. Gamar dan Waroh pun kembali jinak. Usia mereka bertiga tidak terpaut jauh. Tapi Bahrudin bukan sekedar tukang gali kubur. Banyak putra-putri Leduk yang mengaji padanya, karena Bahrudin adalah alumni Sokogede. Berilmu, berwibawa dan menyeramkan.

"Gamar, kamu sekolah di  kota bukan untuk jadi berandalan. Berhenti berbuat hal yang memalukan. Masalah seperti ini bisa dibicarakan baik - baik, ya kan?" Bahrudin menoleh ke arah Waroh.

"Ma-maaf Kang. Gamar memaksa, dia bilang tanah ini akan dijadikan lapangan kasti."

"Sebelum meninggal, almarhum abahmu sudah mewakafkan tanah ini untuk desa kita. Sudah lama sekali. Hanya saja, kami belum tahu mau diapakan. Entah kamu tidak tahu, atau hanya pura-pura tidak tahu." Sindir Bahrudin pada Waroh.

Setelah ceramah yang cukup panjang, keramaian itu bubar dengan tenang. Hanya sekedar tenang, tidak damai. Baik Gamar maupun Waroh masih menyimpan dendam yang akan mereka lanjutkan esok hari, esoknya lagi dan seterusnya.

"Lain kali, jangan libatkan mereka yang masih muda dalam masalah seperti ini!" Tegur Bahrudin pada Gamar. "Mail, Hariyadi, Bunarto dan yang lain tidak perlu menyaksikannya, mengerti?" 

"Iya Kang, Maaf." Ucap Gamar.

Tertunduk lesu meninggalkan medan perang. Gamar dan pengikutnya berpapasan dengan seseorang yang datang mengendarai sepeda. Jelas bukan pencari rumput ataupun peternak sapi. Tidak banyak alasan untuk datang ke tempat itu kecuali orang tersebut ada urusan dengan Bahrudin. Gamar menoleh ke belakang. Bahrudin masih duduk di pinggir tanah sengketa dan orang tadi berjalan menghampirinya.

"Cuih!" Gamar meludah.

***

"Assalamualaikum, Man Udin."

BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang