CHAPTER 59 - DUA DURIAN, SATU KESEPAKATAN

18K 2K 111
                                    

DESA LEDUK, KECAMATAN BANYUSIRIH, JAWA TIMUR 1975  

BAHRUDIN

Ada sebuah pohon beringin besar tidak jauh dari persimpangan Desa Leduk. Pohon itu yang paling rindang diantara pohon mangga yang mengelilinginya. Berada di atas tanah berukuran dua kali lapangan bulu tangkis, tempat itu menjadi tempat bermain favorit anak-anak desa.

"Cong, ayo pulang!" Seru Bahrudin pada Mahrum. Putra semata wayangnya itu sedang asyik membaca buku di bawah naungan pohon beringin. Sementara keempat temannya justru sibuk bermain kejar-kejaran. Mahrum berkemas. Ia menepuk pantatnya; membersihkannya dari debu dan kotoran. 

"Besok kamu sudah balik ke pondok kan?" Tanya Bahrudin.

"Besok masih jumat Pak. Saya balik sabtunya saja."

"Lha, jangan! Liburanmu kan sudah selesai, jangan minta nambah!"

Mahrum melambaikan tangan pada keempat temannya. Mereka balik melambai sembari berteriak, "Kalau liburan lagi, kita mancing di muara ya!" Mahrum hanya tersenyum, karena liburan selanjutnya masih sangat lama. Sementara itu, Bahrudin pun ikutan pamit. Termasuk pada teman kelima yang sejak tadi diam di atas pohon beringin.

"Pak, kata teman-teman, pohon beringin itu angker," Ujar Mahrum.

"Menurutmu?"

"Biasa saja sih. Di pesantren juga banyak tempat yang katanya angker. Tapi, menurut saya teman-teman saja yang takut."

"Yah, manusia memang seringkali takut pada sesuatu yang tidak terlihat. Tapi anehnya, banyak yang berani sama Tuhan." Bahrudin menasehati. "Ada banyak tempat angker di desa ini. Selain pohon tadi, ada sumur kering di barat tambak udang. Jembatan gantung di desa pun sering disebut angker. Jangan lupa keempat astah yang orang bilang tempat paling seram di Banyusirih."

"Tapi keempat astah sudah tidak angker lagi berkat keempat juru kunci. Begitu yang Saya dengar dari orang-orang." Sahut Mahrum.

"Terus gimana kalau seandainya, suatu saat keempat juru kunci itu mati?"

Mahrum berhenti berjalan karena pertanyaan bapaknya. Ia tidak ingin menjawab pertanyaan seburuk itu, walaupun sudah diawalai dengan kata seandainya.

"Sini!" Bahrudin memanggil Mahrum yang sudah tertinggal enam langkah di belakang. "Bapak dan tiga juru kunci bukan pahlawan cong. Kami tidak lebih dari penjaga kubur. Memang kami melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan orang lain. Tapi itu bukan karena kami sakti. Itu semua karena mereka yang tidak mau belajar."


KI MUJUR

Di depan Ki Mujur ada dua buah durian. Seolah wanginya tercium ke hidung, menggoda untuk segera dibelah. Ki Rozak hanya diam memainkan pinggiran tikar. Sudah satu jam Ki Mujur dan Ki Rozak duduk diam di gubuk astah temor. Tapi, aba-aba untuk membelah durian belum juga terdengar. Ki Rozak menelan liur, membayangkan nikmatnya menyantap durian di siang hari. Ia berharap sang empunya segera berhenti melamun dan mulai mengayunkan parang yang sudah satu jam digenggam.

"Ki Mujur," Panggil Ki Rozak. Sayangnya, Ki Mujur masih diam dan tenggelam dalam lamunannya sendiri. "Hadeh," Gerutu Ki Rozak yang akhirnya menyerah dan memilih sebatang klobot sebagai pengganti durian.

"Sampean mau dengar kabar buruk?" Tanya Ki Mujur.

"Sampean datang ke sini jalan kaki, bawa durian, dan ternyata bawa kabar buruk juga. Sudah begitu masih minta ijin. Sebenarnya, mau sampean apa?" Ki Rozak balik bertanya dengan nada kesal.

"Tadi malam, ada orang yang diam-diam datang ke astah berek. Mereka belima, dan semuanya laki-laki."

"Terus?"

"Sampean tahu apa yang mereka bawa?" Tanya Ki Mujur.

"Durian?"

"Mereka bawa lima karung mayat."

Ki Rozak berhenti memikirkan durian. Sepertinya ini masalah serius. "Mayat, dibungkus karung?"

Ki Mujur memberi isyarat agar Ki Rozak mengecilkan suaranya. Ia mulai menceritakan kejadian yang dialaminya semalam di astah berek. Ki Rozak adalah satu-satunya sekutu yang Ki Mujur punya. Setidaknya yang bisa dipercaya untuk rahasia itu. Karenanya, Ia menceritakan semua pada Ki Rozak tanpa terkecuali.

Pengalaman singkat Ki Mujur menjadi sangat panjang saat diceritakan kembali. Tidak hanya apa yang dialami, Ki Mujur juga mengungkapkan apa yang dia pikirkannya. Dengan begitu, Ki Rozak hanya perlu diam dan mendengarkan, walaupun saat itu wajah Ki Rozak mulai menampakkan raut ketakutan.

Benar-benar, Ki Mujur sudah melewati malam yang mengerikan. Ki Rozak masih memilih dan menyusun kalimat yang pas untuk menanggapi. Tapi, yang muncul di kepalanya hanyalah pertanyaan.

"Jadi, sampean menerima kesepakatan itu?" Tanya Ki Rozak.

"Saya tidak mungkin duduk di sini sekarang kalau saya menolaknya. Secara garis besar, mereka ingin kita ikut merahasiakan hal itu. Sampai kapan, Saya tidak tahu. Selain itu kita tidak bisa ikut campur."

"Hmm, sejauh yang saya tangkap sih, tidak ada bau ancaman dari mereka. Lebih seperti memohon untuk kerjasama. Adakah imbalan dari mereka?"

"Ya, tempat tinggal, tunjangan dan pendidikan gratis untuk anak-anak."

"Serius? Kenapa saya jadi iri. Sepertinya mereka orang baik-baik."

"Yakin?" Ki Mujur bertanya dengan tatapan tajam.Seolah kata-kata Ki Rozak barusan terlalu dini untuk diucapkan. "Mereka tahu alamat keluarga saya, alamat kedua istri saya. Mereka bahkan tahu di pesantren mana anak saya mondok."

Ki Rozak merasa ngeri. Ia tidak menduga orang-orang tersebut sudah bertindak sejauh itu.

"Bahrudin ...." Kata Ki Rozak. "Apa Bahrudin tahu tentang ini?"

"Tentang mayat yang dibungkus karung, lalu dikuburkan sembarangan? Saya yakin Bahrudin tidak akan tinggal diam." Jawab Ki Mujur. "Dengar, masalah ini hanya antara kita berdua. Baik Bahrudin ataupun Nyai Rum tidak boleh ada yang tahu." 

Ki Rozak setuju. Diantara para juru kunci, dia lah yang paling tidak peduli dengan siapa dan bagaimana jenazah akan dikuburkan. Masa mudanya habis di daerah penuh konflik, dimana orang mati berserakan di jalan-jalan. Rozak kecil melangkahinya seperti sebuah polisi tidur yang terbuat dari  ban mobil bekas. Bahkan orang  yang dulu memberi saran agar membakar mayat Naridin pun tidak lain adalah Ki Rozak. Setelah ia tahu bahwa itu adalah mayat Nyai Toriyati, sedikitpun Ki Rozak tidak menyesal, terlebih merasa bersalah.

Akhirnya, mereka berdua melanjutkan bincang-bincangnya dengan topik yang tidak jauh dari masalah barusan. Termasuk sebuah persiapan, jikalau perjanjian tersebut tidak berjalan sesuai rencana.

Hari semakin sore. Ki Mujur pamit pulang ke rumah istri pertamanya. Berkali-kali ia berpesan agar Ki Rozak menjaga rahasia, tapi sesungguhnya Ki Rozak mengharapkan sedikit imbalan. Ia masih memperhatikan dua buah durian yang saat ini diangkut ki mujur ke sepeda. 

"Anu, apa durian itu salah satu imbalan dari mereka juga?" Tanya Ki Rozak basa-basi, karena sepertinya Ki Mujur lupa memberikannya pada Ki Rozak.

"Oh, ini pemberian Pak Harun, juragan tambak udang. Mulai besok beliau akan pindah ke luar pulau. Sementara ini, tambak udang akan diurus oleh Rusli," Jawab Ki Mujur tanpa ada tanda-tanda akan membaginya dengan Ki Rozak.

Ki Rozak menyerah. Lagi-lagi rokok klobotnya jadi pelampiasan. Ia coba untuk tidak merasa kesal karena sahabatnya itu sedang berada pada tekanan. Ki Rozak prihatin, ia memandangi kepergian Ki Mujur yang pelan-pelan mengayuh sepeda ke selatan. Semoga sampean kuat. Semoga kita semua kuat. Bisik Ki Rozak. Tiba-tiba, Ki Rozak sadar bahwa sebenarnya Ki Mujur tidak bawa sepeda.

"Tae! Saya pulang naik apa?"




BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang