CHAPTER 56 - MEMILIH UNTUK LUPA

19K 2K 96
                                    

DESA LEDUK, KECAMATAN BANYUSIRIH, JAWA TIMUR 1975  

NYAI RUM

Dua hari setelah meninggalnya Kiai Subhan. Ustad Mahlawi akhirnya setuju untuk mewakafkan tanah almarhum kakak sepupunya itu. Nyai Rum memutuskan untuk memantau pemakaman tersebut. Ia ingin agar pemakaman itu menjadi tanggung jawabnya, dengan beberapa syarat. Pertama, Ia tidak ingin dipanggil juru kunci, penjaga kubur, atau semacamnya. Kedua, tugas menggali kubur akan dikerjakan oleh orang-orang suruhannya sendiri. Pastinya orang pesantren. Ketiga, siapapun yang akan dimakamkan di sana harus mendapat ijin darinya. Ia membebaskan siapapun, dari manapun dan dalam keadaan apapun, asalkan jenazah sudah diurus dengan baik dan sesuai syariat Islam, maka Nyai Rum pasti memberinya tempat.

Semua syarat itu disetujui oleh ketiga juru kunci lain, dan hari itu akan jadi awal terbentuknya empat makam dengan empat juru kunci. Terdengar sepele memang. Bahkan tidak sedikit penduduk luar desa yang menganggapnya berlebihan. Tapi, juru kunci bukan hanya sekedar nama. Mereka yang membentengi warga dari gangguan ghaib. Menekan para penunggu agar tidak berbuat onar. Seringkali, saat seseorang mengalami kesurupan, ataupun masalah yang melibatkan mahluk halus, mereka lebih memilih mengundang salah satu dari ketiga juru kunci daripada harus memanggil seorang ustad. Yang demikian tidak termasuk Nyai Rum. Ia menolak merangkap sebagai dukun, walaupun di Desa Lindung, Nyai Rum terkenal sebagai tabib sakti.

Sore itu di Astah Laok. Nyai rum berjalan menyusuri kuburan demi kuburan. Beberapa adalah batu nisan tak bernama di atas kuburan berukuran kecil. Mungkin bayi yang keguguran. Atau anak kecil yang meninggal. Nyai melanjutkan jalan-jalannya. Tempat ini adalah amanah dari almarhum abahnya. Beliau berpesan agar pemakaman di perbatasan dua desa ini dijaga sebaik mungkin. Tunjukkan pada warga Leduk dan Lindung, bahwa di zaman suram ini masih ada yang mau memperlakukan manusia seperti manusia. Nasehat itu mengacu pada kejadian yang menimpa Naridin sebulan yang lalu. Almarhum tidak ingin kejadian yang sama terulang lagi.

Tiba-tiba, perhatian Nyai Rum teralihkan pada seorang perempuan yang sedang menggendong bayi. Perempuan itu berdiri di samping salah satu kuburan; menatap kosong ke arah jalan. Pandangannya mengembara tanpa tujuan. Ia bahkan tidak merespon keberadaan Nyai Rum, seolah-olah ia sudah mati. Atau memang sudah lama mati.

"Nyai Toriyati?"


KI MUJUR

Sementara itu, di pesisir pantai. Tepat di atas sebuah perahu tua. Ki Mujur dan Bahrudin tengah bersantai. Mereka duduk berdua berlatarkan matahari terbenam. Alas kaki bahrudin kini jadi alas pantat, karena ia tidak mau sarungnya kotor oleh pinggiran perahu yang masih basah. Berbeda dengan Ki Mujur yang memang tidak pernah mengenakan alas kaki.

"Jadi, setelah mendengarkan cerita Saya barusan, apa tanggapan Sampean?" Tanya Bahrudin pada Ki Mujur, setelah menceritakan semua yang didengarnya dari Imam. Sebelum mengajaknya bicara berdua, Bahrudin lebih dulu menegaskan bahwa mereka duduk di sana bukan sebagai juru kunci, melainkan sebagai kakak dan adik.

"Kalau apa yang dikatakan orang bernama Imam itu terbukti benar, apakah kamu akan memaksa kami untuk membongkar keempat kuburan itu lagi? Kalau iya, demi apa?" 

"Demi nama baik kita."

"Tidak. Kejadian ini tidak punya pengaruh apa-apa pada kita. Bahkan kalau seluruh kecamatan tahu kita menguburkan mayat yang salah, mereka akan berterima kasih karena kita menguburkannya dengan cara yang benar. Di zaman ini, semua benci orang seperti Nyai Toriyati."

"Sudah Saya duga, Sampean pasti tidak setuju."Kita memang tidak mudah setuju pada satu hal.

"Ayolah, rambutmu sudah mulai memutih tapi sifatmu masih saja lembek." Sindir Ki Mujur.

Ki Mujur harus bersikap keras. Semakin keras semakin mudah Ia menyembunyikan kebenarannya. Orang bernama Imam itu, benarkah semua yang diceritakannya berasal dari mimpi? Atau sejak awal dia sudah tahu bahwa itu bukan mayat Naridin? Ada getir di hati Ki Mujur, Ia tidak tahu sampai kapan harus berbohong pada Bahrudin. Sejak saat itu, Ki Mujur masih mencari waktu yang tepat. Ia harus memastikan tidak ada campur tangan pihak  ketiga dalam kasus tersebut. Bahrudin dan sifat gegabahnya, serta bagaimana keras kepalanya dia dalam urusan membela kebenaran. Sudah pasti Bahrudin akan menelusuri masalah ini sampai ke akar-akarnya, dan saat Bahrudin sudah sampai di sana ...

Tiba-tiba sekelebat bayangan melintasi pikiran Ki Mujur. Seperti film lama yang diputar secara acak di kepala. Hitam dan putih, adegan seorang pria tersungkur di tanah. Sebuah belati menancap di leher belakangnya.

"Kang?"

Suara Bahrudin mengakhiri bayangan itu. Kenapa Saya jadi teringat almarhum bapak. Ki Mujur melepas kopiahnya sebagai usaha mengusir bayangan itu dari kepala.

"Tidak bisakah kita lupakan masalah Naridin? Maksud Saya, dia sudah mati. Siapapun yang ada di dalam kuburan itu, bukan tanggung jawab kita. Sejak awal, matinya saja sudah tidak wajar. Tidak diurus secara wajar. Masih untung kita mau menyelesaikannya." Tutur Ki Mujur dengan tegas.

Bahrudin memandangi wajah kakaknya. Air muka Ki Mujur berubah panik, tidak serasi dengan ucapannya terdengar sangat tegar. "Semoga saja," Kata Bahrudin singkat. "Semoga saja kita melakukan hal yang benar. Saya tidak mau mati penuh sesal."

Dan Saya tidak mau kamu mati seperti Bapak. Gumam Ki Mujur.


KI ROZAK

Tidak ada yang menarik di astah temor. Sebelum pemakaman itu disebut astah, Ki Rozak memang sudah sering ke sana. Seringkali ia mengawal jenazah dari Kalakan. Orang-orang pinggiran yang merasa tidak terlalu penting untuk dimakamkan di TPU Kalakan, memilih bernaung di bawah rindangnya cempaka putih Pemakaman Leduk. Ada gubuk kecil yang dibangun warga di tengah-tengah pemakaman. Kondisinya sudah hampir rubuh. Tapi, hari ini seolah kembali baru. Warga Leduk memperbaikinya untuk para juru kunci. Begitu juga dengan gubuk di tiga astah lainnya.

Hari sudah petang. Astah temor-lah yang paling terang benderang. Lokasinya yang berada dekat dengan Kalakan membuat pemakaman itu mudah dijangkau jalur listrik. Ki Rozak baru selesai shalat maghrib. Sebelum bersantai, Ia memastikan tidak ada pekerjaan yang tertinggal. Ki Rozak meletakkan sapu lidi di bawah pohon cempaka, memperbaiki batu bata merah yang tidak sengaja ditendang warga. Di sekitar situ ada banyak bata merah yang mulai menghijau karena lumut. Batu itu digunakan sebagai pengganti nisan dan juga pinggiran kuburan.

"Mau menemani saya ngopi?" Sapa Ki Rozak pada pria yang sedang berbaring di dalam keranda. Tempat keranda ada di pojok pemakaman. Bersebelahan dengan pagar bambu. Pria itu berbaring dengan kepala miring menghadap Ki Rozak. Tubuhnya dibalut kain putih dari leher hingga perut, karena memang hanya itu yang tersisa darinya.

"Lain kali, muncullah dengan sosok perempuan cantik. Biarkan orang tua ini terhibur," Kata Ki Rozak dengan suara keras karena jarak keranda itu cukup jauh. Tidak ingin kelihatan seperti orang gila, Ki Rozak kembali merapikan batu bata di sekitar Gubuk, dan memilih untuk tidak peduli pada hantu di dalam keranda barusan. Termasuk yang saat ini sedang memegang kakinya.

BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang