CHAPTER 0 - ANAK IBLIS

20.3K 2.5K 166
                                    

"Ada yang tidak beres dengan anak Kalian! Sebagai orang tua harusnya Kalian lebih peka!"

"Sampean lihat, tangan anak Saya melepuh! Anak normal tidak mungkin kepikiran menyiramkan air panas ke tangan temannya. Saya yakin anak Sampean itu gila!"

"Maaf Bapak, Anda terpaksa kami panggil mendadak. Putri Bapak baru saja mendorong temannya dari lantai dua, dan sekarang korban sedang dalam penanganan serius."

"Saya lihat sendiri sebelumnya kucing Saya bermain dengan Putri Bapak. Sekarang kucing Saya mati dengan penuh luka. Kalau masih mengelak, coba perhatikan bercak darah di baju Anak Bapak! Lihat juga di sekitar mulutnya!"

"Bapak, ini kesekian kalinya Putri Bapak menyimpan tikus mati di dalam tasnya. Saya harap ini yang terakhir."

"Anak Bapak sudah mendorong Gurunya sendiri ke sungai, hingga sekarang kondisinya sangat memprihatinkan. Maaf, tapi Saya harus memintanya keluar dari sekolah."

"Dasar Anak Iblis!"

"Diam,"

"Anak Bapak...,"

DIAM!

"Maaf, tapi Putri Bapak mengalami kecelakaan. Sekarang sedang berada di rumah Sakit."

RUMAH SAKIT - 1971

Rumah sakit akan selalu jadi tempat terburuk untuk menunggu. Duduk berbaris di lorong-lorong, menatap pintu yang berbeda dengan sebuah harapan yang sama. Yang duduk di ujung sudah histeris, harapannya tidak sesuai ucapan orang berjubah putih. Sedangkan yang duduk di sini masih berdoa, berharap kabar baik saat pintu terbuka.

"Berdoa saja Bu, Bapak yakin Anak kita baik-baik saja." Ujar seorang Bapak menenangkan istrinya yang sedari tadi gelisah. Keadaan itu sangat tidak baik untuk seorang ibu yang sedang hamil tua. Walaupun sulit bergerak, sang istri tetap  datang mendampingi putri pertamanya yang terbaring di rumah sakit.

"Harusnya kita tidak memperlakukannya berbeda. Bagaimana pun putri kita masih anak-anak." Isak ibu hamil itu.

"Bapak mengerti. Bapak yang salah, dan akan Bapak perbaiki semuanya segera setelah Sofia sembuh."

***

DELAPAN BULAN YANG LALU

"Bapak yakin kita akan biarkan Sofia tidur sendiri?" Tanya Bu Ilmi pada Pak Imam. Keduanya tengah berdiri di pintu kamar, memperhatikan putri pertamanya yang sedang tidur. Saat itu Sofia masih berusia enam tahun dan untuk sebuah alasan, gadis mungil itu tidur dengan tangan dan kaki terikat ke ranjang.

"Ibu tidur di kamar saja, biar bapak di ruang tamu." Pinta Pak Imam. 

Perlahan kedua orang tua Sofia menutup pintu kamar tanpa mematikan lampunya. Bu Ilmi kembali ke tempat tidurnya, sedangkan Pak Imam memilih tidur di sofa.

BEBERAPA BULAN SEBELUMNYA

Kediaman Imam Ilyas saat itu sangat sederhana. Bisa dilihat ruang tamu yang berantakan dengan banyak potongan kain di lantai. Dua mesin jahit kaki ayun berjejer di dekat pintu, dan barisan baju menggantung di sebuah palang besi yang melintang antara kamar Bu Ilmi dan Kamar Sofia.

Profesi Bu Ilmi adalah seorang penjahit. Itu menjelaskan kondisi rumahnya yang penuh benang dan kain. Sedangkan Pak Imam hanyalah seorang perantau yang bekerja sebagai buruh tambak. Tidak jelas asal-usul pria kurus berkulit gelap tersebut, tapi tekun dan cakapnya sudah membuat Bu Ilmi jatuh cinta tanpa peduli masa lalunya.

BARISAN KERANDA MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang